Persimpangan

74 6 2
                                    

~Zero Or Hero?~
Part 34

Sekali lagi Jeno mengulang pertanyaan kenapa ada bau Sehun di baju sehingga netraku bergetar sedikit karena tak mampu memberi jawaban yang memuaskannya, aku benar-benar tidak sedang dalam kondisi bisa berbohong sambil tersenyum sekarang, tidak ketika seluruh tubuhku memanas secara tak jelas begini.

Jeno mengelus dengan lembut pinggangku yang terbalut kemeja tipis, lalu mendekatkan hidung mancungnya ke badanku, sambil memejamkan mata dia mengendus pelan.

"Baunya jelas banget, Rara. Katakan, ini hanya parfum yang sama, bukan? Tolong jawablah."

Aku tidak menggeleng atau mengangguk, hanya menatap wajah tampan teesebut dalam diam.

Nadanya menyakitkan, aku takut, jika salah menjawab maka semua akan berubah fatal.

Beberapa detik kemudian, karena tak kuat terus beradu pandang dengannya yang menatap dengan mata yang seakan sanggup menembus hati, kualihkan arah pandang ke jendela yang gelap, berkedip beberapa kali dengan frustrasi.

Ayolah, kenapa di saat seperti ini dia mengungkit bau parfum Sehun di badanku? Apakah dia tidak melihat betapa tersiksanya kondisiku sekarang ini?

Aku demam tak jelas, terbakar oleh gairah yang tak kukenal.

Kumohon, bisakah kamu menyelesaikan ini dulu baru kita bicara?

Aku begitu tersiksa jika berhenti di sini.

Beberapa saat lalu dia seperti membawaku terbang begitu tinggi  dengan pemandangan indah penuh gairah dan mirisnya kini orang yang sama seakan siap melemparku kapan saja dari ketinggian ketika mood-nya memburuk.

Tolong jangan berhenti sampai sini, Jeno.

Seandainya aku tak tahu malu, sudah kuteriakkan kata rendahan tersebut.

Namun, aku masih sedikit sadar diri bahwa memaksa Jeno terlalu jauh hanya akan membuatku menyesalinya nanti.

Tapi ya Tuhan, aku benar-benar tersiksa sekarang! Sesuatu yang basah di celana dalamku membutuhkan stimulasi agar bisa keluar semuanya.

Aku mengerang dalam keputusasaan, dan helaan napas halus Jeno menyadarkanku betapa tak nyamannya posisi kami sekarang.

Jeno dan aku duduk berhadapan dengan hanya berjarak beberapa centimeter saja, pahaku yang tak tertutup apa pun merasakan kehangatan kulit Jeno di balik celananya, sedangkan tanganku masih tersampir di kedua pundaknya.

Menyadari posisi yang sangat aneh ini untuk membicarakan sebuah masalah serius serta mereka mengirimkan rasa panas  ke pipi.

Aku menunduk untuk menutupi rasa malu, tetapi sedetik kemudian dibuat tercengang  saat menyadari bagaimana kondisi pakaian bagian atasku sekarang.

Kedua payudaraku yang entah sejak kapan memyembul keluar dari bra dan kemeja yang kupakai kini terpapar dengan jelas di depan Jeno, tidak berhenti sampai situ saja, kedua putingnya tampak tegak dan menantang.

Aku benar-benar tampak seperti orang rendahan sekarang.

Bisa-bisanya aku yang beberapa jam lalu dengan sombongnya bilang bahwa Jeno adalah mimpi buruk kini terangsang dengan sangat memalukan di depannya?

Ingin rasanya aku meloncat turun dari pangkuannya sekarang juga, lalu lari sejauh-jauhnya.

Namun, seakan sudah mengantisipasi gerakanku, Jeno mendadak semakin erat mengalungkan tangannya di pinggangku, membuat badan ini tiba-tiba terasa dingin oleh campuran rasa khawatir dan malu.

Zero or Hero?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang