10. Meet Daniel

92K 7.6K 113
                                    

Hari ini aku meninggalkan kantor dua jam lebih awal dari jam pulang. Dikarenakan aku akan rapat dengan Daniel Rajendra untuk mendiskusikan kembali tentang anniversary pernikahan orang tua pria itu. Kebetulan hari ini Dewa sedang ada perjalanan bisnis ke Bogor, sehingga aku menemui Daniel sendiri.

“Sori, telat,” ringisku. “Ka Jendra tau, kan, Jakarta dan kemacetan udah kaya soulmate? Susah bener dipisahin. Gila ... di bundaran HI mobilku nggak gerak sama sekali,” keluhku seraya duduk di depan Daniel.

Daniel mengangguk mengerti seraya terbahak. “It’s okay. Aku juga baru nyampe, kok,” ujarnya menenangkan.

Kemudian pria itu mengangkat tangan bermaksud memanggil pelayan. Seorang pelayan berseragam hitam putih menghampiri kami. “Mau pesan apa, Mas, Mbak?” tanyanya sopan.

Aku membuka buku menu dan mulai menyisirnya dengan netraku. “Saya pesen roti bakar keju sama es krim green tea, ya, Mas,” ujarku seraya tersenyum.

“Kalo saya roti bakar nanas sama es krim green tea, Mas,” sahut Daniel.

Si mas pelayan mengangguk mengerti, kemudian menulis pesanan kami dengan telaten. Setelah itu ia segera pergi ke dapur untuk menyiapkan pesanan kami.

“Ah, Ka Jendra nggak seru. Harusnya pesen es krim rasa beda dong! Biar nanti aku bisa nyicip,” candaku.

Daniel terkekeh seraya mengusap kepalaku lembut. “Masih jadi maniak es krim ternyata, tapi aku suka sekarang kamu udah berubah. Nggak pendiem kaya dulu,” ujarnya seraya tersenyum manis.

Aku membalas senyuman Daniel, lalu mengangguk setuju. Harus kuakui kalau aku yang sekarang memang sudah banyak berubah. Ke arah yang lebih baik tentunya. Aku yang dulu hanyalah remaja ingusan cupu, buluk, pendiam, kurus, dan pemalu yang selalu menunduk saat berjalan. Dulu, aku selalu mencemaskan banyak hal. Bahkan, menatap lawan bicara saja aku gentar dan tubuhku akan langsung gemetaran.

Namun, sekarang aku sudah jadi wanita dewasa pemberani yang selalu berpikiran: sama-sama makan nasi, kok, takut? Kecuali dia makan besi tanpa cedera gigi. Walau kadang aku masih saja over thinking dan krisis kepercayaan diri. Seperti saat mengingat ucapan Arjuna Pradipto contohnya.

Aku menggeleng pelan untuk mengusir semua bayangan menyesakkan itu lagi. Jangan buang waktumu untuk mengingat ucapan si bajingan itu, Pitaloka! Kamu tidak menjijikan!

Saat aku mulai berdiskusi dengan Daniel, pesanan kami disajikan. Alhasil kami berdikusi santai sembari memakan roti bakar dan es krim masing-masing. Terkadang aku usil mencomot roti bakar nanas Daniel, membuat pria itu hanya geleng-geleng kepala seraya terkekeh pelan.

Fix, ya, nih, Ka. Buat makanan Manado-nya tinutuan, ikan woku, sama gohu?” tanyaku yang langsung dijawab Daniel dengan anggukkan mantap.

“Kalo khas Jogja-nya gudeg, krecek, sama yangko?”

“Yangko bisa diganti cenil nggak? Soalnya mama suka banget sama cenil,” jelas Daniel.

“Bisa, Ka,” jawabku mantap. “Buat tumpengnya fix nasi kuning, ‘kan?” tanyaku yang langsung direspons Daniel dengan anggukkan mengiakan. Sip, makanan beres tinggal dekorasi.

Trapped  (Terbit) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang