29. Little Kiss

90.3K 7.1K 97
                                    

Entah apa yang merasuki Dewa hingga pria itu pagi ini kembali menjadi sosok yang menyebalkan. Kupikir setelah perhatian yang pria itu berikan selama dua minggu terakhir, Dewa sudah berubah. Namun, nyatanya tidak sama sekali.

Aku mendesah keras saat lagi-lagi telepon di mejaku berdering. “Halo, Mas Dewa! Ada yang bisa saya bantu lagi, Mas?” tanyaku seraya menekankan kata lagi.

“Ke ruangan saya sekarang!” perintahnya.

“Baik!” Aku mematikan telepon, kemudian segera beranjak ke ruangan Dewa.

“Tolong fotokopi kertas ini masing-masing tiga lembar, Pitaloka!” perintah Dewa saat aku baru saja menginjak lantai ruangan pria itu.

Aku melotot. Serius fotokopi lagi?!

Bukannya aku mengeluh jika harus mengopi kertas yang memanglah cuma pekerjaan ringan. Tetapi masalahnya, ini sudah ketiga kalinya aku disuruh mengopi kertas. Percayalah, bolak-balik turun ke lantai tiga walaupun menggunakan lift bukanlah hal yang menyenangkan.

Setelah sekian lama akhirnya aku kembali bernafsu untuk melempar kepala Dewa dengan sepatu! Pria itu benar-benar menyebalkan! Aku jadi bertanya-tanya pada diriku sendiri, bagaimana bisa aku jatuh cinta pada pria itu? Ayolah Pitaloka kembali waras!

Dengan terpaksa aku mengambil kertas yang diberikan Dewa untuk ku-copy. “Ada kertas yang perlu saya copy sekalian, Mas?” tanyaku sopan walau aku ingin sekali memukul kepala Dewa.

Dewa menggeleng. “Nggak ada.” Pria itu menjawab tanpa melihat ke arahku.

Aku menangguk mengerti. “Kalo begitu saya ke bawah dulu, Mas,” izinku seraya keluar ruangan. Di depan pintu aku langsung mencibir Dewa diam-diam. Dasar kampret!

Sesampainya di lantai tiga aku langsung mengopi kertas. Untunglah mesin fotokopi saat ini sedang tidak antre. Jadi, aku tidak harus menunggu lama.

“Lha, Mbak Pita fotokopi lagi? Bukannya barusan udah?” tanya Samuel seraya mengerutkan glabela.

Samuel adalah staf administrasi yang memang bekerja di lantai ini. Jadi, setiap orang yang mengopi kertas pasti akan bertemu dengan pria bermata sipit itu.

Aku tersenyum paksa. “Iya, nih, tadi si bos ada yang kelupaan,” jelasku.

Samuel membenarkan kacamatanya seraya meringis pelan. Terlihat sekali pria itu prihatin padaku karena dikerjai habis-habisan oleh Dewa kampret bin songong yang sialnya aku cintai itu. “Semangat, Mbak!” seru Samuel seraya mengepalkan kedua tangan.

Aku balas mengepalkan kedua tangan seraya tersenyum lebar. “Semangat!”

“Demi masa depan yang lebih cerah, kita harus rela kerja keras bagai kuda!” sambungnya membuat kami tertawa bersama.

Aku segera kembali ke lantai lima setelah empat kertas yang diberi Dewa ku-copy masing-masing tiga. Setelah memberikan kertas-kertas tersebut pada Dewa, aku langsung turun ke kantin karena jam makan siang sudah dimulai lima menit lalu.

Sesampainya di kantin aku langsung membeli seporsi nasi soto dan segelas es jeruk peras.

Ayu duduk di depanku. “Ngapa muka lo kusut gitu?” tanyanya seraya meletakkan semangkuk mie instan dengan telur spesial di meja.

Trapped  (Terbit) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang