25. Bandung

72.7K 6.5K 18
                                    

Sesampainya di Bandung kami langsung disambut hujan deras dengan guntur yang bersahutan. Membuat udara semakin dingin dan menusuk sampai tulang. Sudah tiga jam hujan mengguyur bumi, tapi belum ada tanda-tanda akan reda.

Mama keluar dari dapur sembari membawa tiga cangkir cokelat panas di atas nampan. Wanita tersayangku itu membagikan cokelat panas tersebut padaku dan Gita, lalu memberikan cangkir terakhir pada Dewa.

“Nak Dewa nginep aja, ya? Kayaknya hujannya bakal awet,” bujuk mama.

Kalau kalian bertanya kenapa mama tidak lagi memanggil Dewa dengan sebutan ‘Pak’ melainkan sebutan ‘Nak’ itu karena Dewa yang memintanya sendiri. Rupanya dia memang tidak suka dipanggil dengan embel-embel ‘Pak’. Memang, sih, harus kuakui Dewa sama sekali tidak pantas dipanggil bapak, sebab pria itu memiliki wajah baby face yang membuat iri.

“Apa nggak merepotkan, Bu?” tanya Dewa tak enak.

“Sama sekali nggak ngerepotin kok, Mas. Malah kalo bicara soal ngerepotin, jelas saya yang lebih banyak ngerepotin Mas Dewa beberapa hari ini. Jadi, kalo Mas Dewa emang mau menginap di sini, kami sama sekali nggak keberatan.” Kali ini aku yang berinisiatif menjawab.

Mama mengangguk setuju. “Betul kata, Pitaloka, Nak. Kami sama sekali nggak keberatan kalo Nak Dewa mau menginap di sini.”

Dewa terdiam sejenak tampak berpikir. Tetapi kemudian pria itu mengangguk setuju. “Baiklah. Kalo begitu saya hubungin pak Iyos dulu agar menjemput saya besok saja.”

Setelah itu Dewa pergi ke teras seraya menempelkan ponsel di telinga. Mungkin pria itu mencari sinyal. Memang mendapat sinyal di sini begitu sulit, apalagi saat hujan deras begini.

“Kamu yakin nggak punya hubungan istimewa sama bosmu itu?” tanya mama seraya mengerling jahil.

Aku memutar bola mata. “Nasi goreng mang Kardi kali, ah, istimewa.”

“Nggak usah bohong sama Mama. Kalo kalian nggak ada hubungan istimewa, nggak mungkin dia mau nganterin kamu ke sini.”

“Apa salahnya, sih, Ma? Dia bos—“

“Nah itu! Mana ada bos yang mau nganterin bawahannya tanpa alasan,” potong mama.

Aku berdecak. “Harusnya Mama ikut seneng karena aku punya bos yang baik. Bukannya malah mikir aneh-aneh.”

Gita menatapku curiga. “Tapi kata Ka Pita waktu itu Ka Dewa nyebelin. Kok, sekarang dipuji-puji?” cecar Gita.

Sungguh aku menyesal karena pernah curhat soal Dewa pada Gita. Kalau tahu akan dicecar begini, lebih baik dari awal aku tutup mulut saja.

Aku berdeham salah tingkah. “Dia emang nyebelin, kok,” ujarku.

Iya, ‘kan? Di awal-awal Dewa memang super menyebalkan? Bahkan, masalah salah takar gula saja terus dipermasalahkan. Jadi, aku tidak bohong sama sekali soal itu. Persetan dengan sifat Dewa yang sekarang jadi super baik dan perhatian.

“Tapi katanya tadi baik. Ih, dasar nggak konsisten!” cibir Gita.

Aku mendengus keras. “Ya, aslinya dia emang nyebelin, kok! Git, Kakak, beneran nggak ada hubungan apa-apa sama Mas Dewa. Jadi, kamu jangan nuduh mac—“

Trapped  (Terbit) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang