26. Bandung (2); Hug

76.7K 6.8K 28
                                    

Aku tetap tidak bisa tidur meski sudah berusaha memejamkan mata sejak tadi. Akhirnya aku memutuskan keluar kamar saat jarum jam menunjukkan pukul setengah lima pagi.

Suasana di luar sana memang masih sepi, hanya ada suara jangkrik yang sesekali terdengar. Berbeda sekali dengan suasana dapur yang riuh. Di mana ada mama yang tengah berjibaku dengan wajan dan spatula.

“Pagi, Ma!” sapaku seraya mengecup pipi kiri mama.

Mama mengelus dada. “Kirain Mama dedemit!”

Aku memberengut. “Jahat, ih, Mama! Masa anak Mama yang paling cantik ini disamain sama demit.”

“Siapa bilang kamu paling cantik? Mama dong yang paling cantik di sini,” ujar mama percaya diri.

Aku terbahak, kemudian mencium pipi mama yang satunya. “Iya, deh, Mama yang paling cantik. Kalo nggak ada kerutan di bawah mata!” candaku.

Mama menepuk kepalaku pelan dengan spatula. “Asal kamu tau, ya! Kerutan ini yang bikin Mama makin seksi. Nyesel dulu Gading Marten nolak Mama,” ujar mama narsis.

Please, deh, Ma, Gading Marten sama Mama beda generasi,” ujarku mengingatkan.

Mama manggut-manggut. “Oh, iya, iya. Maksud Mama, bapaknya Gading si Roy Marten.” Mama melirik kakiku. “Gimana kaki kamu? Udah mendingan?”

Aku mengangguk. “Udah baikan, kok, Ma. Walau masih agak sakit dikit, tapi bengkaknya udah ilang.”

“Nanti diurut Mbah Jum dikit, ya?”

Aku mengangguk mengiakan. “Ma, masak apa, nih?” tanyaku kepo.

“Pesmol ikan gurame sama perkedel. Mama nggak tau bos kamu suka makan apa, jadi masakin ini aja. Semoga bukan pilihan yang buruk.”

“Mas Dewa pasti suka, kok! Setauku dia nggak suka pilih-pilih makanan,” ujarku meyakinkan.

Sebab yang selalu diributkan oleh bos kampretku itu selalu takaran gula yang sebenarnya tidak penting sama sekali, kecuali ia punya penyakit diabetes. Setahuku Dewa tidak punya penyakit gula, jadi kuasumsikan selama ini bosku itu hanya mengerjaiku saja. Kurang asem!

“Ma, sini aku aja yang kupas kentangnya. Kuah pesmolnya udah mendidih, tuh!”

Mama mengangguk, lalu segera mengaduk kuah pesmol yang sepertinya sudah masak. Setelah itu mama mencuci sejumput cabai rawit sebelum memasukannya ke dalam kuah pesmol yang mendidih.

“Ari sama Ayu mau tunangan bulan depan, ya?” tanya mama seraya terus mengaduk kuah pesmol.

Aku mengangguk. “Ho-oh. Masih nggak nyangka, ya, Ma?” tanyaku.

Mama mengangguk setuju. “Tapi udah keliatan, sih, kalo Ari suka Ayu dari dulu. Kode-kodenya kentara banget.”

“Udah dikasih kode begitu Ayu tetep aja nggak peka, Ma. Sampe aku gregetan sendiri. Untungnya Ari berani ngungkapin perasaanya kemarin.”

“Makanya, Pita, kalo emang suka ya, langsung bilang. Nggak usah ngasih kode sana sini. Manusia itu banyak nggak pekanya, apalagi makhluk berkromosom XX,” sarkas mama.

Trapped  (Terbit) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang