“Moshi Moshi, Pitaloka-chan?”
Aku mengerutkan kening. “Ya?”
“Benar dengan Pitaloka-chan?” tanya suara di ujung sana.
“Iya, benar. Maaf ini siapa, ya?”
Makhluk berhormon testosteron di ujung sana, mulai menjelaskan tujuannya meneleponku panjang lebar dan aku mendengarkan dengan seksama. Shit! Kenapa, sih, bocah tengik itu selalu merepotkanku? Jam dua belas malam bukan jam kerja, ‘kan?
“Oke, aku akan segera ke sana. Terima kasih sudah menelepon,” ujarku seraya mematikan telepon.
Setelah itu aku segera menyambar jaket yang menggantung di belakang pintu dan tergesa ke parkiran. Lalu aku duduk di kursi kemudi dan segera menyalakan mobil untuk membelah jalanan ibu kota yang sudah sepi karena saat ini sudah larut malam. Setelah tiga puluh menit perjalanan, akhirnya aku sampai di sini. Di sebuah kelab bernama Olivers di daerah Jakarta Selatan.
Aku mengembuskan napas panjang. Dengan langkah yang kuseret paksa aku masuk ke mini kelab tersebut. Sesampainya di dalam, suara musik yang diputar keras-keras langsung menyerbu telingaku. Membuat kedua indera pendengaranku berdegung.
Aku menerobos kerumunan orang-orang yang bergoyang menggila seperti orang kesurupan di dance floor. Setelah perjuangan panjang yang cukup menguras tenaga, akhirnya aku sampai di meja bar.
Orang-orang yang duduk di meja bar menatapku terang-terangan sembari cekikikan. Ya, aku tahu mereka sedang menertawakan pakaian yang kukenakan, karena mungkin aku satu-satunya orang yang masuk ke kelab malam dengan celana training dan jaket tebal lengkap dengan kaos kaki hitam.
Tidak seperti kebanyakan wanita di sini yang lebih memilih menggunakan mini dress dengan potongan dada rendah atau baju kemben ketat yang mengumbar paha. Ewh, biar gue dikata cupu bin aneh juga nggak papa, yang penting terbebas dari tatapan mesum laki-laki kardus dan om-om hidang belang!
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh meja bar. Pandanganku berhenti saat aku melihat seseorang yang tengah duduk seraya menelungkupkan kepalanya di meja. Aku mengembuskan napas kasar sebelum menghampiri orang tersebut.
“Pitaloka-chan?” tanya Zuto—bartender yang tadi meneleponmu.
Aku tersenyum rikuh. “Terima kasih sudah menelepon. Maaf merepotkanmu, Zuto.”
Zuto mengangguk. “Tidak masalah. Sepertinya bosmu sedang patah hati, ya?”
“Dari mana kamu tau?”
“Dia menceritakan padaku sebelum memberikan your number,” jelas pria Jepang berambut gondrong itu.
Aku mengangguk mengerti. “Sekali lagi terima kasih banyak. Kalo begitu aku pulang dulu,” ujarku seraya memapah Dewa yang teler berat.
“Maaf, Pitaloka-chan. Aku tidak bisa membantumu. Pelanggan sedang banyak,” ujar Zuto penuh penyesalan.
Aku tersenyum maklum. “Tidak apa-apa, Zuto. Sekali lagi maaf karena sudah merepotkanmu,” ujarku sebelum berlalu.
Setelah melewati dance floor yang membludak dan melewati asap nikotin yang membuat sesak akhirnya aku bisa keluar dari Olivers. Begitu keluar dari mini kelab tersebut aku langsung menghirup udara segar dengan rakus. Mulai sekarang aku bersumpah tidak akan pernah masuk ke sana lagi. Olivers benar-benar tempat yang mengerikan. Namun, entah kenapa orang-orang malah suka bersenang-senang di sana. Gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped (Terbit) ✓
Romance[Pemenang Wattys Award 2020 Kategori Romance] #Highest Rank 1 in Chicklit (01-01-2020) #Highest Rank 1 in Metropop Indonesia (16-01-2020) #Highest Rank 1 in Metropop (20-01-2020) #Highest Rank 1 in Persahabatan (23-02-2020) #Highest Rank 1 in Rindu...