20. Bali

81.1K 7K 46
                                    

Subjek pertama yang aku lihat saat pertama kali membuka mata ialah Dewa yang menatapku garang seraya bersedekap di sofa. Dengan perlahan aku mencoba bangun untuk duduk, tapi sakit kepala yang menusuk membuatku kembali ambruk. Aku meringis seraya memijit pelipis kiri pelan agar rasa sakitnya berkurang.

Dewa bangkit dari sofa, kemudian mendekat ke arahku dan membantuku duduk bersandar di kepala ranjang. “Sebaiknya kamu segera makan dan minum obat!” perintah Dewa.

By the way, sekarang jam berapa, ya, Mas?” tanyaku lirih.

Dewa menatapku datar. “Jam tujuh malam.”

Aku melotot. “Serius?” tanyaku. Namun melihat Dewa yang menatapku datar dan langit malam sudah berubah warna menjadi hitam, sepertinya bosku itu memang tidak berbohong.

Aku berdeham pelan. “Tadi di bandara saya pingsan, ya, Mas?” tanyaku memastikan. Karena setelah muntah aku tidak mengingat apa-apa lagi selain hangatnya jari-jari Dewa di tengkukku. Ah, mengingat itu membuat jantungku berulah lagi.

“Gimana nggak pingsan? Dokter bilang isi perut kamu alkohol semua, Pitaloka. Lain kali, kalo memang nggak kuat minum nggak usah sok-sokan mabok. Kalo kamu sakit gini semua orang jadi repot, kan,” ujar Dewa datar.

Kenapa hati gue sakit pas Dewa ngerasa direpotin gara-gara merawat gue, ya? Itu tandanya pria itu nggak ikhlas, ‘kan?

Aku menggeleng cepat. Ck! Lo mikir apa, sih, Pitaloka? Harusnya lo bersyukur karena Dewa cuma ceramah panjang lebar. Coba kalo bos lo mami monster? Fix sekarang lo udah jadi gembel pengangguran di Bali. Alias dipecat tanpa pesangon! Sekali lagi aku menggeleng, baru membayangkannya saja aku sudah merinding!

Aku mengigit bibir bawahku. “Maaf, Mas, karena saya udah bikin Mas Dewa susah. Padahal harusnya saya ngebantuin kerjaan Mas Dewa bukannya nambah beban. Maaf juga karena saya udah ngerepotin Mas Dewa, walau seharusnya kalo Mas Dewa nggak ikh—ck—maksud saya, saya tau saya emang nggak profesional. Saya benar-benar minta maaf. Saya janji ini terkahir kali saya ngerepotin Mas Dewa,” ujarku penuh penyesalan. Sial, hampir aja gue keceplosan!

Dewa menatapku lama, sepertinya pria itu ingin mengatakan sesuatu tapi ditahannya. Alhasil Dewa hanya mengangguk lalu segera pamit untuk kembali ke kamarnya, setelah sekali lagi ia mengingatkanku untuk makan dan minum obat sebelum tidur.

Aku langsung menghela napas panjang begitu Dewa meninggalkan kamar. Entah kenapa aku merasa kesal saat memikirkan jika Dewa merawatku karena terpaksa.

Namun aku lebih kesal pada reaksiku yang berlebihan ini. Astaga Pitaloka memangnya apa yang kamu harapkan? Lo udah gila?!

Aku menepuk pipiku dua kali, kemudian mulai memakan sup ayam yang tersedia di nakas. Mungkin memberi asupan pada tubuh akan membuat otakku—yang mulai tidak waras—kembali bisa berpikiran logis.

Selesai makan aku langsung minum obat, lalu aku menyalakan ponselku yang sejak tadi mati. Puluhan notifikasi pun langsung menyerbu. Termasuk sembilan panggilan tak terjawab dari mama dan Gita—adikku.

Aku yakin dua perempuan tersayangku itu saat ini sedang khawatir, karena kemarin aku berjanji akan langsung menghubungi mereka saat pesawatku mendarat di bandara Ngurah Rai. Tetapi aku malah molor empat jam memberi kabar.

Dengan segera aku menghubungi nomor Gita karena nomor mama tidak aktif. Tak menunggu lama teleponku langsung dijawab.

Halo! Ka Pita udah nyampe di Bali, Ka?” tanya Gita to the point.

Aku tersenyum terkulum. “Udah dari tadi, Git.”

Ish, terus kenapa baru telepon sekarang? Bikin khawatir orang aja, deh!”

Trapped  (Terbit) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang