19. Enplane

79.8K 7.4K 82
                                    

Pagi ini lagi-lagi suara ganteng Shawn Mendes dan suara seksi Camila Cabello membangungkanku. Tadinya, aku mau mengabaikan saja telepon yang masuk karena kepalaku pusing luar biasa akibat hangover. Entah berapa banyak beer kaleng yang aku teguk tadi malam, yang jelas sekarang perutku terasa mual dan kepalaku rasanya mau pecah. Apalagi tadi malam aku baru bisa tidur jam tiga pagi. Bayangkan saja seberapa ngantuknya aku sekarang.

Semakin aku abaikan dering telepon itu malah semakin brutal. Alhasil dengan mata setengah terpejam aku mengangkat telepon yang belum kutahu dari siapa.

“Halo!” sapaku dengan suara parau.

Pitaloka,” geram Dewa di ujung sana.

Netraku langsung melek saat aku mendengar suara khas Dewa yang serak-serak basah. “Ya, Mas?” tanyaku seraya meneguk ludah susah payah.

Kamu baru bangun tidur, ya?” tanya Dewa datar.

Aku meringis. “Iya, Mas. Hehe.”

Dewa berdecak. “Kamu itu type wanita yang paling saya hindari untuk dijadikan istri. Langsung saya blacklist,” ujarnya kejam.

Idih! Siapa juga yang mau jadi istri raja iblis kaya lo? Sorry to say bos gue juga ogah naik takhta jadi ratu kegelapan!

Lagi-lagi aku cuma cengengesan. Karena aku tak tahu harus menjawab apa. “Hmm ... ada apa, ya, Mas? Tumben telepon pagi-pagi buta begini?”

Pagi-pagi buta bagaimana? Sekarang sudah siang bolong, Pitaloka.” Dewa berkata penuh penekanan.

Mendengar kata ‘siang bolong’ aku langsung melirik jam dinding. Baru pukul 09:12 WIB. Yaelah siang bolong dari Hongkong! Jam sembilan, sih, masih pagi kali bos!

Aku berdeham. “Ada yang bisa saya bantu, Mas?” tanyaku langsung ke intinya. Aku masih butuh tidur. Jadi, lebih baik tak usah memperpanjang soal ‘siang bolong’ ini. Biarkan saja aku memendam kekesalanku sendiri.

Dewa menghela napas lelah. “Nanti jam satu saya jemput kamu. Kita ke bandara Soekarno-Hatta bareng saja. Biar nanti nggak tunggu-tungguan di sana. Ribet,” jelas Dewa.

Aku mengerutkan kening bingung. “Ngapain ke bandara Soetta, Mas?”

Jangan bilang kamu lupa? Hari ini kita ke Bali, Pitaloka.”

Mampus! Seratus persen mampus! Gimana bisa gue lupa soal penerbangan ke Bali?!

Aku berdeham pelan. “Iya, Mas, saya inget, kok! Kalo gitu saya mau cek barang yang mau saya bawa dulu, ya? Takut ada yang ketinggalan. Saya matiin teleponnya, ya, Mas! See you nanti siang!”

Aku mematikan telepon, kemudian segera bangkit dari tempat tidur dan bergegas mengambil koper di lemari paling bawah. Dengan secepat kilat aku mulai menyiapkan segalanya. Mengabaikan rasa sakit di kepala yang terasa semakin menusuk. Ya, aku tahu ini salahku sendiri. Karena terlalu fokus menyiapkan pesta ulang tahun Ayu dan kejutan lamaran Ari, aku jadi lupa soal agenda ini.

Satu jam kemudian akhirnya acara beres-beresku selesai. Tadinya kupikir aku bisa tidur sebentar agar pusing di kepalaku menghilang, tapi sial, aku masih punya beberapa laporan yang masih ada di laptop dan harus segera di-print.

Trapped  (Terbit) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang