Kertas yang memuat not balok yang berbaris rapi, sedemikian rupa merangkai nada dibiarkan tergeletak begitu saja diatas meja.
Disaat murid lain sedang sibuk-sibuknya menghafal dan melantunkan nada tersebut.
Tianze malah menatap lembara itu datar. Dengan jemari panjang yang makin bergerak secara acak, mencari kesibukan.
Berusaha keras menahan desakan dari dalam dirinya untuk kembali menggeraka jemari yang sudah terlampau kaku itu sesuai gumaman harus yang samar-samar ditangkap oleh pendengarannya.
'Kumohon tidak lagi,' inner Tianze.
Disaat dengan jantungnya yang makin berdetak tak karuan. Alihalih menahan diri."Baiklah anak - anak, sudah waktunya penilaian," ucap Laoshi. Memecah perhatian Tianze dan tentunya seisi kelas.
"Sudah waktunya penilaian," lanjut wanita itu. Disahut dengan keluhan kecil dari beberapa murid, tak siap.
"Apa tak bisa lima menit lagi Laoshi?" ujar salah murid. Berparas manis dengan kaca mata bulat khasnya.
"Tidak, Junlin. Waktu semiggu itu lebih dari cukup untuk berlatih bukan," tegas Laoshi. Membuat murid lain menghela nafas berat.
"Ayolah, kalian hanya harus bernyanyi sesuai nada. Bagus atau tidaknya itu urasan belakang," hibur sang Laoshi namun tetap saja —beberapa diantaranya semakin bersungut.
"Baiklah, sekarang kita mulai dari nomor urut satu."
Sang laoshi mulai memanggi satu per satu murid untuk dinilainya. Hasilnya beragam ada bernyanyi dengan baik, ada yang hanya setengah niat, dan ada juga yang malas-malasan.
Tak heran kerutan diwajah wanita berusia tiga puluh tahuan itu makin terbentuk.
"Baiklah, selanjutnya Ao Ziyi," lanjut Laoshi entah untuk nomor absen ke berapa.
Begitu namanya dipanggil, Ziyi lantas melangkah mantap dengan senyum percaya dirinya.
"Eh Laoshi apa aku bisa meminta nada dasarnya sedikit diturunkan?" tanya Ziyi, berucap sopan.
"Hari ini kondisi tenggorokan ku tak begitu baik. Ku rasa akan susah untung bernyanyi dengan nada yang semestinya," jelasnya.
Sang Laoshi terdaim, berpikir sebentar. "Baiklah, kita coba menyesuaikan nada dasarnya duluh."
Jari lentik wanita itu bergerak sedikit kaku ditas tuts piano. Berusaha mengiring nyanyian Ziyi namun keduanya terdengar seperti sedang kejar-kejaran. Tak ada satu nada pun yang tepat.
"Kenapa susah sekali." Laoshi membuang nafas lelah.
Piano memang bukan base alat musik acuannya dalam mengambil nada tak heran jika wanita berparas teduh itu sedikit kesulitan. dia akan lebih mudah jika saja ada gitar disana.
"Kalau begini akan memankan waktu lama," lanjtunya.
"Apa ada yang mahir bermain piano di sini. Setidaknya menguasai beberapa chord dasar." Semua murid saling memandang dan saling melempar tanya.
"Tak ada ya?" tanya sang laoshi lagi. Dijawab dengan gelengan kecil.
"Laoshi rasa kau harus tetap bernyanyi sesuai nada awal." Ziyi hanya bisa mangguk pasra.
Laoshi kembali menekan tuts pianonya, terdengar lebih lembut dan tidak sefrustasi tadi.
Dan sontak mengingatkan Ziyi pada sesuatu."Tunggu, ku tahu seseorang yang bisa," ujarnya.
Lalu melesat menuju arah deret mejanya sendiri. Diikuti dengan puluhan pasang mata yang menatapnya penasaran.
Hingga lelaki bermarga Ao itu berhenti depat disamping bangunya sendiri.
"Kau mau bermain untuk ku?"
Lelaki yang entah sudah berapa lama menundukan pandanyanya itu bergumam, bingung. "Hmm? A-aku tak bisa," tolak Tianze cepat.
"Aku tahu kau bisa, aku tak mungkin salah," ujar Ziyi percaya diri.
"Sejak awal kelas dimulai aku memperhatikan mu. Kau berusaha menahan jari mu kan untuk bergerak mengikuti lagunya," jelasnya. Tianzi semakin mengeratkan kepalan tanganya dibalik saku almamaternya.
"Kau bisa Tianze?" tanya Laoshi. Ikut menghampiri kedua muridnya itu. "Bantulah teman mu, lagian itu hanya sebentar saja."
"T-tapi laoshi...."
"Ayolah Tianze, laoshi akan sengat senang kalau kau yang memainkannya," bujuk sang laoshi.
"Tapi... aku..." Tianze menakin menunduk, tanganya mulai bergetar.
Dia tak perna sanggup untuk ini.
"Tak usah gugup begitu," ujar Ziyi. Merangkul pundak sempit Tianze lalu menuntun —tidak lebih tepatnya menyeret Tianze kedepan kelas.
Sampai dihadapan benda berbahan kayu hitam itu Tianze makin menunduk dalam.
Perlahan di tatapnya gugup deretan tuts berwana hitam putih itu ragu. Getaran ditanganya makin jadi bersama dengan kaki yang perlahan melemas.
"Ayolah Tianze, tunggu apa lagi." Sang Loashi kembali berucap lembut.
"Iya Tianze.... tak usah–"
Prankkk.
Suara keras pintu yang dibuka sontak menyentak sebagian besar penghuni kelas itu.
"Sudah ku katakan untuk tidak memainkan benda bodoh itu lagi, bukan!!" Bentak sang pelaku kegaduhan itu. Tepat dihadapan lelaki bermanik bulan.
"I-itu a-aku...." Yang dibentak lagi-lagi hanya bisa menunduk dalam. Terdiam.
Ziyi lantas langsung menarik tubuh kecil itu. Menyembunyikan dibaliknya sembari menatap khawatir.
"Kau baik-baik saja kan, Tianze?" Dijawab dengan anggukan lemas.
Ziyi kembali menatap kesebaliknya. "Hey, ada apa denga mu kawan?"
Mencoba berucap sedikit bersahabat walau dia tak bisa mengembunyikan tatapan tak suka pada lelaki yang dikenalnya sebagai sahabat Tianze itu.
"Kau yang ada apa?" ketus Zhenyuan tajam. "Pasti kau memaksa Tianze untuk inikan."
Zhenyuan benar-benar tak habis pikir apa yang membuat Tianze kembali menyentu benta terkutuk itu.
Dia hanya khawatir.
"Ada yang salah dengan itu? Apa masalah mu?" ketus Ziyi terpancing. Didorongnya pundak Zhenyuan kesar.
Sebelum makin tak terkendali. Sang Laoshi lebih duluh melerai.
"Ao Ziyi! Zhang Zhenyuan!""Ada apa dengan kalihan, hentikna ini sekarang," lanjut wanita itu tegas.
"Teruntuk dengan kau Zheyuan–"
"TIANZE, HEY LI TIANZE!!"
Tbc.
lupa ku up pdhl udah lama nulisnya untung semalam iseng2 ngecek :D
gaje ya hehehe maaf otw revisi ulang kok semuanya tp setelah kelar dlh /faktor typo dimana2 wkwwk/
masih ada yg ngestay di sini kan :)

KAMU SEDANG MEMBACA
Who You || CXD x LTZ [Slow]
FanficBromance, friendship, short story History renk : #2 in Chen Xida [19/03/27] #2 in Li Tianze [19/03/04] Start : 02/27 End : ©xcloser, 2019