Kepalanya menoleh kedalam ruangan serba putih yang didominasi dengan aroma antiseptik yang kuat.
Manik bulan lelaki itu menjalar keseluru penjuru ruangan namun dia tak kunjung menemukan seorang pun disana. "Sepertinya tak ada orang."
"Aku harus menaruh ini dimana?" tanyanya pada diri sendiri. Menatap kotak P3K yang tadi dititipkan padanya beberapa menit yang lalu.
Tianze melangkah santai, menuju meja yang biasanya di huni oleh dokter UKS yang bertugas. "Apa sebaiknya aku taruh di sini saja."
Cklek
"Oh? Hi Tianze," ucap seseorang yang baru saja masuk. "Apa yang kau lakukan disini?"
Tianze menoleh singkat. "Mengembalikan ini," jelasnya. Menunjuk kotak P3K yang baru saja di letakannya.
Ziyi, lelaki itu tersenyum khas. "Kebetulan sekali aku sedang membutuhkan itu," ujarnya sembari menyambar kotak putih itu.
Sambil membula kotak itu, Ziyi berucap, "Kau tak melihat dokter Lin?"
"Tidak." Tianze menggeleng pelan.
Diam - diam lelaki itu memperhatikan pelipis dan sudut bibir Ziyi yang terdapat jejak darah serta lebam dimana - mana.
"Auw," ringis Ziyi begitu menyentu pelan lukanya, hendak dibersikan. "Kenapa susah sekali," decaknya.
"Berikan itu pada ku," ucap Tianze lalu mendudukan tubuh kurusnya disebelah Ziyi.
Lelaki dengan senyum khas itu hanya menatap heran. Merupakan hal langkah Tianze mau duduk di sampinya tanpa paksaan sedikit pun.
Lantas Tianze langsung mengambil kapas yang sudah di berikan sedikit alkohol —membersikan lupa pada pelipis Ziyi dengan telaten.
"Kau berkelahi lagi?" tanya lelaki bermanik bulan itu.
Ziyi yang entah sejak kapan mulai melamun mengangkat alisnya. "T-tidak, aku hanya terjatuh tadi," ucapnya, beralasan.
"Aku bukan orang bodong yang tidak bisa membedakan mana luka akibat terjatuh dan mana luka akibat perkelahian."
Ziyi tersenyum hambar. "Kau khawatir pada ku?" Kemudian melirik Tianze jail.
Lelaki manis itu hanya mentap datar lalu menekan jail pelipis agak kuat.
"ARGH!" ringis Ziyi kesakitan.
"Kenapa kau berkelahi?" tanya Tianze lagi. Fokus mengobati luka Ziyi sesekali meniupnya pelan agar tak begitu perih.
Ziyi yang diperlakukan seperti itu hanya bisa membuang pandanganya random. Entah mengapa dia merasa gugup. Belum lagi dengan detak jantungnya yang membuatnya makin tak nyaman.
"D-dia yang lebih duluh mendorong ku."
Tianze lembali membuang nagas pelan. "Apa kau tak bisa, sehari saja tak membuat keributan." Jujur Tianze heran lelaki berahang tirus itu.
"Hehe." Ziyi hanya terkekeh kecil, mengusap tengkuknya pelan.
"Selesai," ucap Tianze finaly. Ziyi langsung memgubah posisi duduknya dari menghadap Tianze kini menghap tembok kosong dihadapan keduanya.
"Thanks," ujarnya tersenyum lembut.
Tianze mengguk singkat. "Hmm, tak masalah." Sembari memrapikan kotak P3K yang digunakannya.
Setelah melekan kotak itu di tempat semula Tianze melangkah —hendak meninggalkan UKS, sebelum Ziyi kembali berucap, "Mau kembali ke kelas bersama?"
"Hmm," gumang Tianze, mengiyakan.
Tak ada pembicaraan, keduanya hanya berjalan dalam hening. Dalam hati Tianze tanpa sadar terus bertanya tentang sikap Ziyi yang tidak bisa diam itu kini berbalik 180 derajat menjadi pendiam.
"Zi/Tian-" ucap keduanya bersamaan. Lantas Ziyi kembali tersenyum kecil sedangkan Tianze makin menatapnya heran.
'Sebenarnyaadaapadenganya?'
'Apa kepalanya terbentur juga tadi?' inner Tianze, prihatin.