i hide in the dark

1.1K 132 44
                                    

warning: terdapat deskripsi seksual, kekerasan, dan beberapa hal yang might be triggering for some people sepanjang cerita. kindly read with caution!


.:.


Ryu Sena menekan bel apartemen. Ia selalu menekan bel, tidak peduli apakah itu jam delapan malam atau tiga dini hari. Meskipun ia ingat jelas kombinasi angka untuk membuka kunci bagi dirinya sendiri, kalau Minseok sudah pulang dan ada di rumah, Sena akan tetap berkeras menekan bel dan menunggu dibukakan pintu.

Alasan sebenarnya bukan privasi; Sena hanya suka melihat pintu itu terbuka dan Kim Minseok di hadapannya, kadang masih memakai kemeja kusut sepulang dari rumah sakit, kadang memakai kaus tanpa lengan dan celana pendek di hari libur, kadang hanya memakai celana training dengan handuk menggantung di leher setelah olahraga.

Pada dering bel yang ketiga, ketika Sena nyaris menyerah dan mempertimbangkan untuk masuk sendiri atau merajuk dan pulang, pintunya dibuka. Minseok, tampak kusut dan lelah sepulang kerja, kancing teratas kemejanya baru dibuka satu, langsung menghela napas melihatnya. Kacamatanya sedikit merosot dari pangkal hidungnya. "Kau tahu kalau kau bisa masuk sendiri, kan? Lusa apartemen ini praktis jadi rumahmu," katanya, tapi ia tersenyum.

"Kalau begitu biarkan aku menekan belmu sampai saat itu saja," balas Sena. Kemudian ia melangkahkan kakinya maju, langsung masuk ke dalam pelukan Minseok dan mencium bibirnya. Minseok berbau seperti antiseptik, yang sebenarnya memuakkan, tapi beberapa minggu ini Sena sudah belajar untuk mengesampingkan ketidaknyamanan itu.

Pintu mengayun tertutup dengan bunyi pip tanda kuncinya aktif. Bunyinya seperti aba-aba, izin untuk membebaskan diri dari topeng kepantasan. Lampu di langit-langit dekat pintu padam otomatis begitu Sena mendorong Minseok dan mereka menjauh dari sensornya. Di dalam apartemen masih gelap. Sena bisa membayangkan semenit yang lalu Minseok membuka pintu apartemennya sendiri, melepaskan sepatu dan meletakkannya dengan rapi di rak, berjalan ke dalam untuk menyalakan lampu saat belnya berbunyi, jadi ia berputar sebelum sempat menekan sakelar.

Sena mendudukkan Minseok di sofa ruang tengahnya sebelum ia naik ke pangkuannya, mengapit Minseok di antara kakinya. Erangan protes yang akan dilontarkan Minseok teredam ketika Sena memasukkan lidah ke dalam mulutnya, menjilat bagian dalam mulutnya yang hangat dan lembut, melilit lidahnya.Sena menyeret jarinya di atas kain kemeja Minseok, meninggalkan jejak menggelitik di perut ke lehernya. Ia memilin-milin kancing paling atas dan menjentiknya lepas, turun ke kancing berikutnya.

"Ryu Sena." Minseok menjauhkan kepalanya ke belakang, melepaskan ciuman mereka. Suaranya terdengar agak jengkel. Kacamatanya miring. "Aku harus mandi dulu."

"Nanti juga kau akan mandi lagi setelah aku selesai denganmu," kata Sena.

"Benar," balasnya. Minseok bermaksud mengangkat Sena dari atasnya, tapi Sena memindahkan bebannya ke lutut dan menjepitnya lebih erat.

"Ayolah." Sena melepaskan satu kancing kemejanya lagi. "Ini toh tidak akan makan waktu selama itu."

"Apa kau sedang menyindir vitalitasku?"

Sena tidak bisa tidak tertawa masam. "Baiklah, kau menang. Silakan pergi mandi, Dokter."

Sena mengangkat kakinya dari atas Minseok dan Minseok berdiri dari sofa. "Dua puluh menit," katanya.

"Sepuluh," Sena menawar.

"Kau akan baik-baik saja menunggu selama dua puluh menit." Minseok berjalan ke arah kamar mandi sambil melepaskan kancing kemeja yang tersisa. Sena ingin menyergapnya dari belakang rasanya, tapi tidak ia lakukan. Minseok jarang sekali marah, tapi saat marah, sulit menenangkannya.

The Bride Is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang