i am only good at being bad

677 110 50
                                    

Sena terlonjak menegakkan punggungnya dan menjerit. Suaranya nyaring. Suaranya nyata. Minseok terhenyak di tempatnya melihat ledakan kepanikannya.

"Ryu Sena. Ryu Sena!"

Napas Sena memburu dalam histeria. Kedua matanya membelalak liar. Tubuhnya yang telanjang gemetar hebat sampai giginya bergemeretak. Minseok meraih kedua tangannya yang dingin dengan gesit dan menggenggamnya sambil berkata dengan suara yang tenang dan terlatih untuk menenangkannya, "Ryu Sena, tidak apa-apa. Dengarkan aku. Kau bisa mendengarku?"

Sena mengangguk cepat dengan otomatis. Ia bisa mendengar Minseok. Ia bisa mendengar Minseok. "Ak-ku dib-bunuh," katanya terbata-bata dengan rahang bergetar. "Seseorang membunuhku. Seseorang membunuhku! Seseorang membunuhku!"

Sena terus mengulanginya seperti mantra. Minseok menangkup wajah Sena dengan sepasang tangannya yang kokoh sehingga mata mereka bertemu lurus. Sepasang iris Minseok yang gelap berusaha menenangkannya. "Dengarkan suaraku," katanya. "Lihat aku. Tidak apa-apa. Tarik napas pelan-pelan. Tidak apa-apa."

Sena kesulitan bernapas, tapi Minseok di hadapannya menarik napas perlahan-lahan dan mengembuskannya secara teratur, dan secara naluriah Sena mulai mengikutinya. Setiap tarikan napasnya membuat dadanya nyeri. Jantungnya masih berdenyut-denyut cepat di balik rusuknya.

"Sshh, tidak apa-apa." Minseok meraih kepala Sena dan menariknya ke dalam dekapannya dengan lembut. "Tidak apa-apa. Sshh, kau akan baik-baik saja."

Sena tidak sadar ia sedang menangis sampai ia mendapati dadanya sesak. Air matanya meleleh, panas di pipinya. Minseok memeluk bahunya yang gemetar hebat dan mengelus punggungnya. Suara MInseok nyata. Kedua tangannya yang memeluk Sena nyata. Sena mereguk kehadirannya dalam sedu sedan.

"Apa yang terjadi?"

Sena menggeleng. "Seseorang membunuhku," gumamnya sekali lagi dengan bibir bergetar, seakan hanya itu kosakata yang tersisa baginya.

"Tidak apa-apa." Minseok memegang kedua bahu Sena, kembali menyejajarkan mata mereka. "Kau tidak mati. Itu hanya mimpi buruk."

"Tidak!" bantah Sena. Minseok salah. Minseok tidak ada di sana melihat Sena mati, tapi Sena ada di sana. Sena tahu apa yang terjadi. "Seseorang membunuhku," ulangnya, lebih keras. "Seseorang masuk ke ruang riasku dan menusukku." Begitu kata-kata itu meluncur dari bibirnya, Sena bisa merasakan rasa nyeri itu menjalari tulang-tulangnya.

"Siapa?"

Sena menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tidak tahu. "Kita seharusnya menikah, tapi aku—" Kata-katanya diputus oleh napasnya yang tercekat. "—dibunuh. Aku memanggilmu tapi—"

Minseok kembali memeluknya lembut. "Jangan takut. Aku bersamamu. Tidak ada yang akan melukaimu," bisiknya menenangkan. "Besok kita akan menikah dan kau akan baik-baik saja."

Satu kata itu membuat Sena membeku, seakan seseorang menekan tombol henti pada dunianya. Secara refleks, ia mendorong Minseok menjauh. "Besok?" tanyanya, tercengang. Ia menoleh pada jam digital di atas nakas. 8:31. Di sampingnya 140804 menunjukkan tanggal hari itu. Angka menitnya berubah, tapi tanggal itu tetap. 4 Agustus. "Ini tanggal 5."

"Ini tanggal 4," koreksi Minseok. "Kita menikah besok, Sena-ya."

Sena turun dari tempat tidur, mengabaikan panggilan Minseok dan berjalan telanjang menuju meja makan. Sarapannya siap, dan post it bertuliskan tangan Minseok terbaca persis; Sarapanmu. Jangan lupa minum cukup air. Tolong masukkan spreinya ke mesin cuci, nanti malam kubereskan.

Minseok menyusulnya dan membungkus bahunya dengan selimut. "Kau akan kedinginan."

Sena membiarkan Minseok membimbingnya kembali ke kamar dan mendudukkannya di tempat tidur. Ia meminum segelas air yang diambilkan Minseok dengan patuh. Ia bahkan tidak lagi gemetar. Post it itu kusut dalam kepalan tangannya. Apa yang terjadi?

The Bride Is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang