i do not need answers i need you to stay

393 64 11
                                    

note: sorry the timeline is a mess here ;;;

Kepada Park Chanyeol,

Sena menarik napas sejenak, menatap huruf-huruf kecil tebal yang dituliskannya di atas kertas, sebelum melanjutkan.

Ada tiga hal yang harus kau ingat baik-baik sebelum membaca ini. Aku berusaha menuliskan segalanya, tapi selalu ada hal yang tidak bisa dijelaskan lewat kata-kata kecuali kau mengalaminya sendiri. Tidak apa-apa, kau tidak perlu mengerti. Ingat saja aku.

***

Sena terbangun dan segalanya sakit. Kepalanya. Kerangka rusuknya. Kaki dan tangannya. Selama beberapa saat ia hanya bisa berbaring tanpa suara, ketakutan bahwa kesadarannya terperangkap dalam kelumpuhan. Beberapa saat—yang terasa seperti tahunan—kemudian Sena bisa merasakan tubuhnya kembali. Ia memerintahkan tangannya mengepal dan jemarinya menekuk ke dalam telapaknya yang dingin.

Tapi, terutama dadanya. Sesuatu di dalam sana berdenyut menyakitkan sampai membuat kedua mata Sena basah. Air matanya tidak bisa berhenti. Setiap detak jantungnya terasa seperti pengingat segala rasa sakit yang pernah Sena alami.

Sena tidak tahu tanggal berapa saat itu, dan otaknya pun belum bisa memproses di mana ia berada, tapi ia tahu satu hal. Ia sudah mati—akan mati. Hal itu tidak terhindarkan. Kesadaran itu tidak membuat keadaannya jadi lebih baik.

Sena membiarkan perasaannya mengambang di antara kenyataan itu. Ia akan mati. Rasanya berminggu-minggu yang panjang ini Sena sedang dipersiapkan untuk kematiannya, tapi ia tidak juga siap. Ia tidak akan pernah siap. Sena bertanya-tanya apakah akan berbeda jika ia hanya mati tanpa seluruh cerita ini. Apakah itu akan lebih mudah baginya.

***

"Sena-ssi! Kau sudah datang?"

Juyeon berdiri dari kursinya di balik meja kerja ketika Sena membuka pintu dan melangkah masuk. Sudah hampir tengah hari. Butiknya sepi. Juyeon pasti membiarkan dua orang karyawati mereka pergi makan siang lebih awal. Biasanya begitu saat tidak ada tamu di pagi hari.

Entah kenapa melihat kedua mata Juyeon yang berbinar-binar melihatnya dengan perasaan riang penuh semangat yang murni, Sena ingin menangis lagi.

"Hari ini tidak—eh?" Juyeon berhenti dengan bingung, nyaris menggigit lidahnya sendiri ketika tiba-tiba Sena memeluk bahunya. "Ada apa? Sena-ssi, apa kau sakit?"

"Tidak." Sena menggeleng-gelengkan kepala untuk menegaskan. "Aku hanya merasa lega sekali melihat Kim Juyeon yang kukenal."

"Apa pula maksudnya itu?"

Tapi tidak urung Juyeon balas memeluknya juga. Bahkan sekalian mengayun-ayunkan badannya seolah mereka dua anak-anak. Sena tertawa pelan.

"Duduk sini." Juyeon menarik tangan Sena pelan ke ruang kerjanya dan membimbingnya—malah nyaris seperti memaksanya—duduk di kursinya. Sena sudah seperti boneka saja di tangannya. "Kau mau minum kopi?"

Sena berpikir-pikir sebentar. Ia seharusnya berhati-hati. Ia seharusnya curiga. Tapi tidak ada lagi satupun hal dalam kehidupan ini yang membuatnya takut. "Boleh juga."

"Aku merasa aku satu-satunya orang di dunia yang tahu seperti apa kopi yang kau sukai. Kopi hitam dengan skim milk dua banding satu tanpa gula." Juyeon menyilangkan tangan di dada dan mengangkat dagunya dengan bangga. "Benar, kan?"

Sena mengangguk, tersenyum kecil.

Juyeon menyengir. "Aku yakin bahkan Minseok-ssi tidak tahu itu."

The Bride Is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang