"Berpisah?" Punggung Minseok menegak di tempatnya duduk, mengucapkannya terbata-bata. "Kita?"
"Ya." Sena tidak menoleh. Wajahnya tetap dan kaku. Ia mengulanginya sekali lagi, "Kita berpisah saja."
"Kenapa?" Itu pertanyaan yang lazim. Itu pertanyaan yang dipenuhi rasa cemas. "Tapi apa... kita—kenapa..." Minseok tidak bisa menyusun kalimatnya dengan benar. Pikiran-pikiran saling bersilang di dalam kepalanya. "Apa ada yang salah?" tanyanya. "Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"
Ketakutan yang menetes-netes dari kata-katanya membuat Sena merasa dingin, tapi ia bergeming. "Kau tidak melakukan apa-apa."
"Lalu kenapa tiba-tiba..."
"Ini bukan salahmu," Sena berkata pada udara kosong di depannya. "Ini bukan salah siapa-siapa. Aku hanya ingin kita berpisah."
"Kenapa?" Minseok tidak bisa memikirkan pertanyaan lain. "Kau tidak bahagia? Apa kau tidak bahagia bersamaku?"
Sena berharap ia bisa menjawab ya dan mengakhiri pembicaraan ini. Sena berharap segalanya bisa berakhir semudah itu. "Masalahnya lebih rumit. Aku tidak bisa menjelaskannya padamu."
Minseok menarik siku Sena menghadapnya. Menatap matanya, Sena bisa melihat sepasang irisnya yang gelap gemetar. Sena mengenali ketakutan. Rasanya ia sudah terlalu akrab dengan perasaan itu sekarang. "Sena-ya, tolong jangan bercanda. Kita akan menikah dalam tiga hari."
"Kita tidak akan menikah."
Minseok mencengkeram kedua bahunya. "Beri aku alasan." Sena melihat Minseok panik, tapi laki-laki itu berusaha keras menjaga suaranya tetap tenang untuknya. "Jangan seperti ini, Sena-ya. Apa salahku? Beritahu aku. Kalau ada yang tidak sesuai keinginanmu, beri aku kesempatan memperbaikinya."
Sena berharap segalanya akan berakhir semudah itu. "Kau tidak bisa memperbaikinya, Minseok-ssi. Aku hanya tidak bisa lagi menikah denganmu."
Minseok menelan dengan susah payah. Bibir bawahnya bergetar pelan. "Sena-ya..."
"Ingatkah kau, dulu kau pernah bilang kau tidak ingin menikah denganku?" Sena terkejut mendengar dirinya sendiri duduk dan bicara dengan sangat tenang sementara jantungnya terasa diremas-remas. "Kau bilang kau tidak punya waktu."
"Itukah masalahnya? Apa kau belum memaafkanku karena aku pada saat itu?" Minseok berdiri dari kursinya dan berputar ke depan Sena. Di hadapannya, Minseok berlutut dan menundukkan kepalanya dalam-dalam "Aku akan memohon padamu. Aku bersalah. Kumohon maafkan aku. Jangan lakukan ini, Sena-ya."
Napas Sena tercekat di tenggorokannya. Tidak pernah, dalam kehidupan mana pun, Sena membayangkan akan melihat Minseok melepaskan harga diri dan berlutut di hadapannya. Ia tidak menyukainya. Ia sepenuhnya sadar ia sedang menyakiti Minseok dan dirinya sendiri.
"Beri aku waktu," Sena mendengar suaranya sendiri berkata. "Kita butuh waktu."
Minseok mengangkat kepalanya. Sena nyaris bisa menyaksikan hidup ditarik keluar dari sepasang matanya. "Berapa lama?"
"Aku perlu berpikir." Itu alasan yang sangat lemah. "Satu minggu. Satu bulan. Aku tidak tahu. Aku hanya butuh waktu." Lemah dan dibuat-buat. "Jika setelah itu kita masih membutuhkan satu sama lain, aku akan kembali." Sena menelan ludah, tapi lidahnya sama keringnya dengan kerongkongannya. "Tapi, sampai hari itu..."
Jika aku masih hidup...
"...kita berpisah saja."
Sena selalu menyukai mata Minseok yang jernih. Kedua matanya jujur. Kedua matanya memberitahu Sena bahwa ia kebingungan, ia sedih, dan yang terutama, ia tidak mengerti apa yang terjadi pada Sena. Pada mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bride Is Dead
Fanfiction[Cerita ini masuk dalam daftar pendek The Wattys 2021] Kepada Park Chanyeol, Ada tiga hal yang harus kau ingat baik-baik sebelum membaca ini. Aku berusaha menuliskan segalanya, tapi selalu ada hal yang tidak bisa dijelaskan lewat kata-kata kecuali...