Seakan jantungnya yang baru saja berhenti diberi kejut listrik, Sena terkesiap bangun dengan kedua matanya membelalak. Dadanya berdenyut nyeri luar biasa, membuatnya tubuhnya terlonjak duduk dan terlipat dalam konvulsi. Ia menjerit, tapi suara yang keluar dari tenggorokannya hanya cicitan menyedihkan.
Suaranya mau tidak mau membangunkan Minseok dari tidur. Ia mengerjap-ngerjapkan mata dengan sia-sia. Pemandangan tunangannya yang sedang kesakitan tidak langsung menyusup ke dalam pikirannya yang terlelap. Kamar yang gelap sama sekali tidak membantu. "Sena-ya?"
Sena menggigil. Ia tidak tahu apakah itu karena dingin atau karena ternyata ia sedang menangis. Di tempat peluru menembusnya terasa sakit luar biasa; tidak ada luka, tidak ada darah, tapi kalau Sena menekan tangannya di sana, rasanya begitu sakit seakan peluru itu masih ada di sana, berusaha melepaskan jiwa dari tubuhnya.
"Sena-ya?" Minseok mengulurkan tangan dan menyentuh pundak Sena. Tangannya hangat. Hangat dan hidup. "Kau baik-baik saja?"
"Tidak." Kata-kata Sena keluar dengan serak penuh susah payah. "Aku baru saja mati. Kau melihatnya."
Tapi tidak ada kata-katanya yang mencapai telinga Minseok. Laki-laki itu merangkul bahunya, mengelus-elus lengannya untuk menghangatkannya. "Kau gemetaran. Ada apa?"
"K-kau melihatnya, kan?" Sena mencoba lagi, melafalkan kosakatanya penggal demi penggal lebih tegas dan jelas dengan susah payah. "Kau ju-juga ada di sana, kan? Kau melihat dengan kedua matamu saat—saat dia membunuhku, kan?"
"Shh, tidak apa-apa. Apa kau bermimpi buruk?"
Minseok mengulurkan lengan untuk memeluknya, tapi Sena menepisnya. "Aku tidak bermimpi!" teriaknya parau. "Aku dibunuh! Lagi! Kau melihatnya sendiri!"
"Apa yang kau bicarakan?" Minseok tidak mengerti. Ia terlalu lelah, mengantuk, dan tidak mengerti. "Apa yang terjadi? Siapa yang membunuhmu?"
Sena tidak tahu bagaimana menjelaskan sesuatu yang ia sendiri tidak paham. Di atas nakas, angka 4:12 berbinar merah di sebelah tanggal hari itu. 4 Agustus. Sena ada di sana waktu itu, atau tidak ada di sana. Segalanya sudah terjadi, tapi tidak terjadi.
***
Pagi sudah datang, tapi tidak berniat memperbaiki keadaan terlalu cepat. Sena terus merasa sakit kepala, seolah-olah efek samping ketamine yang diinjeksikan padanya tidak bisa keluar dari sistemnya. Minseok sudah mengecek suhu tubuhnya, dan Sena demam tinggi. Katanya ini gejala flu, daya tahan tubuh Sena melemah karena belakangan ini ia terlalu lelah.
Sena sudah memberitahu Minseok berkali-kali; ia tidak flu. Ia baru kembali dari kematian. Ia mati, dan kembali, dan mati sekali lagi hanya untuk kembali ke hari ini lagi.
Minseok membantah bahwa ia hanya bermimpi buruk.
"Aku tidak bermimpi buruk," Sena berkeras. "Aku sadar seratus persen dan aku tahu aku sudah mati. Aku seharusnya sudah mati, Kim Minseok. Percakapan kita saat ini sama nyatanya dengan percakapan kita sebelumnya, dan sebelumnya lagi."
Minseok menolak melanjutkan pembahasan itu. Ia memutuskan Sena perlu istirahat, dan menelepon asisten Sena di kantor untuk memberitahunya bahwa Sena tidak akan pergi bekerja karena sedang sakit, dan memintanya mengatur ulang semua jadwal pertemuannya hari ini setelah cuti pernikahannya selesai.
Juyeon tidak terlalu senang mendengar itu. Minseok tidak memasang pengeras suara, tapi Sena hampir bisa mendengar jelas Juyeon mengeluh, "Tapi kliennya baru saja meneleponku untuk memberitahu bahwa mereka dalam perjalanan ke sini."
"Mereka bisa menunggu," kata Minseok, terdengar agak kesal. "Kalau kliennya tidak setuju, minta mereka menghubungiku langsung. Sena punya pernikahannya sendiri yang harus dikhawatirkan."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Bride Is Dead
Fanfiction[Cerita ini masuk dalam daftar pendek The Wattys 2021] Kepada Park Chanyeol, Ada tiga hal yang harus kau ingat baik-baik sebelum membaca ini. Aku berusaha menuliskan segalanya, tapi selalu ada hal yang tidak bisa dijelaskan lewat kata-kata kecuali...