"Apa manusia terangkat ke atas atau ditarik ke bawah begitu mereka mati?"
"Astaga, aku mana tahu. Aku belum pernah mati."
Sena menyadari setiap kali ia mulai melamun, dialog itu terus terbesit di dalam kepalanya yang kosong melompong. Ia bahkan bisa mendengar suara Chanyeol dan melihat jelas ekspresi merengutnya ketika menjawab salah satu pertanyaan jeniusnya itu.
"Menurut pendapatmu saja."
"Aku tidak tahu," balas Chanyeol keras kepala. "Siapa juga yang suka sekali memikirkan kematian?"
Chanyeol remaja amat positif tentang kehidupan. Seandainya kiamat menunggu di depan matanya, alih-alih cemas, Chanyeol barangkali akan berusaha membujuknya memundurkan jadwal untuk hidup sehari lagi.
Sena tidak tahu apakah Chanyeol memang selalu begitu, atau itu hanya versi Chanyeol yang masih tertinggal di dalam ingatannya yang rapuh. Ada jeda kosong selama empat tahun dalam masa pertemanan mereka ketika Sena dan Chanyeol memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada kesepakatan, apalagi ucapan selamat tinggal. Tidak ada juga pertanyaan bagaimana atau kenapa. Berpisah begitu saja, seolah mereka yang saling mengenal dari ujung rambut hingga kaki tidak pernah eksis bagi satu sama lain.
Sena tidak kehilangan. Chanyeol juga tidak. Melepaskan hanyalah bagian kecil dari cara mereka tumbuh dewasa.
***
Chanyeol tidak bertanya apa yang ingin Sena tunjukkan padanya, tapi Sena tahu laki-laki itu ingin tahu. Setelah mereka selesai menurunkan properti untuk pemotretan dan koper-koper yang dititipkan anggota tim untuk dibawa ke hotel, Sena menuntunnya, "Ikut aku sebentar."
"Eh, oke." Chanyeol kelihatan ragu-ragu, tapi ia membiarkan Sena berjalan duluan dan mengikutinya dengan keingintahuan yang ditahan-tahan.
Sena membuka kunci kamar hotelnya dengan kartu, mengayunkan pintunya dan berjalan ke dalam. Chanyeol menunggu di depan, tidak yakin apakah Sena bermaksud menyuruhnya masuk atau menunggu di sana, dan ia sudah membuka mulut untuk bertanya, tapi tidak sempat karena Sena mendahuluinya, "Cepat ke sini, dan tutup pintunya."
Chanyeol melangkah patuh, merapatkan pintu kamarnya sampai terdengar bunyi klik halus tanda pintunya terkunci, kemudian berbalik kembali menghadap padanya. Sena menyalakan semua lampu kamar hingga benderang dan panasnya nyaris terasa di kulitnya.
"Jadi apa yang—YA, ya, Ryu Sena—"
Sena berdiri di hadapan Chanyeol, menarik pakaian atasannya melewati leher dan menanggalkannya. Bra tanpa tali berwarna hitam membuat kulit Sena yang terbuka tampak sangat pucat dibawah terang lampu.
Secara refleks Chanyeol mengambil satu langkah mundur, kedua matanya yang memang besar membulat sampai hampir menyeramkan. Telinganya memerah tegas. Ia tergagap-gagap panik, "Ya, kau—gila, ya, kau sedang apa—"
"Aku sudah mati empat kali pada hari pernikahanku dan kembali lagi," Sena menyela protesnya dengan tenang. "Kalau kubilang begitu, kau akan menganggapku gila, kan? Tapi, aku punya bukti. Pertama," ia menyusuri garis biru kehitaman di perut bawahnya dengan jari telunjuk, "aku ditusuk sebelum upacara pernikahan."
Chanyeol mengatupkan mulut. Lekumnya naik turun ketika ia menelan ludah. Matanya agak takut-takut mengikuti arah tunjuk Sena.
"Kedua," Sena menunjuk lebam ungu di dada sebelah kiri, "hari itu kau menembakku."
Chanyeol memilih menatap mata Sena daripada dadanya. "Aku? Kenapa aku—"
Sena tidak menunggu Chanyeol menyelesaikan pertanyaannya. "Ketiga, kecelakaan lalu lintas. Aku terlempar ke jalan raya dan dilindas mobil." Ia menunjuk area lebam samar di rusuk-rusuknya, yang tidak akan terlihat jelas kecuali di bawah penerangan. "Kematianku yang terakhir, kukira tidak ada bekasnya, tapi..."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bride Is Dead
Fanfic[Cerita ini masuk dalam daftar pendek The Wattys 2021] Kepada Park Chanyeol, Ada tiga hal yang harus kau ingat baik-baik sebelum membaca ini. Aku berusaha menuliskan segalanya, tapi selalu ada hal yang tidak bisa dijelaskan lewat kata-kata kecuali...