i am a hell of a night

426 73 21
                                    

Sena mendengar suara itu memanggil-manggil namanya berulang kali. Betapa Sena ingin membalasnya. Betapa Sena ingin berseru agar suara itu tahu di mana harus menemukannya. Tapi, mulutnya tidak mau membuka. Suaranya tidak bisa keluar.

"Sena-ya."

Sena rindu. Kapan terakhir kali ia mendengar suara itu? Mungkin belum lama. Mungkin sudah lama sekali. Waktu adalah hal yang sangat aneh. Siapa yang bisa menjelaskan mengapa satu hari bagi seseorang dan bagi orang lain terasa yang berbeda?

Selamanya itu berapa lama tepatnya? Setiap kali mendengar kata itu, Sena bertanya-tanya. Selamanya adalah kebohongan yang lebih menakutkan dari cinta. Selamanya adalah janji yang keji dan ancaman yang menenangkan di saat yang sama.

"Sena-ya."

Sena ingin menjawab. Percik kecil kehidupan di dalam dirinya sedang bingung dan ketakutan. Mereka tidak tahu di mana jalan keluarnya.

"Sena-ya."

Bahunya berguncang pelan. Dadanya sakit. Kepalanya sakit. Seluruh badannya sakit. Bahkan sentuhan ringan itu membuat Sena ingin menjerit. Perlahan-lahan Sena merasakan kelopak matanya berkedut. Ketika ia membukanya, cahaya menusuk-nusuk matanya seperti ujung jarum.

"Sudah kubilang kau perlu istirahat, bukan kafein." Suara itu nyata, ternyata. Bukan hanya imajinasi yang dikarang-karangnya. "Lihat, kan? Baru kutinggal sebentar saja kau sudah ketiduran."

Sena sudah tahu itu suaranya, tapi melihat Chanyeol (yang sedang mencebik seperti bocah merajuk) dengan mata kepalanya sendiri entah kenapa membuatnya terkejut dan lega bersamaan.

"Siapa yang akan tanggung jawab kalau kau pingsan? Juyeon-ssi sudah sering menyindirku karena melibatkanmu dalam proyek-proyek majalah. Dia akan menggorok leherku kalau kau mati kelelahan."

Sena tidak benar-benar mendengarkan celotehnya. Napas yang dihirupnya beraroma kopi. Chanyeol tersenyum ketika Sena mengangkat kepala dari atas meja kerja untuk menatapnya. Ia melangkah menghampiri dan meletakkan gelas kertas dari kafe di hadapannya. Sena tidak perlu menyentuhnya untuk tahu permukaan gelas itu panas.

"Ini sudah malam, sebaiknya kita pulang sekarang." Chanyeol mengulurkan tangan dan meletakkan punggung tangannya di dahi Sena. "Kau kelihatan tidak sehat."

Tangannya hangat. Dan hidup. Kehangatan itu menjalari Sena dan menyadarkannya bahwa ia masih hidup.

Sena memeluk Chanyeol dan mengubur wajahnya pada pakaiannya yang kusut. Sena tidak berpikir maupun memerintah tubuhnya. Ia hanya membutuhkan pelukan itu.

"Ada apa?" Nada bicara Chanyeol berubah khawatir. "Apa kau sakit?"

"Sebentar, ya," Sena meminta serak. Suaranya terdengar jauh dan janggal bagi telinganya sendiri. "Aku baru saja bermimpi buruk."

"Buruk sekali?"

Sena tidak menjawab pertanyaannya. Mereka membiarkan keheningan itu masuk dan menempati ruang kerja itu dengan sukarela. Sena menangis tanpa suara. Kalau Chanyeol merasa Sena bertingkah aneh, ia tidak berkata apa-apa. Ia mengelus-elus punggung Sena sebagai ganti ucapan tidak apa-apa dan kau akan baik-baik saja yang tidak ada artinya.

***

Chanyeol yang mengemudi. Perjalanan mereka berlalu dalam hening, kecuali desing sia-sia dari saluran radio yang dikecilkan volumenya. Malam sesungguhnya belum matang penuh. Kelap-kelip kota belum menunjukkan tanda-tanda lelah.

Sena duduk menyandarkan kepalanya dan lebih banyak memandang ke luar jendela. Chanyeol tidak bertanya apakah Sena sudah merasa lebih baik—barangkali air mukanya sudah memberitahunya dengan jelas. Ia juga tidak meminta Sena bercerita. Sena pun tidak ingin membicarakannya sekarang.

The Bride Is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang