Sena tidak mengikuti waktu, tapi ia tahu ia sudah berdiri lama. Juyeon dan pegawainya dibiarkan pulang lebih awal berjam-jam yang lalu. Pasti sudah larut malam. Sena menjahit satu demi satu permata semungil tetes air mata pada dada gaun pengantinnya seorang diri hingga pandangannya terasa berkunang-kunang, tapi saat itu pun butir-butir berkilauan di dalam genggaman tangannya belum juga habis.
Pintu ruang kerjanya berderit pelan saat dibuka dari depan; bunyinya menyusup begitu saja dari perhatian Sena. Kalau bukan karena silau sorot lampu yang belum dimatikan di luar ruangan itu, Sena tidak akan melihatnya datang-sepasang mata yang bulat besar, napas yang tersengal pelan seolah jantungnya berdebar-debar terlalu cepat.
"Ryu Sena."
Suara Chanyeol terdengar gelisah, tapi juga lega. Sol sepatunya berkeletak-keletuk di atas lantai selagi ia melangkah masuk. Wajahnya gelap di bawah bayang-bayang cahaya dan kekalutan. Rasanya seperti sudah lama sekali Sena tidak melihatnya dan ia nyaris melupakan seperti apa perawakan Park Chanyeol yang terekam di dalam kepalanya; tapi Sena tidak lupa.
Chanyeol mengacungkan amplop yang kusut di tangannya ke depan wajah Sena dengan gestur yang menuntut. "Apa maksudnya ini?" Suaranya berat, sarat rasa cemas. "Jelaskan padaku dengan benar. Aku tidak mengerti. Apa maksudmu kau akan mati? Kenapa kau akan mati?"
Sena melepaskan sisa empat butir permata dari tangannya yang lengket berkeringat ke atas meja. "Bagaimana menurutmu gaunku?" tanyanya. "Aku melakukan pekerjaan yang sangat bagus, kan?"
Chanyeol menatapnya lamat-lamat, di dalam kedua matanya ia seperti sedang berdebat dengan diri sendiri. Kemudian ia menyerah. "Bagus." Chanyeol mengalihkan pandangannya pada gaun pengantin yang dipasang pada manekin plastik tanpa kepala itu. "Seperti yang kau tahu, aku tidak benar-benar paham soal gaun, tapi menurutku gaunmu kelihatan sempurna."
"Persis itu yang ingin kudengar." Satu sudut mulut Sena terangkat congkak. "Terima kasih."
Mereka sama-sama lekat menatap gaun itu, seolah gaun itu akan melakukan sesuatu yang ajaib jika mereka menunggu cukup lama.
Sena yang akhirnya memecahkan keheningan itu, "Apa kau ingin melihatku mencobanya?"
Chanyeol mengangkat bahu, tidak menatapnya. "Kenapa tidak?"
"Baiklah." Sena menuding manekin itu dengan dagu. "Ke sini, bantu aku membawa gaun ini ke ruang ganti."
'Membantu' berarti Sena membiarkan Chanyeol yang membawa gaun pengantin itu, yang beratnya setidaknya beberapa kilogram, dengan kedua tangannya yang kokoh ke ruang ganti-satu-satunya ruangan di butik Sena yang layak tampil karena di sanalah mereka menerima tamu. Tidak ada tangan lain yang bisa dimintai bantuan, jadi Sena melepaskan pakaian dan memberitahu Chanyeol apa yang perlu dilakukan untuk membantu Sena mengenakan gaun pengantinnya. Ketelanjangan tidak mengganggu satu pun dari mereka-Chanyeol tidak menganggapnya penting dan Sena tidak cukup peduli untuk terusik oleh laki-laki menarik risleting di punggungnya.
Gaun itu longgar di pinggang, tidak memeluk badan Sena dengan pas sehingga ia tampak seperti tenggelam di dalam gaunnya. Sena mencubit sedikit kain dengan penjepit. "Aku banyak berpikir," berdiri di depan cermin besar ia bergumam dengan kepala tertunduk, nadanya merenung. "Tentang lusinan 'pertama kali' semua orang."
Chanyeol membolak-balik majalah di atas meja, seperti asisten, atau barangkali calon mempelai pria yang bosan. Jawabannya hanya gumaman.
"Hari pertama sekolah," Sena memulai. "Langkah pertama. Tumbuh gigi. Kencan pertama. Malam prom. Gaji pertama. Ciuman pertama. Jatuh cinta. Film bioskop pertama. Kelahiran. Kematian. Pernikahan." Sena bisa saja melanjutkan, tapi ada begitu banyak pertama yang bahkan tidak terlintas di kepalanya justru ketika ia berusaha memikirkannya. "Tentu saja banyak hal bisa terjadi berulang kali, tapi pertama kali hanya terjadi satu kali. Apa kau mengerti maksudku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bride Is Dead
Fanfic[Cerita ini masuk dalam daftar pendek The Wattys 2021] Kepada Park Chanyeol, Ada tiga hal yang harus kau ingat baik-baik sebelum membaca ini. Aku berusaha menuliskan segalanya, tapi selalu ada hal yang tidak bisa dijelaskan lewat kata-kata kecuali...