Makanan melewati mulut Sena begitu saja, seperti angin melewati celah-celah jendela. Sendok dan sumpitnya bergerak konstan, ia mengunyah cepat tanpa peduli apa rasa yang dikecap lidahnya. Seandainya rasa laparnya berwujud, bentuknya adalah lubang gelap tanpa dasar. Tidak pernah Sena selapar ini—tapi dalam setiap suapan yang ia telan, Sena merasa sedang mengisi bagian dari jiwanya yang melompong.
Chanyeol mengamatinya sambil bersedekap, mereka berhadapan ditengahi meja makan bulat yang penuh sesak oleh piring dan bungkus makanan instan. Hanya diam, tapi Sena tahu tatapan laki-laki itu sedang menghakimi Sena. Lama mengamati, sampai akhirnya ia tidak tahan untuk tidak berkomentar, "Apa di kehidupan sebelumnya kau adalah pengemis?"
"Bisa jadi," Sena menjawab setelah menelan nasi di dalam mulutnya. Kemudian sebuah pikiran menghampirinya. "Tunggu, kalau dpikir-pikir aku belum makan sungguhan sejak aku mati pertama kali. Itu sudah beberapa hari yang lalu. Pantas saja aku kelaparan."
Sena melanjutkan makan siangnya yang awal-tapi-terlambat, kemudian Chanyeol berdiri dari kursinya. Ia keluar tanpa berkata apa-apa, meninggalkan pintu apartemennya setengah terbuka, dan Sena tidak bertanya—tidak peduli—ke mana ia pergi. Tepat lima belas menit kemudian, Chanyeol kembali dengan satu kantong plastik berisi kimbab segitiga dan ramen instan dari minimarket dua puluh empat jam di seberang gedung.
"Kalau kau masih lapar," katanya sebelum Sena bertanya untuk apa itu.
Sebagai ganti ucapan terima kasih, karena Sena memang belum merasa kenyang, ia bertanya, "Apa kau tidak punya urusan lain yang harus diselesaikan?"
"Ada."
"Kalau begitu pergilah."
Chanyeol tidak langsung menanggapi. Barangkali sedang bertanya juga pada diri sendiri kenapa ia berada di sana. "Aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian," jawabnya akhirnya.
Sena mengibas-ibaskan sendoknya di udara. "Aku akan baik-baik saja."
Chanyeol bergeming, tiba-tiba tampak ragu dan canggung.
"Pergilah," Sena mendesak lebih tegas. "Aku benci ditontoni saat makan."
"Aku tahu," balas Chanyeol, nadanya keras kepala, tapi ia beranjak. Geraknya enggan, seolah menantikan apakah Sena akan berubah pikiran, tapi Sena tidak berubah pikiran. Pada detik-detik terakhir, Chanyeol berkata seakan ia mendadak ingat sesuatu, "Kau harus lebih berhati-hati. Jangan percaya pada siapapun, atau apapun. Semuanya bisa saja berbohong padamu."
"Termasuk kau?" Sena menghentikan tangannya yang menyuap sejenak untuk menyahut. "Kalau kau bilang semua berbohong, dan kau juga bohong, bukankah berarti semuanya jujur? Tapi kalau kau tidak berbohong, bukankah itu berarti pernyataanmu kontradiktif dengan kenyataan?"
Chanyeol memutar bola matanya, keraguannya berubah muak. "Paradoksikal sekali jalan pikiranmu."
Sena mengangkat bahu. "Kukira aku selalu seperti itu."
"Memang."
Chanyeol akhirnya meninggalkannya dan Sena menyelesaikan makanannya. Kegiatan membereskan meja makan dan merapikan perangkat makan kembali ke tempatnya masing-masing kurang-lebih membantu Sena meletakkan keping-keping pikirannya yang berserakan.
Sena adalah orang yang berorientasi pada logika, dan satu-satunya yang bisa ia andalkan dalam kekacauan ini adalah menyusun teori dan menarik kesimpulan. Sena yakin jika ada jalan baginya terjebak dalam situasi ini, harus ada jalan baginya untuk keluar.
Pada papan kerja yang biasa ia tempeli kertas-kertas dan cetakan desain gaun, Sena menempeli secarik kertas bertulis tangan berisi rencana sementaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bride Is Dead
Fanfiction[Cerita ini masuk dalam daftar pendek The Wattys 2021] Kepada Park Chanyeol, Ada tiga hal yang harus kau ingat baik-baik sebelum membaca ini. Aku berusaha menuliskan segalanya, tapi selalu ada hal yang tidak bisa dijelaskan lewat kata-kata kecuali...