i think about it twenty four seven

405 74 64
                                    

Mereka semua duduk bersama di area luar restoran, dinaungi sinar bulan yang malu-malu. Pemotretan sudah selesai dan semua orang bergembira. Chanyeol jelas gembira—ia yang bekerja paling keras di belakang dan di depan kamera selama dua hari. Merayakan kinerjanya yang cemerlang, Chanyeol mentraktir seluruh timnya termasuk Juyeon dan Sena, meskipun Juyeon awalnya menolak dengan alasan perjalanannya dan Sena ditanggung pengeluaran manajemen mereka.

Langit malam cerah berbintang. Kelap-kelipnya seperti mata yang mengamati Sena dari balik gumpal awan. Semua orang bergembira. Sena juga gembira—ia yang tadinya tidak ingat kapan terakhir kali ia bersenang-senang. Terakhir kali ia tidak ketakutan. Meski ia tahu ketika malam itu padam, tawanya pun mati. Sena masih punya nanti.

Pertanyaan itu menyelip dalam pembicaraan yang campur aduk satu dengan lain, "Chanyeol-ssi tidak minum?"

Yang mendengar menoleh pada Chanyeol, menemukannya menggeleng. "Aku tidak minum alkohol."

"Sama sekali?"

"Sama sekali," Chanyeol memastikan.

Ada segelintir wajah yang skeptis. Sisanya yang sudah tahu mengangguk-angguk membenarkan.

"Chanyeol bukan tidak minum," Sena menyela. "Dia tidak suka."

Lebih banyak pasang mata berpaling pada Sena, ingin tahu.

Sena memberitahu mereka, "Waktu masih sekolah, kami pernah mencoba minuman keras diam-diam dan ternyata dia tidak suka rasanya."

Duduk di hadapannya, Chanyeol berdecak, tersenyum enggan. "Sejak itu aku tidak minum lagi."

"Harus kuakui rasanya aneh sekali saat itu." Senyumnya menular, menarik sudut-sudut mulut Sena naik seperti yang selalu terjadi. "Tapi setelah cita rasaku berubah begitu dewasa, rasanya tidak buruk."

Chanyeol mengibas-ibaskan tangan membantah. "Tidak, terima kasih. Tidak usah mencoba lagi."

Sena mengedarkan pandangannya dari Chanyeol pada semua orang dan mengumumkan, "Chanyeol dulu adalah anak nakal, tapi dia anak nakal yang sangat pilih-pilih."

"Aku tidak pilih-pilih." Chanyeol mengikuti gestur Sena, mencari pembelaan. "Aku hanya tidak senekat Sena. Harus ada satu orang yang rasional dalam hubungan ini, dan itu aku."

Ujung pembicaraan itu adalah Sena dan Chanyeol, membocorkan sisi satu sama lain pada dunia yang tidak ingin tahu, "Chanyeol akan membantah siapapun kecuali ibunya."

"Seandainya aku membiarkan Sena saja melakukan segalanya, kami barangkali sudah mati seratus kali."

"Chanyeol berpikir ikut bimbingan belajar malam adalah tindakan memberontak. Bimbingan belajar."

"Kalau kalian melihat rapornya Sena, kalian akan setuju kalau dia perlu ikut."

"Aku lebih dulu bisa mengemudi daripada Chanyeol."

"Sena hampir melempar kami berdua dari tebing saat belajar, dengan mobil ayahku pula."

Sena bisa dengan percaya diri berkata, "Tidak ada hal tentang Chanyeol yang tidak kuketahui."

Sebaliknya bagi Chanyeol, "Aku tidak mengenal Sena sebaik itu."

Tapi, ada binar di dalam mata Chanyeol setiap kali ia menyebut nama Sena. Sena bisa melihatnya, pun semua orang. Mungkin pada sepasang mata Sena ada percik serupa ketika ia menyebut nama Chanyeol. Bentuk pertalian yang dibangun bertahun-tahun.

"Aku selalu merasa Chanyeol-ssi dan Sena-ssi sangat cocok." Perkataan itu segera disusul ralat yang buru-buru, "Maksudku sebagai teman."

The Bride Is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang