"Syaratnya, lo harus jadi pacar gue."
SINTING! GAMA SINTING!
Entah untuk keberapa kalinya aku mengumpati pemuda itu. Memang benar-benar gila pemuda bernama Gama itu.
Bisa-bisanya ia dengan santai mengatakan kalimat seperti itu? Cih, dasar cowok.
Ting!
Sebuah notifikasi memasuki ponselku. Membuatku mau tak mau membukanya untuk melihat siapa yang mengirimiku pesan.
08236xxxxxxx
|masih ada besok
|gausa terlalu mikirin gue, entar guenya baperBANGSAT!
Anda
|Bacoto q a n t a
Aku tahu hari ini adalah hari aku harus memberi jawaban. Namun, aku tak tahu kalau...
...Gama akan seantusias ini sampai menungguku di depan gerbang sekolah. Bersama dengan senyum sok manisnya, pemuda itu menyambutku sesaat setelah aku turun dari mobil Bang Bagas, kakakku yang saat ini tengah memperjuangkan skripsinya.
"Pagi, calon pacar." sapanya sudah membuatku mual.
Aku memutar kedua bola mata. Tak berniat meladeni pemuda itu sehingga aku langsung jalan lurus tak menggubris panggilan dari Gama.
"Idih, ganteng gini gue dicuekin." ujarnya masih tak kugubris.
Namun, namanya pemuda absurd, pastilah bukannya marah, Gama malah terkekeh pelan sembari berlari kecil menyamakan langkah denganku.
Dan, yang terjadi selanjutnya benar-benar membuatku ingin menghilang dari dunia.Sebuah usapan pelan di kepalaku dan sebuah senyuman manis Gama berikan sebelum pemuda itu berbalik dan berjalan beberapa langkah di depanku.
Sayangnya, yang namanya Gama memang tak pernah tak menyebalkan.
Sepuluh langkah. Baru sepuluh langkah. Pemuda itu kemudian berbalik badan kembali dan berteriak dengan nada keras.
"SEMANGAT BELAJARNYA CALON PACAR!"
o q a n t a
Aku benar-benar merasa pening sekarang. Entah sudah berapa kali teman-temanku menanyaiku perihal hal yang sama.
Siapa lagi kalau bukan si menyebalkan Gama?
Akibat teriakan pemuda itu saat diparkiran tadi pagi yang berarti didengar oleh beberapa murid yang berada disana, akhirnya tersebar rumor bahwa aku adalah calon pacar dari Gama sesuai dengan apa yang pemuda itu ucapkan.
"SEMANGAT BELAJARNYA CALON PACAR!"
Cih.
"Bi, lo seriusan sama Gama? Maksud gue gimana bisa?" cerca Zoe sedetik setelah gadis itu tiba di kelasku setelah jauh-jauh dari MIPA.
Aku memutar kedua bola mata malas. Belum aku menjawab, Difda dan Lashira dari kelas sebelah datang dengan grasak-grusuk.
"Bi, masa gue denger katanya lo jadian sama Gama?!" ujar Lashira tak santai.
Aku memegang pelipisku menahan pusing. Apalagi Sahla dan Darla tak membantu sama sekali dan malah haha-hehe saja.
"Bianca, seriusan lo sama Gama--"
"BERISIK!" sentakku akhirnya membuat teman-temanku tersentak kaget.
Bodoamat. Aku sudah jengah diberi pertanyaan seperti ini.
Tanpa bicara aku berdiri dari dudukku dan berjalan keluar kelas. Taman belakang sekolah adalah tempat pertama yang aku pikirkan.
Alasannya? Tentu saja karena tempat itu bisa dipastikan tengah sepi. Apalagi saat ini sedang ada pelajaran, kebetulan saja kelasku tengah jamkos.
Aku menghela nafas kasar sesaat setelah aku mendudukkan diri di atas salah satu bangku taman. Pikiranku jadi mengingat-ingat kejadian beberapa hari terakhir ini yang selalu berhubungan dengan Gama.
Bagiku, Gama benar-benar aneh. Satu tahun aku bersekolah disini, aku tak pernah menyadari keberadaan Gama. Bahkan aku saja tak tahu kalau ada manusia bernama Gama Oqanta Adriel diantara teman seangkatanku. Padahal bisa dibilang aku ini cukup up to date perilah cogan hitz sekolah.
Namun, secara tiba-tiba Gama muncul dan mulai memasuki kehidupanku. Membuat hari-hariku belakangan ini naik dan turun.
Entah aku harus kesal atau senang dengan kehadiran Gama.
"Mikirin gue, ya?"
Aku tersentak kecil saat suara familiar itu memasuki gendang telingaku. Tentu saja, si cenayang menyebalkan.
Aku mendengus kesal sembari menggeser dudukku saat Gama jelas-jelas duduk dengan jarak sangat dekat denganku. Bahkan lengan kirinya sampai menyentuh lengan kananku. Benar-benar sukses membuatku risih.
"Lo tuh sebenernya apaan sih? Dimana-dimana perasaan muncul mulu." ujarku menujukkan ekspresi risih dengan jelas. Namun, memang dasarnya Gama adalah pemuda absurd, jadilah ia tak merasa tersinggung sedikitpun. Justru malah terkekeh kecil.
"Gue manusia kok. Cuman, hati gue aja yang tersambung sama hati lo, jadinya gue tau deh lo dimana." Ugh, menyebalkan.
Aku memutar kedua bola mata malas. Kali ini tak berniat membalas candaannya dan memilih diam saja. Seketika tercipta suasana hening diantara kami.
Namun, sepertinya Gama bukan tipikal pemuda yang suka dengan suasana hening, karena belum beberapa menit ia kembali berujar.
"Bi."
"Hm."
Helaan nafas berat terdengar dari Gama membuatku meliriknya yang ternyata tengah memandang lurus ke arah depan. "Gue mau ngasih tau sesuatu." ujarnya yang lagi-lagi hanya kubalas deheman.
"Dengerin baik-baik ya. Gaada siaran ulang." ujarnya lagi kali ini sukses mengingatkanku tentang momen memalukan kemarin.
Aku menoleh cepat ke arah Gama yang mengejutkannya tak menunjukkan tanda-tanda tengah bercanda. Kupikir ia tengah meledekku. Namun, sepertinya tidak.
"Cuma nyokap yang manggil gue dengan panggilan "Gama". Gue nggak pernah ngebolehin orang lain buat manggil gue dengan nama depan gue." sumpah, wajah serius Gama saat ini benar-benar jarang ku temui. Membuatku tanpa sadar terpaku pada side-face nyaris sempurna milik Gama.
"Udah dua tahun semenjak terakhir kali gue denger ada yang manggil gue Gama. Sebelum akhirnya lo panggil gue waktu di halte." pandanganku meredup saat kulihat ekspresi Gama yang mengkeruh.
Refleks aku mengusap pelan lengan kirinya, membuat Gama menoleh dengan tatapan tajam lurus ke arahku. Lama kami berpandangan sebelum akhirnya sebuah senyum tipis Gama tampilkan kepadaku.
"Lo boleh panggil gue Gama kalo lo mau."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Elefant
Teen Fiction"Elefant dari Bahasa Jerman, artinya Gajah." "Gama, untuk pertama kalinya, gue ngeliat orang setangguh elo, kayak gajah."