Setelah sesi curhat semalam, entah kenapa aku merasa jauh lebih dekat dengan Gama ketimbang sebelumnya. Rasanya menyenangkan saat Gama mau terbuka padaku. Bukannya itu pertanda bahwa Gama mulai percaya denganku?
Efek semalam juga sanggup membuat moodku naik pagi ini. Aku sampai bangun lebih pagi hanya untuk berdandan dengan benar.
Cenayang
|gue di depanAku tersentak kaget saat membaca pesan dari Gama yang masalahnya dikirim lima menit yang lalu. Dengan kecepatan kilat aku segera merampungkan kegiatan berdandanku dan bergegas keluar dari kamar. Sangking buru-burunya, aku sampai tak mendengar panggilan Mama dari dapur.
"Bianca, hei!" panggil Mama lagi membuatku segera banting stir mengarah pada dapur.
"Kenapa, Ma?" tanyaku buru-buru dengan nafas ngos-ngosan. Membuat Mama memandangku heran.
"Habis ngapain kamu? Kok ngos-ngosan gitu?" aku hanya menunjukkan cengiran sebelum akhirnya berpamitan sembari menerima bekal buatan Mama.
"Dadah, Mama. Assalammualaikum."
o q a n t a
Canggung. Hanya satu kata itu yang bisa mendeskripsikan posisiku dan Gama saat ini. Aku merasa Gama juga tak berniat membuka percakapan. Pemuda itu hanya fokus menyetir motor.
Aku mendengus kesal pada situasi ini. Sebagai pribadi yang supel, aku kurang senang berada di situasi canggung. Rasanya menyebalkan saat kita harus diam padahal sedang tidak sendirian.
Namun, bodohnya aku, biasanya aku langsung bisa membangun percakapan. Tetapi rasanya bibirku kelu dengan otak blank sehingga tak bisa memikirkan topik apapun.
Lagian, biasanya kalau sedang berdua begini 'kan pihak cowok yang mencari topik obrolan.
"Mampir supermarket dulu mau nggak?" suara Gama yang samar karena tertutup helm fullfacenya memaksaku untuk sedikit mencondongkan badan untuk mendengar lebih jelas ucapan pemuda itu.
"Hah? Apaan?" ujarku membuat Gama sedikit menoleh.
"Mampir supermarket dulu. Mau nggak?"
"Oooh. Boleh deh." jawabku seadanya kembali mundur ke belakang.
Namun, aku tersentak kaget saat tahu-tahu Gama mengegas motor dengan kecepatan lebih tinggi. Membuatku refleks memeluk pinggangnya yang dilapisi jaket bomber hitam.
Aku menahan nafas sesaat berusaha menetralisir detak jantungku yang tak biasa.
"Makanya pegangan." komentar Gama singkat menarik kedua tanganku untuk semakin memeluk pinggangnya.
Sadar akan situasi, aku segera menarik tanganku darisana bersamaan dengan semburat merah muda yang muncul di kedua pipiku.Namun, Gama dengan sigap menarik kembali kedua tanganku.
"Jangan mikir gue modus. Kecuali kalo lo mau kejengkang ke belakang." ujar Gama lagi membuatku diam tak berkutik.
Saat ini satu hal yang aku harapkan. Gama tak mendengar suara keras dari detak jantungku.
o q a n t a
"Seriusan lo pagi-pagi beli soda?" ujarku agak ngegas pada Gama yang menyodorkan sebotol soda berwarna merah menyala kepadaku. Saat ini kami tengah berdiri di depan kasir.
Gama hanya mengangguk dengan ekspresi cuek khasnya. "Nggak sehat, Gam." ujarku lagi masih kekeuh tak mau menerima botol itu dari tangan Gama.
Pemuda itu kemudian terkekeh kecil. "Jadi gini, ya, rasanya diperhatiin sama lo." ujarnya cengengesan. Aku sontak melotot sebal saat Gama malah berkomentar nyeleweng. Dengan kesal aku meraih botol soda itu dari tangan Gama dan mengembalikan botol itu pada tempat semula. Walau dari jauh, namun aku dapat menangkap sorot kecewa dari kedua netra Gama.
Aku jadi tak bisa menahan tawaku saat aku bisa melihat dengan jelas wajah melas Gama.
"Entar siang aja belinya. Sekarang beli ini dulu." ujarku menaruh teh kotak rasa lemon disebelah susu cokelat milikku di atas kasir.
Gama hanya mengangguk lemas. Kemudian berjalan mendekatiku untuk kemudian mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu untuk diberikan pada kasir.
Namun, aku segera menahan tangannya sesaat setelah pemuda itu berujar.
"Dua-duanya totalnya berapa mbak?" Oke, aku mengerti hal apa yang akan Gama lakukan selanjutnya.
Aku segera menoleh tak suka pada Gama. "Bayar sendiri-sendiri 'kan?" tanyaku dengan nada kesal membuat Gama terkekeh kecil.
"Enggak lah. Bareng aja." ujarnya kembali menyodorkan uang lima puluh ribu pada petugas kasir. Namun, aku segera menarik tangannya lagi.
"Gue ganti ya, nanti?" ujarku lagi secara tak langsung membuka sesi negosiasi.
Gama menggeleng mantap. "Enggak. Nggak usah, gue traktir." ucapnya final segera menarik tanganku dari tangannya kemudian menyerahkan uangnya pada petugas kasir yang baru kusadari memandangi kami dengan senyum tipis.
"Nggak papa, mbak. Emang cowok agak gengsi kalo nggak bayarin ceweknya." komentar si petugas membuatku melotot tak terima dengan kalimat terakhir petugas ini.
"C-cewek? Wah, mon maap aja sih, mbak. Saya sama dia cuma te--"
"Iya, mbak, doain aja, ya, semoga dia mau sama saya." ujar Gama memotong ucapanku membuatku refleks menginjak sepatunya.
Gama sontak meringis kecil namun masih diiringi kekehan gantengnya.
"Ooh, masih PDKT ya. Yaudah deh, semoga cepet-cepet jadi, ya, Mas." ujar mbak-mbak petugas lagi membuatku menganga tak percaya dengan ucapan si petugas. Dengan kesal aku segera menerima plastik belanja dari si petugas sebelum akhirnya menarik Gama keluar dari supermarket.
"Nyebelin banget sih!" ujarku kesal membuat Gama semakin terkekeh.
"Kenapa sih? Doa baik tuh harus diaminin, Bi."
"Doa baik, your eyes."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Elefant
Teen Fiction"Elefant dari Bahasa Jerman, artinya Gajah." "Gama, untuk pertama kalinya, gue ngeliat orang setangguh elo, kayak gajah."