Aku meremas kedua tanganku pelan. Menautkannya sembari menguatkan tekad. Percakapanku dengan Rachel, Zoe, dan Difda tadi pagi tak boleh kusia-siakan.
"Gue nggak siap dihujat juga..."
"Astaga, lo masih kepikiran omongannya Eris di kantin waktu itu?" ujar Rachel menunjukkan ekspresi kaget.
Difda mengernyit tak mengerti. "Apaan emang yang diomongin Eris?"
"Diem dulu lo, Dif. Bianca, serius, gue nggak tau lo masih kepikiran omongannya Eris. Yang terjelas, INI TUH SALAH BANGET! Gue pikir lo udah nggak permasalahin omongannya Eris di kantin waktu itu! Gue pikir lo udah sadar!" omel Rachel dengan intonasi berbisik namun ngegas. Membuatku mengernyit tak mengerti.
"Mulai dah tololnya kambuh." umpat Zoe untuk kesekian kali membuatku melempar tatapan tajam pada gadis itu. Selain tangan, mulut gadis itu juga lumayan menyakitkan.
"Mereka yang ngehina, ngehujat, ngata-ngatain Oqan tuh siapa sih? Orang asing! Lo yang lebih kenal Oqan, lo yang lebih tau Oqan. Kalo orang lain nganggep Oqan jelek, bodoamat sama mereka yang juga ikutan ngecap lo jelek, harusnya ini jadi tantangan Bianca! Waktunya lo rubah persepsi orang lain sama Oqan!" Dada Rachel naik turun tanda gadis itu emosi. Namun, segala ucapannya benar-benar kutelan bulat-bulat. Pun juga menamparku sangat keras.
Lagi, aku melakukannya lagi.
Aku membuat kepercayaan Gama padaku semakin mengikis. Seharusnya aku yang menjadi penguat saat orang-orang lain sibuk menghujat. Bukannya malah mengambil sisi berlawanan dan berlindung.
Serius, aku ini bodoh banget.
"Jatuh cinta itu nggak salah. Sama juga kayak lo yang jatuh hati ke Oqan. Udah waktunya lo tutup telinga, Bi. Kalo lo bahagia sama Oqan, ngapain lo sibuk mikirin pandangan orang tentang lo?" Zoe kali ini ikut berbicara. Dari nadanya kentara sekali gadis itu sama emosinya dengan Rachel.
Aku memijat pelipis pelan. Merasa pusing mendadak. Otakku seketika blank, sama sekali tak kepikiran akan melakukan apa.
"Terus...gue mesti gimana dong?" lirihku frustasi. Menatap gusar ketiga sahabatku yang kompak menunjukkan wajah kesal.
"YA MINTA MAAF LAH DODOL!"
Dan, disinilah aku berada. Dengan modal nekat dan nyali yang sudah kubangun tinggi-tinggi, juga keberadaan Sahla dan Darla di belokan koridor yang sedari tadi tak berhenti membisikkan kata penyemangat, aku mengetuk pelan ruang kelas MIPA dengan cat serba putih di hadapanku.
Ini sudah jam pulang sekolah, namun dari informasi yang aku dapat, Oqan belum pulang karna masih harus piket. Bagus, ini kesempatan yang sangat bagus.
Kriet
Aku sedikit tersentak kaget saat pintu di hadapanku terbuka. Dan, terpampanglah wajah manis Gama. Kedua bola mata pemuda itu membesar sedikit saat netranya bersirobok dengan netraku. Sepertinya ia kaget mendapatiku berada di depan kelasnya.
Yah, aku memang tak bilang pada Gama bahwa aku akan menemuinya sepulang sekolah. Maaf saja, nyaliku belum setinggi itu untuk mengajaknya bertemu. Iya kalau dia mau, kalau aku ditolak mentah-mentah? Habis sudah harga diri Bianca.
"Hai, Gam!" sapaku ceria, ralat, berusaha ceria.
Aku mempertahankan deretan gigiku saat Gama malah memberikan tatapan bertanya. Sepertinya pemuda itu bingung dengan sikapku. Ah, sial, jadi canggung. Memang ide Sahla selalu berujung sesat. Awas saja gadis itu nanti.
"Kenapa?" hanya satu kata. Dilengkapi dengan nada dingin dan tatapan redup.
Demi apapun hatiku mencelos. Sama sekali tak menyangka kata-kata dingin yang kuterima dari Gama saat aku saja berusaha melempar jauh-jauh gengsiku hanya untuk menyapa pemuda itu.
Nyaliku yang kubangun tinggi-tinggi runtuh seketika hanya dalam hitungan detik.
"Serius lo kesini cuma buat nyapa gue doang? Kalo iya, hai juga, udah 'kan?" ujar Gama lempeng. Kali ini lebih parah karena aku seperti mendengar suara robot.
Astaga aku benar-benar bingung sekarang. Mataku mulai memutus kontak dengan netra tajam Gama, aku sudah tak kuat bertatapan dengan mata Gama yang terkesan asing. Sama sekali tak ada tatapan hangat yang kemarin kulihat saat berangkat sekolah.
Apa kesalahanku sudah sebesar itu?
"Gam, gue..." Kata-kata yang sudah kurangkai sedemikian rupa malah tersendat di kerongkongan. Sedangkan Gama mulai menunjukkan ekspresi jengah.
"Gue--"
"--Kalo lo nggak ngomong dalam 5 detik, pintunya gue tutup. Kerjaan gue masih banyak."
Fix. Gama marah besar.
Aku bisa merasakan mataku memanas. Tanganku mulai basah karena berkeringat. Aku sama sekali tak tahu kalau sikap dingin Gama ternyata sama mengerikannya dengan pelatih basketku yang sangat suka marah-marah.
"Satu, dua, tiga, empat, lim--"
"--gue minta maaf!" ujarku cepat tanpa sadar meninggikan suara. Aku refleks menutup mulut saat sadar ucapan maafku malah terkesan dipaksakan. Buru-buru aku menatap Gama yang kudapati sempat terkejut dengan ucapanku barusan. Namun, pemuda itu dengan cepat segera menguasai air wajahnya.
"Buat?" tanyanya dengan tangan yang disilangkan di dada.
Aku diam-diam berusaha menetralkan detak jantungku yang berdetak tak normal. "Buat kemarin, eh, semalem. Gue ngaku gue salah. Maksud gue, gue keterlaluan. Aduh, pokoknya gue salah, gue yakin lo pasti faham apa maksud gue."
"Nggak, gue nggak faham. Jelasin." Gama kembali berujar membuatku sedikit menganga. Astaga, serius, aku bingung harus menjelaskan dari mananya.
"Aduh, itu, gue, gue...gue nggak bisa jelasin! Intinya gue minta maaf, gue tau gue salah! Please, maafin gu--"
"--jangan minta maaf kalo lo sendiri masih nggak tulus. Minta maaf lo kedengeran banget dipaksain. Mending, kita jaga jarak dulu aja sampe lo mau jelasin apa kesalahan lo." Gama sudah bersiap menutup pintu kelas sebelum pemuda itu kembali melanjutkan ucapannya.
"Karna kecewa gue terlalu banyak buat lo."
TBC
a/n
masih ada yang baca nggak sih? wkwkwk bentar lagi tamat, sebelumnya mau minta maaf dulu kalo kesannya aku gantung buku ini banget, karena jujur aku udah ilang feeling sama buku ini, tapi aku ngerasa jangel aja kalo nggak diselesain. sooo selamat membaca part menuju akhir ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elefant
Teen Fiction"Elefant dari Bahasa Jerman, artinya Gajah." "Gama, untuk pertama kalinya, gue ngeliat orang setangguh elo, kayak gajah."