14. Panglima Tempur

37 7 2
                                    

Aku memandang sendu parkiran motor begitu aku sampai di sekolah. Tiba-tiba terbayang kejadian kemarin yang terasa begitu menyesakkan. Padahal, kemarin aku sangat bahagia.
"Lah, berangkat sendirian? Nggak bareng si rusuh?"

"Putus kali. Cowok nakal kayak Oqan mana betah pacaran sama cewek sok rajin kek dia."

"Keliatannya berandal gitu, gaada rajin-rajinnya. Cocok lah sama si Oqan."

Aku menunduk dalam. Stereotip itu benar-benar terjadi persis seperti apa yang dikatakan Nadine dan Eris beberapa waktu lalu. Rasanya aku kehilangan segala kepercayaan diriku. Padahal, dulu bila ada yang berani mengusili sahabat-sahabatku, aku dan Difda adalah panglima tempur paling depan.

Sekarang, untuk mendongakkan wajah tinggi saja rasanya susah.

"Itu mulut apa cabe, merah bener? Pake lipstik emak lo, ya? Pantes pedes. Ew."

Suara familiar tiba-tiba membuatku mendongak kaget. Jadi menoleh cepat mendapati Difda, Zoe, dan Rachel tengah berdiri di belakangku tepat. Namun, posisi mereka membelakangiku sehingga aku tak bisa melihat jelas ekspresi mereka. Tapi, aku masih bisa merasakan aura tak enak dari ketiga punggung sahabatku ini. Terutama Difda yang sudah berkacak pinggang menghadap tepat ke arah beberapa siswi yang berada beberapa meter dihadapannya.

"Percuma dong lo sekolah kalo mulut bukannya dibuat presentasi malah dibuat gibah. Pantes muka lo lusuh, kebanyakan dosa sih." aku sedikit menganga terkejut saat Rachel yang notabene-nya tak pernah ikut campur urusan begini malah bersuara dengan nada nyablak yang biasanya digunakan Difda.

Wah, sepertinya Difda sudah mengajari hal yang tidak-tidak pada Rachel.

"Enyah lo semua. Kalo gue tau lo gibahin orang lagi, gue nggak segan-segan laporin lo ke ketua OSIS." kali ini Zoe yang berbicara. Seakan line yang diucapkan gadis itu sangat cocok dengan posisinya dirinya sebagai anggota OSIS.

Beberapa siswi yang menjadi sasaran umpatan pedas ketiga temanku itu segera membubarkan diri. Walau tak luput gerutuan-gerutuan sebal masih terdengar jelas. Lalu, ketiga sahabatku ini kompak membalikkan badan ke arahku, jadi kompak terkejut mendapatiku yang menatap mereka dengan raut takjub.

"Lah, lo masih disini? Gue pikir udah cabut ke kelas." ujar Difda seraya menurunkan kedua tangannya dari pinggang. Wajah gadis itu masih garang karena kesal yang tersisa sehabis memarahi beberapa murid.

"Gila...mulut lo ajib banget, Dif." ujarku tanpa sadar membuat Difda langsung menyembulkan senyum bangga.

Lain hal dengan Zoe yang melangkah mendekatiku kemudian...

Plak!

Satu pukulan keras mendarat di lenganku. Aku yang tak siap langsung berjengit kesakitan. Jujur, tangan seorang Zoe kalau sudah beraksi (mencubit, memukul) sakitnya bukan main. Mana gadis itu selalu menggunakan tenaga dalam.

"Bego. Biasanya juga lo langsung ngumpat kalo ada yang ngejelekin anak-anak. Nah ini, kenapa lo diem aja pas giliran lo yang digibahin?" omelnya kesal.

"Ya, maaf. Gue nggak berani." cicitku membuat Difda yang mendengarnya langsung tergelak di tempat. Perlu dicatat, tawa Difda ini sangat amat jauh dari kata anggun. Sangat cempreng dan menyakiti telinga. Buktinya saja, beberapa murid yang berlalu lalang di daerah parkiran mulai memberikan tatapan tak suka pada gadis itu.

"Gak cocok, Bangsul. Lo takut-takut begitu, gak cocok! HAHAHAHA!" tawa Difda semakin menggelegar membuat Rachel mau tak mau membekap mulut gadis itu sembari beberapa kali menunduk meminta maaf pada beberapa murid yang lewat.

"Whats wrong with you actually? You ignore my text yesterday, you even didn't show up on the group chat. What happened?" cerocos Zoe membuatku meringsut mundur sedikit. Belum siap untuk menceritakan masalahku.

"Gue..." gumamku kecil menunduk memainkan kerikil-kerikil di bawah sepatuku.

Hembusan nafas Rachel bisa kudengar, karena gadis itu mengambil beberapa langkah mendekatiku. "Gapapa kalo lo belom mau cerita. Atau lo nggak akan pernah cerita masalah lo pun gapapa. Tapi, lo jangan ngerasa sendirian dong. Kalo lo butuh bantuan, lo bisa kok minta tolong ke kita. Kayak apa yang biasanya lo lakuin, kita juga bakal lakuin. Gapapa kalo kali ini lo mundur dulu jadi panglima perang, biar si Sahla yang gantiin elo. Udah saatnya lo juga harus dilindungin, Bi." ujar Rachel meremas pundakku sebagai isyarat menyalurkan semangat.

Aku nyaris saja menangis bila tidak cepat-cepat aku usap mataku yang mulai basah. Sangat tidak elit seorang Bianca menangis di pagi hari yang cerah, parahnya, di parkiran pula.

"Thanks karna lo udah mau ngerti. Gue cuma...kepikiran sama satu orang aja." ujarku lirih sembari membayangkan wajah kecewa Gama di otakku.

Ah, hatiku mencelos lagi bila mengingat masalah itu.

"Kenapa sama Gama? Dia nyakitin elo?" tanya Difda yang baru saja merampungkan kegiatan tertawanya. Sangking seriusnya tertawa, gadis itu sampai menitikan air mata. Hah, memang dasar setan.

"Enggak. Gue...aduh...pokoknya...anjir, gimana sih gue ceritanya!" gumamku kesal karna tak bisa merangkai kata-kata.

Rachel menepuk pundakku pelan. Seperti menyalurkan kenyamanan, seakan memastikan bahwa aku pasti bisa membagi sedikit masalahku padanya.

"Gapapa, gausa dipaksa." ujarnya kusambut gelengan pelan.

Aku menggigit kuku jari telunjukku. Lalu dengan sangat pelan mengutarakan apa yang sebenernya menjadi masalah buatku.

"Gue nggak siap dicap jelek juga..."

TBC

ElefantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang