"Kayak gue contohnya."
Astaga.
Tiga kata itu benar-benar terngiang di otakku hingga aku tak fokus mengikuti pelajaran. Sial sekali sih pemuda aneh itu.
Bahkan, saat aku menunggu bis di halte saja, kata-kata Gama semakin terngiang jelas membuatku jengah juga.
Dasar centil. Satu lagi hal yang membuat Gama terlihat negatif di mataku. Genit, centil, menyebalkan. Argh, musnah saja lah!
"Mikirin gue, ya?"
"Astagfirullah!" seruku refleks saat sebuah suara terdengar tepat di telingaku.
Tentu saja aku tahu siapa pemilik suara ini.
"Ngagetin aja sih!" seruku lagi kali ini tanpa sadar tanganku melayang memukul lengannya. Membuat Gama jadi terkekeh.
Heran, pemuda ini receh atau bagaimana sih. Kenapa suka sekali tertawa padahal jelas-jelas aku bersikap jutek padanya.
Ini sih bukan receh, tapi absurd.
"Jangan mikirin gue, entar beban buat lo. Mendingan mikirin gimana caranya biar bisa suka sama gue." ujarnya santai yang kusambut dengan tak santai.
Aku mendelik kaget dan detik selanjutnya menghujami lengan kirinya dengan pukulan dan cubitan kecil dariku membuat Gama untuk kali ini merintih kecil walau disertai tawaan.
"Dasar ganjen. Amit-amit gue punya pacar kayak lo!" ujarku disela-sela menyiksa Gama.
Namun, pukulanku segera berhenti saat tahu-tahu Gama mencengkram kedua tanganku dengan hanya menggunakan satu tangan. Bersamaan dengan ekspresi pemuda itu yang berubah drastis.
Hanya tatapan tajam dan rambut acak-acakan yang menghiasi paras rupawan pemuda itu.
Untuk beberapa detik aku baru sadar bahwa Gama terlihat sangat berbeda dengan saat pertama kali aku jumpai kemarin.
Seragam pemuda itu acak-acakan, tanpa dasi, dan sepatu yang jelas-jelad melanggar peraturan, juga rambut pemuda itu yang ternyata lumayan tebal dan panjang. Seketika ucapan Sahla terngiang di telingaku.
Gama yang sekarang benar-benar persis dengan Gama yang diceritakan Sahla kemarin.
"Udah puas ngeliatin guenya?" suara rendah Gama sukses menyadarkanku dari keterpakuan.
Buru-buru aku menarik tanganku dari genggaman Gama dan berusaha menetralisir wajahku yang bisa kupastikan akan segera memerah.
"Cie, blushing." nah kan, sifat menyebalkannya kambuh lagi.
"Bacot lo. Udah ah, sana minggir." ujarku kali ini mendorong tubuhnya agar cepat-cepat menjauh.
Ternyata lumayan berbahaya bila berada di sekitar pemuda itu.
"Males ah, maunya sama lo terus."
Astaga, sabar Bianca. Sabar.
"Lo tuh sebenernya siapa sih? SKSD banget tau, nggak?!"
"Nggak."
&#*-'5@5!/=!'?"(
"PERGI NGGAK LO?!"
Nah kan, macan tidurku terbangun. Memang ya demi apapun, pemuda ini sangat begitu benar-benar sungguhan menyebalkan.
Manusia paling absurd yang pernah kutemui.
Aku mendengus sebal saat Gama malah tertawa ngakak hingga perhatian beberapa murid yang juga menunggu kedatangan bis jadi tertuju ke arahku.
"Itu, Oqan? Sama siapa tuh?"
"Gila sih, heran gue, ketawa ngakak aja tetep ganteng."
"Emang orang ganteng mau digimanain juga tetep ganteng."
Huek, cuih.
Rasanya telingaku panas mendengar bisikan-bisikan haus asupan cogan dari beberapa siswi di sekitarku. Apalagi Gama yang tampak tak peduli dan malah tertawa lebih keras lagi.
Sialan.
"Gama!"
Aku terkesiap kaget saat tahu-tahu Gama terdiam sesaat setelah aku menyerukan namanya bermaksud menyuruh pemuda itu berhenti tertawa.
Tawa pemuda itu lenyap seketika bersamaan dengan tatapan tajamnya yang mulai menyendu.
Tunggu, apa aku buat kesalahan?
"Gama?" panggilku dengan nada mulai melembut.
Namun, tak ada sahutan sama sekali. Gama masih menunduk dalam hingga poni tebalnya menutup aksesku penuh untuk melihat wajahnya.
Aku memutuskan untuk bergerak mendekat. Menyentuh pelan bahu pemuda itu yang, tunggu, bergetar.
"Gam? Lo nangis?"
Aku segera menarik lengannya dengan perasaan khawatir. Namun, sebuah tepisan aku dapatkan begitu saja. Aku tersentak kaget menatap Gama bingung.
Pemuda itu diam sebentar. Sebelum akhirnya memperbaiki letak tasnya di pundak dan bangkit dari duduknya.
"Sorry, Bi."
o q a n t a
"Serius si Oqan nangis?"
Aku mengangguk lesu memandang Lashira yang saat ini tengah menatapku iba. Disamping gadis itu ada Difda yang lagi dan lagi hanya fokus pada ponselnya. Orang sibuk.
"Gue emang salah, ya? Gue cuma manggil dia doang, loh." ujarku dengan nada yang kentara frustasi.
"Emang lo manggil dia apa?" tanya Difda sembari masih fokus pada ponselnya. Jari-jari gadis itu tak berhenti bergerak di atas layar.
"Gama, gitu doang. Ya emang sih gue agak ngebentak manggilnya. Tapi, masa dia nangis cuma karena gue bentak? 'Kan nggak log--"
"Astaga."
Ucapan Difda memotong omelanku. Membuatku dan Lashira kompak menoleh ke arahnya dengan ekspresi bingung.
"Panteslah dia nangis, Bi." lanjut gadis itu semakin membuatku dan Lashira bingung.
"Hah? Dia beneran nangis karena gue bentak?" tanyaku memastikan dugaan konyolku ini.
Difda menghela nafas pelan. Kemudian menaruh ponselnya di atas meja belajar milikku. Gadis itu tampak terlihat lesu seketika.
"Lo tau nggak kenapa orang-orang lebih sering panggil dia Oqan ketimbang Gama?" tanya Difda yang dengan kontan aku jawab dengan gelengan.
"Gama itu panggilan dari ibunya Oqan." lanjut Difda semakin menambah kerutan di dahiku.
Aku menggaruk belakang kepala bingung. "Gue nggak paham. Terus kenapa kalo itu panggilan dari nyokapnya?"
Difda lagi-lagi menghela nafas. "Nyokapnya udah meninggal."
Deg.
Aku terpaku hebat dengan kedua netraku yang melebar kaget.
Seakan ada beton berat menimpa kepalaku, rasanya sangat berat dan aku jadi ingin menangis saja saat tahu aku baru saja menyinggung masalah sensitif Gama.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Elefant
Novela Juvenil"Elefant dari Bahasa Jerman, artinya Gajah." "Gama, untuk pertama kalinya, gue ngeliat orang setangguh elo, kayak gajah."