2. His Gaze

72 18 5
                                    

Aku berlari dengan tergesa-gesa saat kulihat pada guru piket sudah berjaga di gerbang sekolah, bersiap akan menutup rapat gerbang sekolah itu.

Sial. Sial. Sial.

Andai saja aku tak bergadang mengerjakan tugas yang menumpuk, mungkin aku tak akan bangun kesiangan dan berakhir nyaris terlambat seperti ini.

Iya, nyaris.

Karena tepat sebelum pagar itu ditutup, aku melingsat masuk sampai tasku hampir saja tersangkut di pagar sekolah.

Untung saja aku masih beruntung.

"OQAN!"

Aku berjingkat kaget saat suara melengking dari salah satu guru perempuan memasuki gendang telingaku. Membuatku jadi berhenti mendadak dan menoleh kaget ke arah seorang pemuda dengan motor trillnya dan seorang guru piket yang terkenal killer itu.

Aku menyipitkan mata, entah kenapa merasa familiar dengan perawakan pemuda itu.

"Kamu lagi, kamu lagi. Heran saya, nggak bosen-bosen, ya, kamu telat terus!"

Aku bergedik ngeri saat netra si guru killer itu mendelik seperti akan keluar dari tempatnya. Sedangkan tangan setengah keriputnya sudah bertengger manis di telinga pemuda itu yang baru bisa kulihat jelas wajahnya ketika ia menanggalkan helm.

"Gama?" gumamku tanpa sadar berhasil mengenali pemuda itu.

Seakan mendengar ucapanku, Gama yang notabenenya lima meter jauhnya dariku, mendongak menatap mataku tepat. Membuat sekujur tubuhku merinding seketika.

Entah aku salah lihat atau tidak, yang terjelas, sedetik sebelum aku membalik badan, aku bisa melihat salah satu sudut bibir pemuda itu naik dengan kedua netra masih menatapku lurus.

o q a n t a

"Kantin yuk, laper gue, huhu."

Aku yang tengah fokus menulis catatan di papan tulis jadi terusik mendengar rengekan Darla ditambah Sahla yang terus berusaha membuatku untuk tak melanjutkan acara menulisku.

Memang ya, Mail dan Meimei ini akan menjadi sangat kompak bila bersangkutan soal makanan.

"Bi, udah kali nyatetnya dirumah aja nyontek punya yang lain. Yang penting tuh isi perut dulu udah waktunya istirahat juga." ujar Sahla kali ini merampas bulpoin dari tanganku. Membuatku mau tak mau bangkit dari bangku mengikuti dua sahabat menyebalkanku ini.

"Dasar manusia-manusia males." ujarku hanya membuat dua sejoli itu terkekeh pelan.

Sebenarnya aku lumayan malas untuk ke kantin karena sudah bisa dipastikan saat ini tempat paling favorit bagi seantero sekolah itu akan sangat ramai. Ugh, memikirkannya saja sudah membuatku sumpek.

"Ke kopsis aja deh, yuk." Ujarku sama sekali tak digubris oleh Sahla maupun Darla. Membuatku harus mengelus dada berusaha sabar saat nanti berdesakan untuk memesan makanan.

Dan, sesuai dugaanku, lautan manusia sudah memenuhi area kantin. Aduh, malas sekali.

"Lo pesen apa, Bi? Biar gue yang pesenin deh pumpung baik nih." ujar Sahla sontak membuatku mengangkat wajah dengan raut lebih cerah.

Darla mencibir di sebelah Sahla. "Anjir bener tadi perasaan ada yang lesu males pesen." komentarnya hanya kubalas juluran lidah.

Setelah menyebutkan pesanan, dua gadis yang lebih pendek dariku itu berlalu. Kemudian aku memutuskan untuk mencari meja yang kosong.

Tidak ada. Sesuai dugaanku.

Heran, padahal bel istirahat baru berdering tidak ada lima menit, namun seluruh bangku kantin sudah terisi penuh saja. Memang kaum-kaum perut karet.

"Bianca!"

Aku yang merasa terpanggil jadi menoleh, mencari sumber suara. Namun, sayangnya teramat sayang, bukannya menyambut lambaian dari Eris di meja tengah kantin, tatapanku malah bertemu dengan tatapan tajam dari seorang pemuda absurd yang sudah bisa dipastikan kalian tahu siapa.

Gama, lagi.

Aku terpaku diam. Seakan terkunci oleh tatapan lurus pemuda itu yang menusuk kedua netraku. Cukup lama kami berada di posisi yang sama hingga seseorang menepuk pundakku. Membuatku tersentak kaget hingga terjingkat kecil.

"Bi, ngapain berdiri aja?"

Aku menoleh masih dengan ekspresi kaget, mendapati Zoe, sahabatku dari basis MIPA yang tampak membawa beberapa tumpukan kertas di tangan kanan gadis itu. Ah, si OSIS ini.

"Eh, iya nih, baru mau duduk, bareng Eris aja yuk?" ujarku berusaha menutupi keterkejutanku, beralih menggandeng Zoe menuju meja Eris yang ternyata sudah ada Difda, si MPK yang sama sibuknya dengan gadis manis di sebelahku ini.

Lihat saja bagaimana Difda tak berhenti melepaskan matanya dari ponsel meskipun Eris terus berbicara entah menceritakan apa. Tipikal gadis jangkung itu, bercerita tiada henti.

"Udah pesen lo berdua?" tanya Eris sebagai pembuka saat aku dan Zoe mendudukkan diri di bangku kosong yang masih tersisa.

Aku hanya mengangguk saja sementara sesi mengeluh Zoe dimulai. Sebagai teman senasib, tentu saja Difda sangat nyambung dengan Zoe. Mengingat OSIS MPK atau yang lebih disingkat OSPK ini adalah dua organisasi yang saling berkaitan satu sama lain.

Aku tak peduli banyak. Tak berminat untuk menimpali juga karena mengerti dua sahabatku ini tengah butuh waktu berdua.

Dari kejauhan kulihat Sahla membawa nampan berisi dua mangkuk soto yang kuyakini salah satunya adalah milikku karena dibelakang gadis itu ada Darla yang membawa mangkuk sotonya sendiri.

Namun, tiba-tiba aku merasa hawa tak enak menyelimuti sekitarku. Apalagi Zoe dan Difda mendadak diam bersamaan dengan Sahla dan Darla yang berhenti melangkah. Aku mengernyit heran, memandang Eris yang tampak terpaku dengan sendok berisi nasi gorengnya menggantung di udara.

Namun, keanehan serentak itu terjawab sudah saat sebuah bau parfum maskulin yang sangat familiar di hidungku terasa begitu dekat. Pertanda bahwa si empunya tengah berada di dekatku.

Astaga.

Bulu kudukku kembali meremang saat tahu-tahu Gama mendudukkan diri agak dekat denganku. Membuatku merapatkan tubuh ke arah Difda yang memang duduk tempat di sebelahku.

"Nggak nangis lagi?"

Suara serak itu terasa sangat dekat di telingaku. Membuatku sedikit bergedik ngeri.

"Nggak, ngapain juga." balasku jutek.

Gama tampak terkekeh kecil. Sebelum akhirnya mencondongkan badan lebih mendekatkan diri padaku hingga membuatku memiringkan badan hingga hampir memeluk Difda.
"Fyi aja, kalo lo mau cepet move on, cari pelarian lah. Kalo bisa yang lebih ganteng." ada jeda sedikit dari kalimatnya sebelum akhirnya kalimat laknat itu keluar dengan begitu mulus dari bibir cabai pemuda itu.

"Kayak gue contohnya."

SIALAN.

TBC

ElefantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang