Malam ini ponselku sedang ramai-ramainya. Bukan karena dibombardir oleh banyaknya chat dari teman-temanku.
Melainkan hanya disebabkan oleh satu orang. Yang tak lain tak bukan adalah... Gama.
Total sudah ada delapan panggilan dari Gama yang tak ada satupun aku jawab. Masalahnya tentu saja masih sama. Perkataan Nadine benar-benar membuatku berpikir keras.
Soal mementingkan repurtasiku atau mementingkan egoku.
Cenayang
|lo kenapa sih?
|gue di depanAku sontak membulatkan kedua mata membaca pesan dari Gama. Lalu buru-buru menghampiri jendela kamar untuk memastikan apakah Gama benar-benar berada di depan rumah atau tidak.
Dan, aku semakin terkejut dengan Gama yang tampak bersandar di motor ninja merahnya sembari menunduk, tampaknya fokus pada ponsel.
Aku jadi bimbang seketika. Turun dan menghampiri pemuda itu atau berlagak cuek dan membiarkan saja Gama menunggu sampai bosan.
Tega sih, tapi 'kan gengsi.
"Kak Bi, dicariin pacarmu tuh." suara cempreng khas anak kecil menyadarkanku dari lamunan.
Aku mendengus kesal mendengar ada yang janggal dari perkataan Selena, adikku yang baru saja masuk SD. Pasti Gama sudah mengatakan yang tidak-tidak pada adikku. Dasar menyebalkan.
"Apaan pacar-pacar? Tau darimana kamu soal pacar-pacar?" tanyaku dengan wajah judes sesaat setelah aku membuka pintu kamarku. Selena tertawa lebar mendengar celotehanku kemudian menarikku untuk segera menuju ruang tamu.
Satu hal yang baru kusadari. Sifat Selena agak mirip dengan sifat Gama. Pantas saja aku sebal terus tiap di dekat pemuda itu.
"Kakak Ganteng, ini pacarnya aku bawain."
Aku semakin melotot galak mendengar ucapan Selena yang semakin ngawur. Fix, sehabis ini Gama harus di sidang.
"Apaan sih, Sel. Udah malem sana masuk kamar." ujarku mendorong pelan badan mungilnya untuk segera masuk ke kamar mama.
Berakhirlah aku dan Gama di ruang tamu. Dengan suasana super canggung dan hening. Membuatku ingin cepat-cepat mengusir Gama dari dalam rumah. Sayangnya, aku tak setega itu.
"Jadi, lo mau kita diem-dieman gini sampe kapan?" ujarku setelah sekian lama bungkam karena menunggu Gama bicara.
Tak sesuai dugaanku, bukanya terkekeh seperti biasa, Gama malah menghela nafas sembari menyisir poni tebalnya dengan jari tangan.
Oke, santai, tahan, Gama hanya terlihat tampan. Itu saja.
"Kenapa chat sama telpon gue gaada yang lo jawab?" tanya Gama sesuai dengan perkiraanku.
Aku diam sebentar. Mencari-mencari alasan yang sekiranya cukup untuk meyakinkan Gama. "Lagi males pegang hape. Tugas numpuk banget asli." jawabku dengan nada tegas bermaksud membuat Gama percaya.
Namun, pemuda itu malah tersenyum kecut. "Lo ilfeel sama gue 'kan?"
Skakmat.
Aku terpaku dengan perkataan Gama barusan. Seketika terjadi perdebatan di dalam benakku. Bingung yang benar-benar bingung.
"Lo diomongin apa aja sama temen-temen lo?"
Bodohnya aku karena melupakan fakta bahwa Gama adalah pemuda yang kelewat peka. Pasti hal-hal seperti ini mudah di rasakan olehnya.
Aku meringis dengan perasaan bersalah mulai menggerogoti. "Gam, nggak gitu." cicitku membuat Gama lagi-lagi menghela nafas.
"Gue emang anak nakal, bandel, cuman bisa nyusahin semua orang. Tapi, bukan berarti gue bobrok keseluruhan 'kan?" ujar Gama masih berusaha tenang walau jelas aku tahu ia tengah emosi.
"Gam, gue cuma--"
"--takut terpengaruh? Takut nama lo jadi ikutan jelek?"
Skakmat yang kedua.
Aku semakin merasa bersalah ditambah rasanya aku jadi ingin menangis sekarang. Menyadari betapa bodohnya aku hari ini.
Bukankah seharusnya aku menerima Gama apa adanya? Bukannya malah mundur cuma karena repurtasi pemuda itu yang buruk di sekolah. Seharusnya aku menjadikan ini tantangan untuk mengubah pemuda itu menjadi lebih baik.
Stereotip sialan.
"Kenapa lo gini sih, Bi?" ujar Gama lagi kali ini dengan nada lirih.
Aku menunduk dalam menyembunyikan wajahku di dalam lipatan tangan. Berusaha meredamkan air mataku yang mendesak keluar.
"Mungkin lo butuh waktu buat mikir. Kalo gitu gue balik dulu."
Ucapan Gama membuatku segera mengangkat kepala bersamaan dengan air mataku yang meluruh meluncur bebas. Meraih tangan Gama bermaksud mencegah pemuda itu untuk pulang.
"Gam, gue minta maaf." ujarku serak sembari terus menggenggam erat pergelangan tangan Gama.
Pemuda itu menoleh dengan senyum tipis. Kemudian melepaskan dengan lembut tanganku dari tangannya. Membuatku dejavu sesaat dengan kejadian di supermarket kemarin. Namun, jelas-jelas saat ini situasinya berbeda.
Astaga, aku benar-benar merasa bersalah.
"Gapapa, Bi. Gue paham kok." ujarnya mengusap pelan puncak kepalaku. "Pikirin dulu aja, gue tungguin." lanjutnya sebelum akhirnya melangkah keluar dari rumahku.
Aku sontak menangis makin keras. Merasa bersalah yang teramat. Rasanya seperti mengkhianati kepercayaan yang sudah Gama berikan padaku.
Kemarin aku ada untuknya, mendengar ceritanya, dan menjadi tumpuan untuknya menangis. Namun, sekarang aku malah membuatnya kecewa. Benar-benar bodoh.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Elefant
Teen Fiction"Elefant dari Bahasa Jerman, artinya Gajah." "Gama, untuk pertama kalinya, gue ngeliat orang setangguh elo, kayak gajah."