Sudah hari ketiga sejak Gama dirawat di rumah sakit. Kabar yang kuterima dari Aland, hari ini pemuda itu sudah diperbolehkan pulang. Tentu saja aku tak bisa melewatkan momen ini. Jadilah aku segera bergegas ke rumah sakit menebeng Aland sepulang sekolah.
"Si anjir baru sembuh udah mau ngangkutin barang aja." celoteh Hizam saat Gama menawari untuk membantuku membawakan barang-barangnya.
Aku hanya terkekeh pelan. Namun tetap memilih mengangkat kardus berisi makanan-makanan bawaan penjenguk milik Gama ini sendirian. "Beneran nggak papa?" tanya Gama kujawab cengiran lebar.
Rasanya setengah beban pikiranku lenyap saat kutahu Gama ternyata tak marah padaku. Kupikir aku akan didiamkan atau yang paling parah diusir dari kamar inapnya saat pertama kali menjenguk. Namun, reaksi Gama malah diluar dugaan. Pemuda itu langsung berseri-seri saat aku tiba. Info dari Aland walau aku masih tak percaya.
"Guys, keluar duluan dah. Biarin si kunyuk ngebucin dulu." perintah Hizam membuatku mendelik pada pemuda itu. Seperti anak ayam, teman-teman Gama yang lain menurut begitu saja. Keluar mengikuti Hizam untuk ke parkiran duluan. Hingga akhirnya tersisa aku dan Gama di dalam kamar inap.
Astaga, siapapun tolong keluarkan aku dari situasi super duper canggung ini.
"H-haha. Si Hizam kalo ngomong suka ngaco, ya." sialan, tertawa saja aku terdengar bergetar.
Harga dirikuu....
Gama hanya terkekeh pelan. Kemudian tanpa aba-aba berdiri dari kursi rodanya untuk kemudian membawaku ke dalam rangkuman tangan besarnya.
Astaga, jantungku. Siapapun tolong diamkan jantung yang berdetak super duper kencang ini.
"Bentar aja ya, 5 menit." ujarnya entah kenapa terdengar lebih berat. "Gue... kayaknya kangen berat sama lo." lanjutnya semakin membuat debaran jantungku tak normal.
Aku hanya diam. Benar-benar tak tahu harus melakukan apa. Tak juga membalas pelukan Gama yang entah kenapa terasa... hangat.
"Kenapa kangen? 'Kan gue setiap hari jengukin lo." kataku dengan suara pelan karena takut Gama mendengar suaraku yang bergetar.
Aku bisa merasakan Gama tersenyum karena dagunya menekan puncak kepalaku. "Gatau tuh. Kayaknya gue kangen sama lo setiap hari."
Bagus banget, Gama Oqanta Adriel.
Aku berusaha meredam senyumku yang sudah akan mengembang lebar. Rasanya hatiku siap untuk meledak dalam hitungan detik. Berada di pelukan Gama memang bukan hal yang bagus untuk kesehatan jantungku.
"Gam, udah dong. Sesek." ujarku mendorong pelan tubuh Gama untuk menjauh yang untungnya dituruti oleh pemuda itu. Dapat kulihat senyum lebarnya seperti habis mendapat hadiah baru. Astaga, segitu senangnya?
Aku menghela nafas. Tiba-tiba terpikir rangkaian kejadian beberapa hari yang lalu. Mulai dari ucapan Nadine dan Eris, Gama yang datang ke rumahku, kemudian kecelakaan pemuda itu, dan perkataan Darla dan Sahla. Semua rentetetan kejadian itu sukses membuatku bingung. Hingga tanpa sadar membuatku mati rasa. Tak mengerti dengan apa yang kurasakan saat ini pada Gama.
"Gue tau susah buat lo nerima gue dengan segala hal-hal negatif di sekitar gue." ujar Gama tiba-tiba membuatku mendongak cepat. Lagi-lagi dibuat kaget dengan kemampuan 'cenayang' pemuda itu.
Aku mendadak panik. Bukan ini yang kuinginkan. Membahas hal-hal serius seperti ini disaat seharusnya Gama tengah berbahagia karena baru saja sembuh. Aku jadi merutuk.
"Gam, gausah dibahas dulu deh-"
"-ijinin gue buat berusaha, Bi. Gue bakal buktiin kalo gue nggak seburuk yang lo pikirin." potong Gama dengan senyum tipis yang entah kenapa malah terlihat menyakitkan.
Aku menggeleng keras. "Nggak, Gam. Gue bukannya nggak suka atau ilfeel sama imej lo yang udah jelek. Gue cuma--"
"Takut di cap jelek juga?"
Skakmat.
Aku benar-benar terdiam dengan mulut terbuka. Kata-kata yang sudah kurangkai mendadak tercekat di tenggorokan. Sial.
Aku makin meringis saat kulihat sorot kecewa dari kedua netra pemuda itu. "Gam, satu fakta yang harus gue kasih tau sama lo. Gue baru aja dikecewain. Gue baru aja dikhianatin. Jadi, bakal susah buat percaya lagi sama orang lain."
Aku tersentak kaget dengan ucapanku barusan. Mendadak segala pertanyaan di dalam hatiku seperti terjawab. Semua rasa bingungku musnah begitu saja.
Iya, bodoh sekali aku tak menyadari itu. Faktor terbesar mengapa aku masih bimbang pada Gama, jelas karena masa laluku. Ditambah dengan ucapan-ucapan dari teman-temanku seakan memperkuat kebimbanganku. Aku benar-benar baru sadar sekarang.
"Gue suka sama lo. Enggak, gue sayang sama lo." ujar Gama tiba-tiba membuatku terpaku dengan ekspresi terkejut.
"Daripada berfikiran takut di cap jelek sama orang lain, kenapa nggak lo jadiin ini tantangan aja? Ngebuat seorang Gama berubah jadi lebih baik. Ngerubah pandangan orang dari stereotip negatif ke stereotip positif." ujar Gama lagi semakin membuatku bungkam.
"Gue nggak bisa janji kalo gue nggak bakal nyakitin lo nantinya. Karna udah kodrat cowok yang ditakdirin jadi brengsek. Tapi, gue bakal berusaha buat ngejaga hati lo. Gue bakal berusaha sekuat yang gue bisa. Asal lo percaya gue, dan gue percaya lo."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Elefant
Novela Juvenil"Elefant dari Bahasa Jerman, artinya Gajah." "Gama, untuk pertama kalinya, gue ngeliat orang setangguh elo, kayak gajah."