"Karna kecewa gue terlalu banyak buat lo."
Sejak hari, jam, menit, detik itu Gama mengucapkan kalimat yang sangat menyakitkan itu, saat itu pula semuanya perlahan berubah.
Gama benar-benar seperti orang yang tak kukenal. Penampilannya kembali lusuh, baju yang dikeluarkan dari celana, kancing yang dilepaskan semua menampakkan kaos hitam pemuda itu, juga rambut acak-acakan dan atribut seragam lainnya yang entah kemana.
Tak hanya penampilan, sikap Gama pun juga turut berubah. Saat kami berpapasan, biasanya pemuda itu akan melempar senyum jail atau mengajakku mengobrol sebentar. Namun, semua itu berubah menjadi tatapan dingin yang acuh tak acuh. Bahkan pemuda itu pernah beberapa kali tertangkap basah olehku tengah melengos begitu tatapan kami bersirobok.
Aku benar-benar merasa sakit melihat sikap Gama yang seperti ini.
"Lo udah baikan belum sih sama Gama?" tanya Eris saat kami berdua dalam perjalanan kembali ke kelas dari kantin. Tak kaget juga kenapa Eris bisa sampai bertanya seperti itu, karena lagi-lagi aku harus dihadapkan dengan tatapan tak bersahabat Gama di kantin tadi.
"Belum." jawabku lesu. Memikirkannya membuatku pusing. Fakta bahwa Gama benar-benar marah membuatku khawatir juga takut.
Takut tak bisa memperbaiki hubunganku dengan Gama. Yang lebih sedih, kami bahkan belum sampai ke tahap jadian. Astaga, ngenes sekali hidupku.
"Lah, bego. Gue pikir udah! Bukannya dua hari lalu lo minta maaf ditemenin dua kuncrit? Kenapa malah jadi kayak gini sekarang?" tanya Eris membuatku semakin bertambah lesu.
"Gama malah makin marah sama gue. Gue bingung kudu gimana lagi..."Eris disampingku menghela nafas frustasi. "Ya dia makin marah kenapa? Emang lo ngomong apaan? Lo ngejambak rambut dia? Atau lo malah ikutan ngehina dia?"
Aku yang mendengarnya sontak saja mengangkat kepala tak terima. "Gila lo! Ya enggak lah! Gue tuh beneran minta maaf, cuman Gama bilang gue minta maafnya nggak tulus." ujarku diakhiri cicitan sembari terbayang ucapan Gama dua hari lalu.
"Hadeh, capek gue punya temen lola kayak elo! Ya lo minta maaf doang mah anak kecil juga bisa! JELASIN DONG JELASIN!" ujar Eris ngengas membuatku berjengit mengambil beberapa langkah ke belakang.
"NGEGAS! Jelasin gimana sih?! Lo tau sendiri gue nggak bisa begituan!" balasku tak kalah ngegas, alisku sudah menukik tajam kesal karena sedari kemarin terus diberi nasihat yang sama.
"YA MAKANYA LATIHAN! APA YANG MAU LO OMONGIN KE GAMA! DICATET DEH KALO PERLU!" cerocos Eris dengan tangan yang sudah meremas udara menandakan gadis itu sudah sangat kesal. Sebenarnya aku ingin menertawakan ekspresi Eris yang sekarang seperti ibu-ibu kompleks di daerah rumahku yang tengah memarahi anaknya karena pulang dalam keadaan kotor.
"Hm....bisa dipertimbangin. Yaudah deh, gue mau ke kelas dulu, mau nyatet apa aja yang perlu dijelasin." ujarku mempertimbangkan ucapan Eris terakhir. Namun, sebelum beranjak, yang dapat kulihat adalah wajah melongo Eris.
"GUE CUMA BERCANDA BUSET! LO PIKIR RESEP PAKE DICATET SEGALA! WOI BIANCA!"
o q a n t a
Agaknya aku perlu bersyukur karna aksi nekatku meminta maaf pada Gama tempo hari membuat mentalku lebih kebal untuk kembali meminta maaf pada Gama. Kali ini tak tanggung-tanggung, aku langsung mencegat motornya yang sudah akan meninggalkan parkiran sekolah.
Bodoamat dengan tatapan murid-murid lain. Aku sudah belajar menutup mata dan telinga untuk hal-hal tak penting seperti itu.
"Bianca! Lo udah bosen idup ya?!" omel Gama setelah pemuda itu refleks ngerem mendadak begitu tanganku menghadang motornya.
Aku tak mengindahkan omelannya barusan. Ada hal yang lebih penting yang harus kusampaikan.
"Gue mau langsung to the point aja!" aku buru-buru membuka kertas di kantong hoodie biruku. Mengabaikan tatapan murid-murid lain yang semakin menunjukkan rasa penasaran.
Aku tak menapik bahwa jantungku berdebar kencang saat ini. Mataku juga mulai memanas. Yang kuharapkan hanya satu. Mendapat maaf Gama tanpa perlu menangis.
"Gue...serius. Maaf, tapi, gue...gue bener-bener serius dua rius tiga rius ngerasa bersalah. Pertama, karna ucapan gue malem itu yang bikin lo tersinggung. Maaf, Gam...gue nggak bermaksud. Waktu itu, gue bener-bener lagi di kondisi nggak bagus." ujarku mulai memelan karena aku mulai merasa suaraku bergetar. Aku tak sepenuhnya membaca, aku hanya menyontek inti-intinya saja karena demi apapun, untuk orang dengan gengsi besar sepertiku, melakukan hal ini sudah terbilang luar biasa. Setidaknya untukku.
Aku menarik nafas. Kembali melanjutkan acara meminta maafku. "Gue sadar, harusnya, gue nggak peduli apa yang orang bilang tentang gue. Nggak, tentang lo juga. Harusnya gue nggak mikirin hal bego kayak gitu. Tapi justru gue malah nganggep pendapat sampah orang-orang dengan serius sampai-sampai gue bikin lo ngejauh dari gue." sial, mataku sudah berair.
Aku mengusap mataku secepat kilat. Tak ingin Gama tahu bahwa aku hendak menangis. "Gue...bener-bener tulus minta maaf sama lo. Maaf, Gam..." ujarku semakin pelan. Aku mengadahkan kepala sedikit, jadi lumayan terkejur karna Gama sudah turun dari motornya. Malah pemuda itu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Gue...minta maaf juga soal gue yang belom bisa terbuka sama lo. Tapi, itu karna bawaan gue dari dulu. Gue nggak terbiasa buat terbuka sama orang. Bahkan temen-temen terdeket gue sendiri. Gue tuh orangnya..."
"...gengsian?" suara bass Gama sontak membuatku mendongak. Netraku melebar seketika menyadari ekspresi Gama yang mulai menghangat.
Mataku malah jadi ingin menangis lagi.
"Gam, lo tau?" tanyaku dengan suara bergetar yang kentara jelas. Ah, bodoamat lah.
Gama terkekeh pelan. Alih-alih menjawab, pemuda itu melangkahkan kaki pelan ke arahku. Netra tajamnya menebus ke dalam bola mataku membuatku tak bisa melepas kontak mata dengan pemuda itu.
Satu hal yang bisa kusimpulkan.
Tatapan hangat Gama telah kembali.
"Gue udah maafin lo. Jauh sebelum lo minta maaf. Gue, cuma mau liat usaha lo dikit. Karna gue takut, gue cuma kebaperan doang sama sikap lo." ujarnya dengan nada rendah. Senyum simpul Gama ia tunjukkan begitu saja membuat hatiku berdesir.
"M-maksud lo?"
"Gue jatuh hati sama lo. Dan, gue harap lo juga gitu."
TBC
a/n
double update! chapter depan tamaaatt!
KAMU SEDANG MEMBACA
Elefant
Teen Fiction"Elefant dari Bahasa Jerman, artinya Gajah." "Gama, untuk pertama kalinya, gue ngeliat orang setangguh elo, kayak gajah."