8. Stereotip

58 13 3
                                    

Istirahat kedua akhirnya tiba. Perutku sudah keroncongan minta diisi setelah menahan lapar selama pelajaran matematika. Saat inipun aku rela berdesakan dengan para manusia itu asalkan bisa cepat-cepat makan.

"SAHLA DARLA BURUAN! GUE LAPER!" teriakku tak santai membuat Devan --ketua kelasku--melempar tatapan tajam ke arahku. Aku hanya meringis sembari melayangkan dua jari ke arahnya.

Aku kembali mencak-mencak saat kulihat Sahla malah asik bermain ponsel sedangkan Darla sibuk melentikkan bulu mata dengan nivea. Dasar cewek.

"Sahla, doi lo mau lewat." ujarku pelan sukses membuat Sahla grasak-grusuk menuju keluar kelas.

Aku sontak tertawa lebar saat wajah cerahnya seketika berubah menjadi masam saat tahu bahwa aku hanya mengerjainya. "Kampret banget lo, Bi." ujarnya kesal.

Aku hanya mengerling jahil. "Abisan kalo nggak digituin lo gabakal gerak." ujarku disambut decihan sinisnya.

Tak lama, Darla ikut menyusul kami berdua untuk kemudian cabut menuju kantin.

o q a n t a

"Lo beneran jadi sama Oqan, Bi?"

Pertanyaan Eris menjadi pembuka sesi makan siangku kali ini. Sukses membuat seluruh pandangan ketiga temanku yang lain terpusat ke arahku.

Aku yang hendak menyuap sesendok soto ke dalam mulut jadi urung. Kemudian dengan raut sebal meletakkan sendokku kembali ke dalam mangkuk. "Bisa nggak sih gausa bahas itu?" ujarku dengan ekspresi frustasi karena jujur, aku sangat bosan dengan topik yang sama selama beberapa hari ini.

Nadine di sebelah Eris tersenyum kecut. "Lo harus terima fakta sih. Mau nggak mau lo bakal ditanyain tentang ini mulu karena lo lagi deket sama salah satu cowok hitz sekolah." ujarnya semakin membuatku kehilangan selera makan. Padahal tadi aku sangat kelaparan seperti akan mati. Namun, dengan satu nama disebut saja aku bisa langsung kehilangan selera makan.

Gama memang hebat.

"Tapi deket sama dia bukan kemauan gue."

Nadine menghela nafas menatapku. "Gue nanya serius, bukan niat buat ngegoda lo." gadis itu menjeda ucapannya dan menarik nafas sebentar. "Lo beneran sama Oqan?"

Aku mengernyit. Tak terlalu nyambung dengan maksud 'beneran' dari Nadine. "Maksud lo?"

"Kayaknya sih iya. Gerakan bawah tanah gitu." nah 'kan, mulai lagi sifat kompor seorang Sahla. Membuatku melempar tatapan sinis padanya.

"Diem dulu napa, Sa." tegur Darla sadar akan raut serius Eris dan Nadine. Membuatku yang akan menimpali Sahla jadi kembali diam.

"Gue nggak tau kenapa lo semua mikir gue deket atau ada something sama Gama. Tapi, gue akuin emang belakangan ini dunia gue berputar seputar Gama dan Gama. Gue juga bingung kenapa." ujarku jujur. Entahlah, rasanya percuma menyembunyikan ini dari para sahabat-sahabatku.

"Gue sebenernya nggak masalah kalo lo beneran sama Oqan." aku meneguk es jeruk tersisa dari gelasku kemudian kembali fokus mendengarkan Eris yang berbicara dengan raut super serius.

"Tapi, lo tau 'kan gimana repurtasi Oqan disekolah?" lanjut Eris membuatku mengangguk yakin.

Tentu saja aku paham apa maksud Eris. Tentang Gama yang dipandang sebagai cowok nakal yang doyan membuat masalah. Langganan BK dan suka membuat ulah. Aku paham betul hal-hal seperti itu.

"Kalo lo deket sama Gama, berarti lo harus siap nanggung resiko dicap sebagai cewek nggak bener." lanjutnya membuatku melotot kaget, ekspresi Sahla juga tak jauh beda denganku.

"Kenapa gitu?" tanyaku menyuarakan kebingunganku.

"Karena lo deket sama Gama, si cowok bandel sekolah. Ini yang kata orang-orang bilang, pinter-pinter cari temen. Kalo lo deket sama anak-anak pinter, lo bakal ikutan dicap pinter. Sebaliknya gitu juga. Stereotip, Bi." jelas Nadine membuatku terdiam sembari mengaduk-aduk kuah bakso di mangkuk kosongku.

Aku menyadari pandangan iba dari Sahla dan Darla di kedua sisiku membuatku sontak mengangkat kepala. Kemudiam melempar senyum tipis memberi isyarat bahwa aku tak apa.

Padahal, seisi otakku tengah berkecamuk sekarang. Ucapan Nadine seakan menghantamku begitu kuat. Aku merasa bodoh karena melupakan satu hal penting itu.

Gama beda tipe denganku. Aku yang biasanya lebih memilih berkumpul dengan teman-temanku untuk sekedar berbincang santai saat istirahat, sedangkan Gama akan memilih merokok di kantin sarang penyamun yang letaknya di ujung sekolah.

"Pikirin dulu, Bi. Gue cuma nggak mau orang lain ngecap lo yang nggak-nggak."

Kepalaku seketika pusing.

o q a n t a

Cenayang
|pulang bareng kan?

Aku menghela nafas berat membaca notifikasi pesan dari Gama yang belum kubuka. Hanya kubaca dari pop up saja.

Entahlah, perkataan Nadine tadi siang masih terbayang di otakku. Cukup membuatku sangat enggan membuka chat dari Gama.

Aku segera mempercepat proses membereskan barang-barangku untuk kemudian keluar kelas. Memutuskan untuk membiarkan saja chat dari Gama.

Semoga saja dia faham.

TBC

ElefantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang