4. Gama's Challenge

62 16 7
                                    

"Aland! Tolongin gue dong huhu, penting nih."

Pagi ini, kelas sudah dipenuhi rengekanku pada Aland, cowok jangkung dari basis MIPA sekaligus teman seperbasketanku. Pemuda itu memang jadi sering mengunjungi basisku, IPS, semenjak ia dinobatkan sebagai koordinator Sie Humas ekskul basket dimana aku adalah anggota dari Sie Humas.

Jangan kaget, aku memang bagian dari ekskul yang sangat digilai oleh kaum hawa itu.

Aku sudah menekuni dunia basket sejak kelas tujuh SMP. Jadi, total hampir empat tahu aku berkecimpung dalam dunia bola oranye itu.

Saat ini saja aku tengah disibukkan dengan persiapan untuk bertanding di DBL.

"Buat apaan sih nomer Whatsapp-nya Oqan?" tanya Aland mulai merasa risih sembari terus berusaha keluar dari kelasku.

Aku tentu saja semakin melebarkan tangan menghalangi pintu. "Pokoknya ini tuh penting! Lo nggak usah tau, deh." ujarku masih kekeuh tak ingin memberi tahu alasan kenapa aku ngotot meminta kontak Gama pada Aland.

"Yaudah, sama, lo juga nggak usah tau WA-nya Aland deh!"

Sialan.

Dengan sedikit kasar Aland menarik sebelah tanganku untuk memberinya jalan.

"DASAR PELIT!" teriakku tak diindahkan oleh Aland yang sudah berjalan meninggalkan koridor IPS.

Aku mendengus kesal. Aku pikir akan mudah mendapat kontak pemuda itu. Ternyata ekspetasi memang tak sesuai dengan realita.

Namun, kekesalanku langsung berubah saat kulihat samar-samar perawakan Gama di antara kerumunan para murid laki-laki. Tentu saja dengan kecepatan kilat aku segera mengambil sesuatu di dalam tas yang sengaja kusiapkan dari semalam.

Brownis ala kadar yang kubuat hasil menghancurkan dapur dan berakhir menerima ceramah rohani pagi-pagi dari Baginda Raja Mama Tersayang.

Tak apalah, yang terpenting aku harus meminta maaf pada Gama.

Kerumunan siswa itu tak lama melewati kelas, buru-buru aku menghampiri pintu mencegat Gama.

"Gam--Oqan!" panggilku hampir keceplosan sebelum akhirnya Gama yang tengah mengobrol dengan salah satu temannya, sedikit tersentak kaget dengan panggilanku kemudian menolehkan kepala ke arahku.

Masalahnya, bukan hanya Gama yang menoleh. Tetapi, seluruh manusia yang berada di sekitar pemuda itu juga menoleh membuatku tersentak kaget dengan pipi mulai memerah.

Gama yang seakan mengerti situasi segera menyuruh teman-temannya untuk duluan dan ia akan menyusul nanti.

Ternyata kepekaan pemuda itu ada untungnya juga.

Aku menghela nafas. Kemudian bergerak mendekat ke arah Gama yang tampak memandangku lurus seperti biasanya.

Kali ini, Gama berpenampilan sama seperti yang dideskripsikan Sahla beberapa waktu lalu. Sepertinya, aku hanya kelelahan hingga menghalu di hari pertama kita bertemu.

Gama dengan penampilan rapi memang hanya semu.

"Kenapa, Bi?" tanya Gama sesaat setelah aku berada tepat di hadapannya.

Mendadak debaran jantungku berdetak lebih cepat. Kata-kata yang sudah aku rangkai semalaman pun hilang entah kemana.

Kenapa rasanya seperti aku akan menyatakan cinta, sih?

"Bianca?"

"H-hah? Anu, itu. Aduh." malu semalu-malunya. Pasti sekarang aku terlihat seperti kepiting rebus.

ElefantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang