10. Apa Adanya

67 10 2
                                    

Aku sudah berlari dengan tergesa-gesa di jam dua pagi. Waktunya orang-orang beristirahat. Namun, disinilah aku. Terus menyusuri koridor rumah sakit yang sepi setelah mendapat kabar Gama kecelakaan.

Rasanya rasa kantukku sudah hilang entah kemana.

Aku berhenti di depan ruang ICU dimana disana terdapat beberapa wajah yang begitu familiar di mataku. Salah satunya ada Hizam dan Aland, teman seperbasketanku. Namun selebihnya, aku hanya sekedar mengenal wajah tanpa tahu nama. Mereka semua tampak berwajah lesu. Saling diam dan tak bicara apapun.

Aland adalah yang pertama menyadari kehadiranku. Membuat pemuda itu menyuruhku untuk mendekat.

"Eh, Bianca. Gue pikir lo dateng besok pagi." ujar Hizam yang juga baru menyadari keberadaanku. Pemuda itu menunjukkan senyum simpul, walau aku tahu senyuman itu tak tulus. Tentu saja, fake smile memang susah dilakukan disaat jelas-jelas kita sedang bersedih 'kan?

Aku menghela nafas. Berusaha memusnahkan segala pikiran jelekku. "Kok bisa jadi kayak gini? Maksud gue, kenapa bisa? Jam 9 tadi dia masih dirumah gue, kok. Terus, terus--"

Aland terkekeh pelan melihatku. Kemudian menepuk puncak kepalaku pelan bermaksud menenangkan. "Buset ngegas bener. Iya-iya tau elo khawatir. Cuman sabar dulu dong, tunggu kabar dari dokternya." ujar Aland membuatku mengangguk lesu.

Aku berjalan gontai menuju kursi di depan ICU yang beberapa sudah ditempati oleh teman-teman Hizam dan Aland. Kemudian menunduk dalam sembari merapalkan segala doa yang aku bisa dalam diam.

"Lo udah hubungin keluarganya?" tanya salah satu pemuda disana yang kutau adalah anak karate. Cuman aku lupa siapa namanya.

Hizam menggeleng pelan. "Oqan gabakal suka kalo keluarganya sampe tau." jawabnya membuat si pemuda yang bertanya barusan mengangguk lemas.

"Lagian, kalo dihubungin pun paling-paling datengnya baru besok atau lusa. Lo tau sendirilah bokapnya workaholic." timpal seorang pemuda lain yang setauku bernama Theo. Si pemuda brandal yang kerjaannya kabur-nongkrong-kabur-nongkrong. Salah satu pentolan sekolah paling menonjol juga.

Namun, aku cukup terkejut saat tahu bahwa Gama ternyata masih memiliki seorang ayah. Kupikir Gama yatim piatu. Tetapi, bila dilihat dari Gama yang serba berkecukupan, kurasa semua cukup masuk akal.

Aku lagi-lagi menghela nafas. Menyadari betapa Gama sangat kekurangan kasih sayang orangtua. Pasti itu salah satu alasan mengapa Gama menjadi bejat dengan segala kehidupan bebasnya. Tak ada yang melarang dan mengatur.

Ceklek

Pintu ICU terbuka pelan bersamaan munculnya seorang dokter laki-laki dan satu perawat perempuan. Kami serempak berdiri dan menghampiri si dokter. Berharap-harap cemas semoga berita yang kami dapat tak seburuk apa yang dibayangkan.

"Keluarga Gama?" tanya si dokter sukses membuat kami semua bungkam.

Namun, Hizam dengan sigap segera mengambil langkah. "Maaf, Dok. Kami semua teman-temannya. Soal keluarganya baru besok bisa datang. Gimana keadaan Gama, Dok?" ujarnya yang tentu saja merupakan sebuah kebohongan.

Dokter itu tersenyum tipis. "Untungnya pasien tidak mengeluarkan banyak darah karena segera dibawa ke rumah sakit. Pasien akan sadar beberapa saat lagi." ujar si dokter disambut ucapan terimakasih dari kami.

Aku diam-diam menghembuskan nafas lega sembari beberapa kali berucap syukur.

o q a n t a

"Beneran Oqan masuk rumah sakit, Bi?" tanya Darla sesaat setelah aku tiba di sekolah.

Hari ini aku datang nyaris terlambat, lagi. Tentu saja karena aku menemani Gama sampai pukul setengah empat pagi kemarin. Kemudian setelahnya Aland memaksaku untuk pulang karena sudah hampir subuh.

Aku terpaksa menurut mengingat besok aku harus masuk sekolah. Tidak ada bolos-bolosan karena ada ulangan harian. Menyebalkan sekali membayangkan bila aku harus susulan sendirian. Jadilah aku hanya sempat tidur satu jam setelah sholat subuh hingga berakhir kesiangan.

"Gitu deh." ujarku singkat. Sejujurnya aku hanya tak ingin menyebarkan berita kurang enak soal Gama ini. Hanya merasa kurang pantas.

"Abis balapan liar? Atau gimana?" tanya Sahla sembari memutar tubuh jadi menghadap belakang, ke arahku.

Aku mengernyit bingung. "Balapan liar? Emang Gama seneng ikut begituan?" tanyaku disambut raut kaget dari Darla dan Sahla.

"Wah gila! Lo gebetannya apa bukan sih? Kok kayaknya segala hal yang menyangkut Oqan tuh lo kudet banget." komentar Sahla menunjukkan reaksi kaget yang berlebihan.

"Oqan emang senakal itu, Bi. Dia lebih nakal dari yang lo bayangin." timpal Darla lagi-lagi membuatku terdiam.

Entah kenapa aku kembali merasakan hal yang sama saat dulu Nadine dan Eris memberi wejangan padaku hingga berakhir aku bertengkar dengan Gama. Semua itu malah berujung buruk.

"Gue emang anak nakal, bandel, cuman bisa nyusahin semua orang. Tapi, bukan berarti gue bobrok keseluruhan 'kan?"

Kepalaku kembali pusing. Tentu saja aku tak mau mengulang kesalahan yang sama. Namun, hatiku kembali goyah saat menemukan satu lagi sisi buruk Gama.

"Bi, lo itu suka atau sayang sih sama Oqan?"

Pertanyaan Sahla barusan tak kujawab. Aku masih bingung hingga tak bisa berpikir jernih.

"Kalo lo suka, lo nggak bakal nerima Gama apa adanya. Tapi, kalo lo udah sayang, lo bakal terima apapun kekurangan dan kelebihan Gama. Cuma sekedar ngebantu lo aja sih." ujar Sahla lagi kali ini membuatku tertegun.

'Apa adanya'.

Jelas, pikiranku barusan membuktikan aku tak menerima Gama apa adanya.

Jadi...aku ini masih dalam batasan suka?

TBC

a/n 

halo, gatau deh ini masih ada yang baca atau enggak. Tapi, kalo masih ada yang baca aku cuma mau bilang, maaf banget aku baru bisa update hari ini. Belakangan ini urusanku banyak banget dan semuanya keteteran. Plus, wp di hpku tuh lagi eror jadi aku gabisa berkunjung kesini sebebasnya. Buttttt, i'll do my best supaya buku ini bisa tetep lanjut. Hope you like this chapter anddd dont forget to vote and comment! makasiii

ElefantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang