"Stereotipnya beneran kejadian di elo, Bi."
Tentu saja aku tak bodoh untuk tak mengerti apa maksud Eris.
Buktinya, sampai menjelang shalat Isya' pun ucapan Eris masih terngiang di telingaku. Dampaknya juga lumayan hebat hingga mampu membuatku mengabaikan 3 panggilan telfon dan puluhan chat spam dari Gama.
Aku mengusap wajahku kasar. Rasanya masalah tak berhenti datang belakangan ini. Padahal, baru saja aku berbaikan dengan Gama. Kenapa tiba-tiba masalah lainnya datang.
Untuk kali ini aku meyakinkan diri untuk tak bertindak gegabah seperti beberapa hari yang lalu. Karena akibatnya lumayan fatal. Cukup sekali saja, aku tak ingin kejadiannya kembali terulang.
Maka dari itu, dengan suasana hati tak nyaman, aku tetap memaksakan diri untuk menetapi janji pulang bersama dengan Gama. Alhasil, aku diam saja selama di perjalanan hingga membuat Gama menanyakan keadaanku.
Lagi-lagi, sifatku yang kurang bisa mengungkapkan apa yang kurasakan menjadi penghambat terbesar untukku bisa terbuka pada Gama. Menyebalkan.
Tiba-tiba, ponselku kembali berdering. Aku sudah siap akan mematikan ponselku ketika kulihat nama Aland terpampang jelas di layar.
Satu tarikan nafas, aku menekan tombol hijau di ponselku.
"Kenapa, Land?" kalau pemuda ini menelfon perihal ekskul, aku sudah bertekad untuk mematikan telfon saat itu juga. Rasanya untuk saat ini aku sedang malas bila diajak membahas ekskul.
"Bianca?"
Deg.
Jantungku serasa berhenti berdetak saat suara familiar memasuki gendang telingaku. Jelas, sangat jelas ini bukan suara Aland yang cenderung ringan. Suara ini terlalu bass dan berat. Benar-benar persis seperti suara....Gama.
"Bi, ini gue Gama. Are u okay? Lo nggak jawab telfon gue, gue jadi khawatir. Tadi pas pulang lo juga diem aja, gue--"
"--Maaf, Gam. Gue lagi nggak pengen diganggu." potongku sudah akan menutup telfon ketika suara Gama kembali terdengar mencegah.
"Please, jangan tutup telfonnya dulu. Kali ini lo harus dengerin gue." suara Gama terdengar panik, membuat aku mau tak mau mengarahkan ponsel kembali ke telinga.
"Maaf, gue tau lo khawatir. Tapi, gue nggak bisa jelasin sekarang." ucapku gusar. Berharap Gama mengerti kali ini.
Helaan nafas Gama terdengar jelas membuatku semakin merasa bersalah. "Gue pikir lo udah bisa terbuka ke gue. Ternyata masih susah, ya?" ujar Gama lirih di sebrang sana.
Aku tanpa sadar mengangguk. Meremas ponselku sendiri saat wajah kecewa Gama terbayang jelas di otakku. Lagi. Aku kembali mengecewakan Gama.
"Gimana gue bisa bertindak kalo lo sendiri gapernah mau cerita ke gue. Sesusah itu ya?" aku mengadahkan wajah ke atas. Menahan bulir-bulir air mata yang seakan mendesak untuk keluar begitu nada kecewa Gama kudengar secara jelas.
"Maaf..." balasku lirih berusaha menyembunyikan suaraku yang mulai bergetar.
Helaan nafas Gama kembali terdengar. "Oke, kalo itu yang lo mau. Gue nggak bakal ganggu lo sampe lo mau cerita. Sorry, gue bikin lo nggak nyaman. Take ur time. Goodnight."
Gagal sudah pertahananku. Air mataku keluar begitu saja bersamaan dengan nada sambungan diputuskan terdengar. Aku terkulai lemas di atas meja belajarku. Terisak pelan merasa kecewa pada diriku sendiri.
Tadi pagi, rasanya duniaku sempurna. Dengan keberadaan Gama menjadi pelengkap. Namun, dengan bodohnya aku menghancurkan puing-puing kebahagiaan yang sudah susah payah kutata.
Aku belum siap menjadi bahan gunjingan. Hatiku tak sekuat Gama yang sudah terbiasa dihina dan dicaci maki oleh orang-orang. Sepertinya semua itu sudah menjadi makanan sehari-hari pemuda itu.
Namun, untuk siswa biasa yang tak terlalu menonjol di sekolah sepertiku, digunjing rasanya sesuatu yang begitu menohok hingga membuatku tak berdaya. Aku tentu saja tak siap bila hal itu harus sungguhan terjadi padaku.
Rasanya semua hal di duniaku bertolak belakang.
Aku bahagia dengan Gama, namun konsekuensinya aku harus siap menjadi sasaran kebencian juga. Tetapi, aku juga tak siap kehilangan Gama.
Karena pemuda itu sudah sepenuhnya merebut hatiku.
TBC
a/n
pendek bgt buat chapter ini, karena chapter ini aku potong biar nggak kepanjangan. selamat membaca! see u on the next chapter!
KAMU SEDANG MEMBACA
Elefant
Fiksi Remaja"Elefant dari Bahasa Jerman, artinya Gajah." "Gama, untuk pertama kalinya, gue ngeliat orang setangguh elo, kayak gajah."