12. Beginning

46 9 0
                                    

Aku tak bisa menahan tawa saat melihat Gama yang tengah bersandar pada motornya sembari melambai ala model professional ke arahku. Senyumnya tersungging lebar menampilkan deretan giginya yang rapi. Astaga, menggemaskan sekali.

Aku menjitak kepalanya kemudian membuat pemuda itu meringis namun tak pelak ikut tertawa lebar menertawakan kekonyolannya barusan. Karena tawa kami yang lumayan keras, aku jadi meringis tak enak saat ibu-ibu yang tengah membeli sayur beberapa meter dariku dan Gama melirik sinis ke arah kami berdua.

Gama yang menyadari itu jadi berdehem kemudian memberi kode padaku untuk segera naik ke atas motor.

"Jangan lupa jaket lo. Entar itu rok ngibar kemana-mana." peringatnya membuatku tersenyum tipis. Walau pemuda itu mengingatkan dengan nada cuek, namun tetap saja terasa hangat. Lagi-lagi aku masih tak percaya bisa melihat sisi menyenangkan dari pemuda brandal yang dianggap hanya bisa buat onar ini.

Gama segera menyalakan mesin setelah aku memperbaiki posisi, sebelum akhirnya kami tancap gas meninggalkan kompleks rumahku.

Sepanjang perjalanan kami mengobrol santai. Berbeda dengan saat kami berangkat bersama untuk pertama kali yang dipenuhi suasana canggung dan hening. Aku merasa sangat nyaman kali ini. Bahkan, berbagai macam topik mengalir begitu saja tanpa disengaja.

Sangking serunya kami berbincang, sampai-sampai aku tak sadar kami sudah tiba di sekolah. Masih dengan sisa-sisa tawa dari lelucon receh Gama, aku turun dari motor dan melepas helm. Begitupula dengan pemuda itu.

"Sumpah, ya, lo receh banget, asli." komentar Gama menertawakan humorku yang receh. Namun, perilaku Gama sedetik kemudian mampu membuatku bungkam seketika.

Tangan kekarnya merapikan rambutku yang berantakan sehabis menggunakan helm. Tunggu, astaga, jantungku.

Aku segera menepis pelan tangan Gama dari rambutku demi menyelamatkan jantungku. "Apaan sih, dangdut!" omelku dengan senyum canggung mampu membuat Gama terkekeh lagi.

"Lo deg-degan ya?" balas Gama malah meledekku. Dengan wajah yang mulai memanas, aku menginjak kakinya lumayan keras sebelum akhirnya beranjak terburu-buru dari parkiran.

Pokoknya harus jauh-jauh dari Gama!

o q a n t a


"CIEEE ABIS DIANTERIN BEBEB GUMUU!"

Sorakan cempreng Sahla menyambut kedatanganku di kelas. Seakan sudah bisa menduga apa yang selanjutnya terjadi, aku segera putar balik arah meninggalkan kelas begitu melihat Sahla hendak membuka mulut lagi.

Serius, kalau mulut Sahla sudah berkicau, bisa dipastikan dalam hitungan detik satu kelas akan tahu apa yang gadis itu tahu. Aku sedang sangat malas bila harus digodai tentang Gama pagi ini.

Aku mulai memelankan langkah saat berjalan cukup jauh dari kelas. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum bel berbunyi. Lumayanlah untuk menenangkan diri.

Namun, aku dibuat terkejut saat tangan ramping merangkul leherku kuat. Ah, lebih ke memiting sih.

"Ciee, dateng bareng Oqan ke sekolah niyee!" Aku mendengus kesal saat Eris menggodaku dengan nada yang sama seperti Sahla di kelas tadi, bedanya nada Eris lebih kalem. Tapi tetap saja, kalau begini sih sama aja boong. Aku memang terlepas dari Sahla, tapi kalau bertemu Eris, ya, sama saja.

"Tau dari Sahla lo, ya?" tanyaku menuding. Yang hanya dibalas kekehan kecil dari gadis yang lebih tinggi dariku satu senti itu.

"Gaperlu repot-repot si Sahla koar-koar. Orang satu sekolah udah tau." ujarnya santai yang kusambut dengan tak santai.

"MAKSUD LO?!" seruku barusan tanpa sadar mengundang beberapa perhatian murid-murid lainnya.

Eris kembali tergelak ditempat. Menertawakan kebodohanku barusan. "Lagian lo bego. Kalau gamau satu sekolah tau lo berangkat bareng Oqan, ya, lo turun agak jauhan dari sekolah, kek! Lah ini? Lo malah sempet-sempetnya ngebucin di parkiran. Langsung lah para lambe turah sekolah beraksi." jelas Eris yang tak terlalu kudengarkan.

Pasalnya, tatapan beberapa murid di sekitarku serasa menusuk. Entah perasaanku saja atau bagaimana, yang jelas aku bisa merasakan beberapa tatapan tajam secara jelas diarahkan kepadaku.

"Lo dengerin gue nggak sih?" ujar Eris yang menyadari sedari tadi aku tidak fokus padanya. "Kenapa?" Eris melanjutkan menyadari perubahan ekspresiku.

Aku menatap Eris gusar. "Lo ngerasa nggak sih kita lagi diliatin?" bisikku menarik Eris lebih dekat. Tak ingin orang lain mendengar percakapanku dengan gadis ini.

Mendengarku berbicara begitu, Eris sontak mendongak memperhatikan murid-murid di sekitarku. Lalu tak lama gadis itu menghela nafas.

"Well, kayaknya apa yang gue bilang beneran kejadian deh." ujarnya lesu membuatku mengernyit tak mengerti.
"Stereotip. Oqan emang ganteng, dia juga masuk lah dalem kriteria cowok-cowok badboy kayak di novel. Tapi, lo jangan lupa, Oqan juga punya banyak haters."

"Stereotipnya beneran kejadian di elo, Bi."

TBC


ElefantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang