Prolog

321 28 7
                                    

SABITA TERESA. Mereka selalu mengejeknya karena nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Sabita selalu berpikir. Dimana letak yang aneh dengan namanya? Ibunya memberi nama bulan sabit dan menambahkan huruf A. Apakah itu yang mereka pikir aneh? Dan, mereka juga suka mengejek Sabita jika ia melihat sesuatu di depan matanya. Sesuatu yang tak akan pernah mereka lihat. Sabita begitu sabar menghadapi cibiran teman-temannya. Tetapi jika sudah terlewat batas, ia yang akan membalasnya dengan hal yang sangat diluar nalar. Karena hal itu, Sabita tidak memiliki teman di sekolahnya. Ia tidak ditakuti, namun menakutkan.

Duduk di antara para makhluk gaib sangatlah tidak menyenangkan. Setiap melihat mereka, bulu tengkuknya selalu meremang merasakan hawa lain. Kali ini, ia mendapati sesosok perempuan dengan muka yang sangat pucat sedang memainkan rambutnya sambil memperhatikan guru yang menerangkan. Apa hantu itu ingin merasakan yang namanya belajar? Ucap Sabita membatin. Hantu itu menoleh ke belakang. Tempat Sabita duduk-di pojok kelas-sendirian. Sabita merasakan bulu tengkuknya meremang. Sosok itu menatap Sabita dengan sorot mata yang tidak bisa diartikan. Tidak terlalu seram, tapi tiba-tiba sosok wanita memakai baju putih lusuh dengan noda darah di dalamnya itu tersenyum dengan mulut yang tersobek. Sabita terkejut. Merasakan ngilu di daerah sekitar mulutnya. Ia memejamkan matanya berharap hantu itu tidak tersenyum mengerikan seperti itu.

Dengan perlahan, Sabita membuka matanya. Alangkah terkejutnya ia saat mendapati sosok itu berada di sisi Sabita. Masih dalam keadaan tersenyum dengan mulut sobek. Kali ini, sosok itu memutarkan bola matanya ke belakang, sehingga gadis itu bisa melihat guratan-guratan merah seperti urat yang terlihat hampir putus. Perlahan, kedua bola mata sosok itu terlepas dan mengguling, tepat di hadapan sepatu yang sedang di gunakan Sabita. Entah kenapa, tubuhnya terasa sangat berat untuk di gunakan. Sabita ingin berdiri, tapi takut akan sosok wanita itu. Keringat dingin mulai bercucuran pada badannya yang mungil. Degup jantungnya tidak terkendali seolah sedang menerima hantaman keras dari benda yang tajam. Rasa nyeri dan juga sesak dirasakan Sabita. Gadis itu masih menatap bola mata yang jatuh tepat di hadapan kedua kakinya. Bola mata itu sangat mengerikan. Teksturnya terlihat lembek dan juga sangat bau seperti bangkai. Ia merasakannya. Sabita berpikir jika sosok yang tengah duduk di sisi kanannya ingin menjahili Sabita. Perlahan, sosok itu menghilang dengan kedua bola mata tadi.

"SABITA!!" teriak Pak Adi-guru matematika yang sedang menerangkan rumus-memanggil Sabita. Dengan sorot tajam, guru itu menghampiri meja Sabita yang berada paling pojok. Barisan horizontal yang berada di paling belakang, hanya terisi oleh Sabita. Sehingga Sabita bisa melihat mereka beberapa kali berkunjung ke kelasnya. Sabita menatap ngeri guru setengah baya itu. Guru yang paling ditakuti para murid. Pak Adi melipatkan kedua tangannya di dada. Tubuhnya yang tinggi, kaca mata dan juga rambut depan yang sisinya sudah tidak ada, menjadikannya terlihat seperti profesor.

"Kamu denger gak tadi bapak jelasin apa?" dari cara bicaranya, ia terlihat marah. Sabita sudah terbiasa dengan perilaku semua orang yang bernafas di sekolah ini. Mereka seperti tidak suka dengan adanya keberadaan Sabita. Padahal, Sabita tidak tahu apa kesalahannya Sabita menunduk-menahan rasa malu karena hampir semua yang berada dikelas, berbisik-bisik, seperti sedang membicarakannha. Entah kenapa, ia tidak suka. "HORMAT DI DEPAN TIANG BENDERA SAMPAI PULANG, SEKARANG JUGA!" teriaknya berapi-api sampai membuat semua yang berbisik-bisik terdiam. Sangat menakutkan.

Sabita berdiri menahan malu. Rasanya ingin saja ia menjadi bagian dari mereka yang tak kasat mata. Tapi ia tidak sebodoh itu. Sabita berjalan menunduk. Tidak ingin melihat mereka yang menatapnya iba-atau mungkin, jijik.

Sabita berjalan meninggalkan kelasnya. Menuju lapangan upacara untuk menjalani hukuman yang menurutnya agak sedikit berat. Ia berjalan sendirian diantara lorong-lorong yang sepi. Sabita berhenti. Ia sudah sangat was-was karena di depannya terlihat sesosok hitam bertubuh besar dengan matanya yang merah sedang menyorot ke arah Sabita. Tubuhnya sangat tinggi hingga mencapai langit-langit. Ia mengatur ritme nafasnya dengan tenang. Berpura-pura supaya sosok itu tidak mengetahui bahwa Sabita bisa melihatnya. Ia mulai berjalan dengan kaki yang bergetar juga sangat lemas. Perutnya seperti di aduk-aduk saat melewati sosok hitam itu. Rasanya sangat mual juga terasa pusing. Pengalaman ini tidak dirasakannya sekali. Tetapi berkali-kali.

Gadis itu bernafas lega saat sudah melewati tantangan pertama. Selanjutnya, Sabita akan melewati pohon yang sangat besar berdekatan dengan tembok pembatas sekolah yang juga di belakangnya terdapat rel kereta. Jalan ini menghubungkannya ke lapangan tempat kegiatan sekolah dilaksanakan, mungkin contohnya seperti upacara bendera. Sebenarnya ada jalan lain, tetapi Sabita tidak ingin melewatinya karena disana banyak anak-anak yang suka membicarakannya. Mereka semua itu ... Biang gosip, dan Sabita tidak suka mendengar nyinyiran mereka. Membuat hatinya terasa sakit. Mereka bilang jika Sabita itu menakutkan karena bisa melihat 'mereka'.

Saat berada di jalan dekat tembok pembatas, Sabita mencium bau anyir yang sangat mengganggu indra penciumannya. Perutnya terasa di aduk seperti tadi. Tapi, kali ini sangat menjadi-jadi. Kepalanya berdenyut, seluruh tubuhnya terasa lemas. Tidak biasanya ia seperti ini. Karenanya, Sabita sangat menghindari melewati jalan belakang ini, dan menerima cibiran-cibiran para siswi bermulut pedas. Sabita semakin mencium bau yang aneh. Badannya bergetar hebat. Padahal, ia tidak melihat tanda-tanda akan keberadaan 'mereka'. Hanya ada pohon yang besar dan juga tanaman-tanaman hias.

Rasanya sangat mual. Sambil merapalkan doa, Sabita memaksakan tubuhnya untuk tetap berjalan. Langkah kakinya sangat berat. Sangat berat hingga tidak bisa ia gerakkan lagi. Sepertinya ada yang menahan kedua pergelangan kakinya. Sabita tidak ingin melihat ke bawah. Ia membacakan surat al-fatihah di dalam hati supaya dirinya terbebas dari ketakutan. Supaya mereka juga tidak mengganggu Sabita.

Setelahnya, Sabita mencoba melangkahkan kakinya dan, berhasil. Ia segera berlari ke areal lapangan untuk segera menjalani hukuman. Sesampainya disana, tidak ada seorang siswa ataupun siswi. Keadaan lapangan itu sungguh sepi. Sabita bernafas lega. Setidaknya ia tidak terlalu merasa malu.

•••

Ini masih permulaan ya.
Terimakasih maaf bila ada kesalahan kata.

SABITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang