12. Kediaman kakek

74 9 0
                                    

“hmm.” Sabita berdehem sambil tersenyum. Sejak dari tadi, dirinya sangat bosan karena terus mendengar ocehan dari sang nenek. Neneknya begitu cerewet. Terus menanyakan hal-hal yang dilakukan Sabita. Mulai dari pertemanan, kegiatan apa saja yang Sabita lakukan di sekolah, dan yang paling menjengkelkan lagi, ditanyai tentang laki-laki yang disukainya di sekolah. Andai saja ada sesuatu yang mengganggu mereka.

“Sabita, sini sebentar!” ucap Rini dari ambang pintu kamar tepat kakeknya terkapar. Otomatis saja pembicaraan nenek terhenti karenanya. “Ya udah kalau gitu kamu ke sana dulu. Nanti kita ngobrol lagi ya?” ucap nenek.

“Iya nek. Ya udah kalau gitu neng ke sana dulu!” jawab Sabita.

“Sok, mangga¹.” ucap nenek.

Lantas, gadis bersurai kecoklatan itu meninggalkan sang nenek dan segera menuju kamar kakeknya.

Saat memasuki kamar sang kakek, Sabita bisa merasakan hawa lain yang sangat menusuk. Di sisi kiri ranjang, ada sesuatu yang menyerupai kabut tinggi hitam. Sabita sering melihat kabut hitam itu selalu berada di dekat sang kakek. Konon kata orang-orang disini. Bahwa kakeknya adalah seseorang yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Sabita percaya saja karena memang benar bahwa kakeknya  bisa menyembuhkan penyakit yang tidak bisa diobati oleh dokter manapun. Bisa dibilang kakeknya adalah orang pintar.

Walaupun begitu, kakeknya sempat membantah sebutan 'orang pintar' yang diberikan warga disini untuk dirinya. Karena menurut kakek, bahwa dirinya bukanlah orang pintar. Melainkan seseorang yang bisa melakukan hal-hal diluar nalar kesadaran manusia. Kakeknya adalah seseorang yang berkemampuan khusus sama seperti Sabita. Kemampuan ini diturunkan oleh mendiang buyut dari kakeknya. Setelah itu turun pada kakeknya dan terakhir pada Sabita.

“Kenapa ma?” tanya Sabita setelah sampai di dalam kamar sang kakek.

“Ini kakekmu mau bicara.” jawab Rendra.

Sabita melihat kakeknya yang terbaring di atas kasur bersprei coklat. Kulit sawo matangnya terlihat sudah berkerut. Tubuh gendut membuatnya terlihat tampan. Menurut Sabita, kakeknya lebih tampan saat sudah berusia lanjut dibandingkan masih muda. Sama seperti nenek, mama, dan papanya.

“Kakek mau bicara apa?” tanya Sabita to the point. Memang tidak sopan. Tetapi dirinya tidak suka diajak mengobrol dengan orang yang sudah tua. Alasannya karena mereka suka berbicara dengan bahasa yang benar. Jika Sabita salah ucap, bisa diceramahi panjang lebar.

“Kakek cuma mau ketemu sama kamu.” ucapnya sambil melirik-lirik pada Rendra dan Rini.

“Kalian ngobrol aja dulu ya. Mama sama papa mau nemenin nenek.” ucap Rini lalu mengajak suaminya untuk keluar meninggalkan mereka berdua. Pintunya tidak ditutup. Jika pintunya ditutup, maka akan terkunci dengan sendiri. Entah kenapa. Hanya kakek dan neneknya saja yang bisa membuka pintu itu jika tiba-tiba pintunya terkunci sendirinya.

Setelah Rendra dan Rini keluar, tinggallah Sabita dengan sang kakeknya berdua. Harianto  berangsut duduk. Menyenderkan punggungnya pada senderan ranjang. “Kamu masih ketakutan atau tidak jika melihat sosok arwah?” pertanyaan kakeknya membuat Sabita kaku. Dirinya memang masih ketakutan jika melihat sosok hantu. Karena memang belum menjadi kebiasaannya. Sabita ingin sekali menjadi manusia normal. Seperti teman-temannya yang lain.

“Masih kek.”

Harianto menghembuskan nafasnya gusar. “Kenapa kamu takut pada mereka?”

Sabita memalingkan wajahnya. “Mereka itu suka menunjuk-nunjukkan rupanya. Kalau saja rupanya tidak seram, ya masih wajar. Ini kan yang Sabita lihat banyak yang berupa jelek. Misalnya kayak penghuni sumur tua di belakang itu.” jelas Sabita membuat kakeknya tertawa kecil.

“Sebenarnya kita tidak perlu takut. Mereka bersikap jail karena lawannya yang ketakutan sebelum beraksi. Itulah mengapa, kakek bilang sama kamu harus tetap bersyukur. Syukuri apa yang ada. Jangan terus mengeluh. Hidup ini tidak berjalan sesuai keinginan kita. Kalau kamu bertemu dengan arwah atau apalah itu. Bacalah surat al-fatihah. Supaya mereka merasa tenang dan tidak mengganggumu.”

“Tapi ada juga yang gak mempan.” bantah Sabita.

“Kalau begitu bacakan juga ayat kursi. Masa kamu tidak tahu?”

“Hm. Iya kek.”

“Ya sudah kalau begitu. Kakek ingin tidur.” Sabita hanya mengangguk membiarkan kakeknya terbaring. Karena merasa tidak ada sesuatu lagi. Sabita keluar dari kamar kakeknya. Sebelum mencapai pintu, Kakeknya berkata. “Dan jangan lupa laksanakan salat lima waktu.”

Sabita berbalik untuk melihat sang kakek. Beliau terpejam. Sabita menghembuskan nafasnya kasar. Lalu berbalik untuk kembali ke ruang tamu.

Ucapan kakeknya tadi, seperti sedang menyindirnya.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SABITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang