Celaka! Sekarang Sabiru sudah berada di depan gerbang sekolah. Kakaknya mengetahui keberadaan Sabita karena GPS. Sabita lupa mematikan GPSnya. Sebab itulah Sabiru mendatangi adiknya ke sekolah.
Jarak antara rumah ke sekolah Sabita hanya berkisar delapan ratus meter. Sabiru mengendarai mobil berjenis SUV Toyota Rush, yang bisa menampung tujuh sampai delapan orang. Dirinya khawatir karena saat sudah sampai dirumah, Mamanya–Rini terlihat kalang kabut mencari sang adik yang tak kunjung mengabari keberadaannya. Setelah sampai disekolah, Sabiru langsung mengintip dari celah gerbang untuk memastikan apakah ada orang atau tidak. Ia tidak melihat keberadaan sang adik. Bahkan satpam yang menjaga sekolah pun tidak ada. Kenapa dia bisa sampai di dalam jika gerbangnya terkunci? Batinnya geram, sekaligus menahan emosi. Sabiru terus mencoba membuka gembok yang mengunci gerbang hitam setinggi dua setengah meter. Bahkan Sabiru mencoba untuk menaiki gerbangnya–walau dirasanya tidak mungkin.
Cowok yang masih memakai kemeja hitam yang dilihat Sabita tadi mengeluarkan hand phone berwarna hitam dengan merk Vivo. Mencari kontak sang adik dan menekan tombol bergambar ponsel berwarna hijau. Sabita tidak menjawab panggilannya. Ini sudah malam gadis konyol! Batinnya sambil terus mencoba menelpon sang adik. Entah kenapa dadanya terasa panas. Degup jantungnya tak beraturan. Kini emosi Sabiru sudah meluap.
Karena dirasa gerbangnya terlalu tinggi, Sabiru berjalan ke arah pagar pembatas yang sama tingginya seperti gerbang. Bedanya, dibawah pagar itu terdapat sebuah tempat tanaman hias yang setinggi enam puluh senti meter. Sabiru menaikinya dan memanjat pagar pembatas yang dirasanya cukup mudah untuk dipanjat. Sabiru melompat setelah berhasil melewati pagar pembatas–dekat dengan tangga menuju gedung atas kelas tujuh. Sabiru berjalan melewatinya dan berjalan sedikit berlari untuk segera menemukan dimana Sabita berada. Dirinya berlari melewati gedung kelas sembilan setelah dirasanya tidak ada siapa-siapa. Ia terus mencari dengan perasaannya yang bercampur aduk. Antara kesal, marah, sedih dan khawatir.
•••
“Aduuh, gimana ini?” tanya Ralastri pada Sabita yang terlihat pucat. Setelah Sabiru berbicara akan menjemputnya, Sabita terus merutuki dirinya. Hingga pada akhirnya gadis itu menemukan banyak sosok yang menyeramkan mendiami toilet perempuan. Ditambah, terdapat gudang kecil kosong yang pintunya sengaja dibuka lebar oleh petugas pembersih–karena ingin membersihkan gudang kecil itu. Terdapat kaca cermin yang memanjang di setiap sudut ruangan toilet ini. Yang membuatnya tambah was-was adalah, ada yang memperhatikan mereka dari pintu toilet yang terkunci. Gadis itu merasakannya.
“Lo kenapa sih dari tadi diem terus?” seru Rezy sambil mengunyah kripik kentang. Entah berapa banyak kripik kentang yang gadis bermata hijau itu bawa. Sabita mulai heran dengan gadis bersurai pirang itu.
“Kalian bisa nggak, gak berisik? Gak mau kan kalau diganggu sama sosok disini?” ucap Ilyas hati-hati. Karena dirinya merasakan hal yang sama dengan Sabita. Takut.
Ando yang mendengarnya langsung merapatkan tubuhnya ke tengah-tengah. Keno di kiri, dan Ilyas di kanan, sementara dirinya berada di tengah-tengah. “Jadi merinding beneran euy!” ucap Ando menggandeng tangan Keno dan juga Ilyas. “Ih, jijik tau gak?” ucap Keno mencoba untuk melepaskan tangan Ando yang menggandeng tangan kirinya. Merasa jijik dengan perlakuan Ando yang semakin hari semakin menjadi.
Ilyas tidak menggubris perkataan Keno. Ia memang sedang ketakutan. Dan sangat membutuhkan uluran tangan seperti ini. Walaupun tidak banyak berbicara, Ilyas tetaplah seorang laki-laki yang sedikit penakut. Merasa tak ada yang bermanfaat dengan kelebihannya. Hanya memperburuk perasaan dan juga penglihatan, Right?
“Ta, ngomong dong jangan bikin gue parno.” ucap Ralastri menggoyangkan bahu Sabita. Gadis bersuara cempreng dengan kaca mata bercampur warna emas itu terlihat khawatir karena Sabita tak kunjung membuka suara. Lingkar matanya menghitam, bibirnya agak sedikit membiru, wajahnya pucat. Terlihat seperti mayat hidup.
Ralastri mendekatkan telunjuknya ke bawah lubang hidung milik Sabita. Ia merasakan hembusan angin yang hangat. Sabita masih hidup!
“SABITA!!” teriak seseorang bersuara berat. Suara itu membuat getaran di sekujur tubuh Sabita. Ketakutan setelah mendengar suara teriakan yang memanggil namanya. Jelas saja, yang memanggilnya adalah Sabiru.
Sabita mengerjapkan matanya lambat. Melumat bibir bawah dan atas yang kering secara bersamaan oleh lidahnya yang basah. Kerongkongannya terasa kering. Sabita membalikan tubuhnya dan melihat sorotan cahaya flash dari telepon genggam milik kakaknya. Mereka semua terlihat khawatir karena takut ketahuan.
“Woy, ini jadinya mau gimana?!” ucap keno memelankan suaranya. Terdengar seperti bisikan.
“Ah, eumm, mendingan kalian bertiga masuk ke dalam sana! Supaya nanti gak dikira macem-macem sama kakaknya dia!” ucap Rezy menunjuk ketiga lelaki. Menyuruh mereka bertiga untuk masuk ke dalam toilet dengan nomor lima. Jelas saja mereka tidak mau. Apalagi Ilyas yang sudah merinding duluan. “Will not!” bentak Ando mewakili perasaan Ilyas. Keno pun tidak mau karena tidak ingin berbohong.
“Ish kalian ini!” ucap Rezy dengan mulutnya yang penuh dengan kripik kentang. Ada sedikit remah kripik kentang yang keluar di dalam mulutnya. Menghabiskan semua remah-remah kripik kentang yang tersisa di dalam bungkusannya. Meremas bungkus plastik dan berlari kecil menuju tempat sampah yang ada–lalu membuangnya.
“Lo sih santai-santai aja. Makan kripik kentang gak hafal tempat!” bentak Keno kesal dengan teman barunya yang selalu membawa kripik kentang kemana pun ia pergi. Apakah lidahnya tidak terasa perih jika terus menerus mengunyah kripik kentang? Sepertinya iya namun tidak merasa puas.
“Sabita!” panggil Sabiru yang sudah terlihat dekat dengan mereka. Sabita menelan ludahnya kuat-kuat. Sabiru terlihat khawatir. Tapi pasti dalam lubuk hatinya terdapat amarah karena Sabita sudah merepotkannya.
Sabiru berhenti tepat di depan Sabita. Sabiru mematikan senter dari hand phonenya. Menatap semuanya dengan sorot tajam. Lalu ia mengunci tatapannya pada sang adik. Adiknya, terlihat pucat.
“Kamu kenapa bisa sampai disini? Kenapa gak bilang kalau mau pergi malam-malam? Apa kamu gak mikir kalau Mama bakalah khawatir? BISA MIKIR NGGAK! Kamu itu anak gadis, bego! Mau jadi apa kalau kamu keluar malam dan melakukan hal konyol kayak gini! Dan kalian semua, jangan dekatin adik saya lagi! Jangan mengajaknya melakukan hal bodoh seperti ini! DENGAR ITU!” jelasnya meluapkan semua emosi yang ada. Mereka semua menunduk kecuali Sabita. Gadis itu menyorot Sabiru dengan tatapannya yang kosong. Sabiru mengeyitkan dahinya. Menatap sang adik yang tak kunjung berkedip. “Dek?” tiba-tiba saja Sabita tidak sadarkan diri. Pandangannya mengabur lalu terlihat gelap.
Gadis bersurai coklat itu, pingsan.
Menyusahkan! Batin Sabiru lalu membopong adiknya yang terlihat seperti mayat hidup.
•••
Maaf jika ada kesalahan pada kata.
Salam hangat, Sal.

KAMU SEDANG MEMBACA
SABITA
HororSabita berteriak kencang dan mencoba melepaskan cekalan dari sosok yang perlahan ingin berdiri dengan menaikan tangan dinginnya pada kaki Sabita. Sabita mencoba melepaskannya tetapi tidak bisa. Seolah tangan dari sosok itu adalah lem perekat. Sangat...