"Kalau bulannya pakai warna biru, pasti gak terlalu monokrom." gumam Sabita melirik-lirik hasil karya lukis yang ia buat. Duduk pada karpet berbulu biru gelap dengan hiasan jentik berwarna putih, saat jam menunjukan pukul sembilan lebih lima belas menit, Sabita mengecat lukisannya yang belum jadi.
Karena terlalu banyak pikiran, Sabita terlupa bahwa ada tugas melukis dari wali kelasnya. Bu Eka-wanita paruh baya yang menjadi guru Seni Budaya sekaligus wali kelasnya, menyuruh anak didikannya untuk melukis di atas kanvas berukuran tiga puluh kali tiga puluh. Tugas melukis yang dikumpulkan paling lambat ialah hari esok, senin.
Karena bingung, Sabita hanya melukis ala kadarnya. Langit gelap tanpa adanya kerlap-kerlip bintang, awan malam berwarna abu, dan juga bulan yang akan ia cat berwarna biru dan putih. Alasannya supaya tidak terlalu monokrom. Karena otaknya sedang tidak bisa berpikir, Sabita membuat bulatan besar menggunakan tutup panci yang berukuran sedang, dan langsung mewarnainya menggunakan cat acrilic berwarna putih dan juga biru. Mudah sekali.
Sabita terus mengecat kanvas menjadi sebuah lukisan yang berjudul 'Malam'. Ya, malam, memangnya apa yang sedang Sabita rasakan? Suasana hatinya seperti malam. Kadang gelap, kadang juga berhiaskan cahaya bulan ataupun bintang. Seperti itulah. Sabita merasakan langit terang seperti kamarnya hanya disaat-saat tertentu.
Tiba-tiba, suara deretan pintu kamar mandi terdengar. Sabita menghentikan aktivitas melukisnya. Menyimpan kuas dengan nomor sepuluh pada wadah bening berisikan air, dan menatap takut pada pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Tidak ada siapa-siapa. Ah, mungkin itu hanya angin lalu, Batinnya menenangkan diri.
Dirinya kembali berkutat pada lukisannya. Sambil bersenandung menyanyikan lagu Celengan Rindu dari Fiersa Besari, Sabita menggerakkan kepalanya ke kiri dan juga ke kanan. Berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Dan tunggulah aku di sana memecahkan celengan rinduku
Berboncengan denganmu mengelilingi kota
Menikmati surya perlahan menghilang
Hingga kejamnya waktu menarik paksa kau dari pelukku
Lalu kita kembali menabung rasa rindu, saling mengirim doa
Sampai nanti sayangkuEntah kenapa, hawa dingin menerpa dirinya. Hembusan angin malam terus berlalu melewati Sabita tanpa permisi. Merasa ada yang aneh, Sabita menghentikan lagi aktivitas melukisnya, membantingkan kuas, lalu berdiri memeriksa kamarnya. Gadis itu terus menoleh ke kiri, ke kanan, belakang dan juga seperti semula. Tidak ada siapapun.
Khawatir. Sabita terus menoleh ke semua arah. Merapalkan doa, Sabita berharap tidak ada siapapun selain dirinya. Sesaat memejamkan mata, Sabita membuka matanya perlahan. Gadis bersurai coklat itu dikejutkan oleh sosok pemuda yang dirindukannya. Kali ini berbeda. Sosoknya layak untuk dilihat. Andreas begitu tampan menggunakan kemeja putih berlengan pendek, dan juga celana jeans hitam selutut. Kakinya tidak terlihat buntung lagi. Hanya saja, mengambang, tidak menapak pada ubin lantai. Andreas tersenyum. Mukanya begitu pucat, bibirnya membiru seperti orang kedinginan, lingkar matanya pun menghitam. Tetapi tatapannya, begitu damai.
Sabita terpaku ditempat. Jadi, ini Andreas? Sangat jauh berbeda dengan sepuluh tahun lalu.
"Teresa," ucapnya parau. Seperti ingin menangis, tetapi tidak bisa. Karena dirinya, sudah menjadi arwah bergentayangan. Atau mungkin, hantu?
Sabita terus mengerjapkan matanya tidak percaya. Benarkah ini Andreas yang dikenalnya? Bagaimana bisa... Setampan ini? Bahkan saat mukanya pucat seperti ini pun, Andreas terlihat tampan. Ah, apa ini?
Andreas terlihat berbeda. Jarak antara tinggi badan mereka, berbeda sekitar lima belas centi meter. Sabita terus memperhatikan. Ia berjalan dua langkah mendekati Andreas, tetapi pemuda itu malah menghindarinya. Sabita menatap ke bawah. Kaki Andreas, melayang.
Jantungnya berdegup kencang. Mau apa Andreas? Bukankah dirinya sudah tenang di alam sana? Atau mungkin belum?
"Bantu aku." setelah berucap dua patah kata, sosok Andreas menghilang seperti kepulan asap. Apa maksudnya? Batin Sabita merasa heran. Membantunya dari siapa, dan juga apa. Bagaimana caranya Sabita membantu Andreas jika sosoknya tidak berbicara, bantuan apa yang diinginkan? Memikirkan hal itu, Sabita berpikir.
Membantunya? Tidak mungkin.
•••
"Coba perhatikan lagi. Human Immunodeficiency Virus, Hiv yang menyerang sistem imunitas atau kekebalan tubuh penderita. Hiv lebih dikenal dengan istilah AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrom. Seseorang yang terinfeksi HIV, sistem kekebalan tubuhnya akan semakin menurun. Untuk memastikan seseorang positif AIDS atau tidak, harus dilakukan pemeriksaan banyaknya sel T, Salah satu sel darah putih yang berperan dalam imunitas, di laboratorium..."
"Lalu penyakit Gonore atau GO disebabkan oleh–," penjelasan Pak Mamat berhenti saat mendengar bel berbunyi. Beliau adalah guru favorit Sabita. Karena sosoknya yang ramah, tegas, dan juga disiplin.
Sabita memperhatikan guru dengan perut buncit itu dari jarak dua meter. Sabita berada di deretan meja panjang berwarna putih paling depan, sendirian. Karena banyak teman-temannya yang takut menempati bangku terdepan. Alasannya mungkin karena takut ditanya atau apalah itu.
"Udah cukup, kalian boleh pergi ke kelas." ucap Pak Mamat seraya membereskan laptop dan juga makalah-makalah. Guru itu berdiri dari duduknya, dan menatap Sabita yang ingin berpamitan padanya.
"Oh iya Sabita. Kamu jangan dulu pergi ke kelas. Tolong bantu bapak periksa tugas kelas kamu sama kelas lain. Nanti ada satu orang laki-laki sama perempuan ke sini buat bantuin kamu. Ini tugas-tugasnya, bapak pamit dulu ya, masih ada kerjaan. Assalamu'alaikum." Sabita hanya mengangguk saat guru itu bergegas pergi meninggalkan lab Ipa. Teman-temannya pun berlalu keluar saat Sabita menurunkan kembali kursi hijau dari meja dan mendudukinya.
Omong-omong soal lab Ipa, bukannya tempat ini terkenal angker ke dua setelah lab bahasa? Tiba-tiba Sabita merasa cemas. Dadanya bergemuruh saat merasa dirinya hanya seorang diri di dalam lab.
Gadis itu melirik sekitarnya. Ada sesosok perempuan di pojok dekat lemari tempat serangga mati dipajang. Sabita selalu tak menghiraukannya. Sosok yang berada dibelakangnya ini, tidak pernah mengganggu. Tapi mustahil jika sosok itu tidak mengganggu Sabita yang seorang diri.
Suara deretan pintu mengejutkan Sabita. Menatap pada pintu yang dibuka. Siapa yang akan membantunya memeriksa semua tugas ini? Kata Pak Mamat tadi, akan ada satu orang laki-laki dan juga satu orang perempuan. Siapa mereka? Apakah itu mereka? Sabita menyipitkan matanya siaga.
"Hii!"
Ternyata Ralastri dan juga Keno yang akan menemaninya di dalam sini. Mereka berdua tersenyum. Menyimpan sepasang sepatu pada rak besi berwarna putih yang sudah disediakan.
Mereka berdua duduk dihadapan Sabita, dan meletakkan tumpukan buku berwarna hijau.
"Mau mulai sekarang nih?" tanya Ralastri pada kedua temannya. Kenapa suasananya terasa sangat canggung? Apa mereka akan menjauhi Sabita karena perintah Sabiru dua hari yang lalu? Tidak boleh.
"Sekarang aja. Kalau nanti, bisa ke sorean pulangnya." ucap Keno membalikan halaman buku. Menulis tanda centang pada jawaban yang benar.
Hening. Sesaat, atmosfer di dalam sana terasa dingin. Sabita terus menggerakan jari-jarinya sama seperti Ralastri dan juga Keno. Apa yang harus dilakukannya?
👻👻👻
Akuuu gak merasa yakinn T_T
Maaf gk nyambung😦

KAMU SEDANG MEMBACA
SABITA
KorkuSabita berteriak kencang dan mencoba melepaskan cekalan dari sosok yang perlahan ingin berdiri dengan menaikan tangan dinginnya pada kaki Sabita. Sabita mencoba melepaskannya tetapi tidak bisa. Seolah tangan dari sosok itu adalah lem perekat. Sangat...