2. Perkumpulan taman belakang

109 18 3
                                    

Maaf jika ada kesalahan kata

👻👻👻

SABITA mulai kebingungan. Apakah benar dia sudah tiada? Jika iya, mengapa ia tidak tahu akan hal penting seperti ini?

Gadis itu tidak pergi ke sekolah karena dinyatakan demam oleh sang Kakak. Sabiru adalah seorang dokter bedah. Walau begitu, dirinya masih bisa mengetahui gejala-gejala orang yang sedang sakit. Mungkin seperti sekarang, Sabiru sedang menyuapi adiknya bubur buatan Rini. “Makan yang banyak, jangan nyusahin mulu!” ucapnya agak sedikit membentak. Selalu seperti itu, dingin, kasar, cuek, pemarah dan arrogan.

Sabita menatap sang kakak dengan sorot matanya yang lemah. Rasa kantuknya sangat berat seperti kebanyakan orang demam pada umumnya. Hidungnya memerah begitu pun dengan pipinya. Kondisinya begitu lemah, hingga saat ia ingin buang air kecil, harus dibantu oleh seseorang untuk memapahnya sampai masuk ke dalam kamar mandi. Sabita bergumam setelah menelan suapan terakhir.

“Nih, minum obatnya!” ucap Sabiru menyerahkan air putih dan juga obat penurun demam. Sabita menerimanya. Juga menerima setiap perlakuan sang kakak padanya.

Sabita mengerang, rasanya sungguh menyakitkan. Sekujur tubuhnya tiba-tiba menjadi sangat lemas semenjak kejadian malam tadi. Rasanya sangat mustahil jika sosok tadi bisa sampai tepat pada rumah Sabita. Sosok itu sudah menghilang ... Dan, meninggalkannya.

“Ah, kak Sabiru kemarin kemana?” tanya Sabita menahan air liur yang ingin keluar. Sabiru mengeluarkan tisu dari nakas dan menyerahkannya pada sang adik.

“Ke pemakaman,” jawabnya sambil membereskan mangkuk dan juga gelas berwarna biru. “Emangnya kenapa gitu?” lanjut Sabiru lalu berdiri.

“Pemakaman siapa?”

“Itu lho, si Andreas temen kecil kamu itu.”

“Ha?”

“Kecelakaan,” ucap Sabiru duduk kembali di sisi ranjang. “Katanya dia habis dari Britania raya buat nengok ayahnya yang sakit. Pas mau pulang, taksi remnya blong. Jadi gak bisa dikendaliin. Terus ya gitu,” jelas Sabiru lalu kembali berdiri. Berjalan meninggalkan Sabita yang menunggu kelanjutan dari sang kakak. Saat ingin menutup pintu kamar, ia berkata, “Mati.” lalu menutup pintunya dengan keras.

Kenapa Sabiru sangat tidak berperasaan? Bahkan saat mengatakan kematian teman semasa kecil Sabita pun ia masih sama kejamnya. Apa ini pengaruh dari profesinya sebagai dokter bedah? Tidak mungkin.

Sabita tidak menangis. Hanya satu sampai tiga kali air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Sabita tidak pernah bertemu dengan Andreas karena lelaki itu pindah ke tempat yang lebih besar, modern dan juga terawat. Rasanya, dulu ia pernah tidak dianggap kehadirannya oleh sang ibu dari Andreas. Karena dulu Sabita sering menangis tidak jelas. Sakit-sakitan, berteriak, dan yang lebih parahnya lagi, Sabita pernah mengajak Andreas untuk mati. Itulah alasan mengapa Andreas pindah.

Rasanya pusing memikirkannya. Sabita menidurkan dirinya lalu mencoba untuk tertidur. Sabita semakin pusing memikirkan besok akan menjadi hari terburuknya atau tidak. Sudah pasti besok hari yang sangat buruk. Pasti.

•••

Seperti biasanya, Sabita diantar oleh Sabiru menaiki mobil hitam ke sekolah. Setelah itu, Sabiru akan menuju rumah sakit untuk melaksanakan aktivitasnya seperti biasa. Sabita tidak pernah mengetahui tentang pekerjaan Sabiru. Bahkan saat diajak ingin ke rumah sakit atau tidak, Sabita akan menolaknya mentah-mentah.

SABITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang