SAAT Sabita ingin beranjak pergi dari kelasnya yang sudah sepi, Ia melihat kembali hantu wanita yang bola matanya keluar tadi mengambang di dekat pintu-mengunci Akses untuk keluar kelas. Sabita menatap matanya yang hitam lalu membalikkan tubuhnya dan menunduk dalam-dalam. Menangis adalah hal yang sangat lumrah untuk mengeluarkan isi hatinya yang sedang ketakutan. Sebenarnya, Sabita adalah sosok yang sangat takut walaupun sudah banyak melihat 'mereka'. Pernah satu kejadian saat dirinya masih sekolah dasar, Ia terjebak di dalam gudang sekolah karena ingin mengambil sapu. Sekitar lima belas menit Sabita terjebak di antara 'mereka'. Sabita tidak melihat sosoknya. Yang ia lihat hanya dua sinar merah dan suara geraman yang membuat telinganya berdengung. Bau bangkai tikus pun terasa dengan sedikit bebauan darah yang mungkin sudah lama terbiarkan. Dirinya bisa menebak bahwa ada yang pernah membunuh dirinya di gudang sempit itu.
Sabita sendirian-di kelas dan juga sekolahnya yang mulai sepi. Ia terpaksa sendirian disini karena saat bangun, ia tidak melihat siapa-siapa selain bau obat-obatan. Sabita menebak bahwa dirinya tadi pingsan karena kelelahan, karena sudah dua jam berdiri diantara teriknya matahari. Sabita tidak mengetahui siapa yang sudah membawanya kemari hingga saat bangun, hari menjelang malam. Terpaksa ia harus kembali dulu ke kelas untuk membawa tas dan juga barang-barangnya. Dan kini ... Disinilah ia, sendirian diantara para makhluk gaib yang mulai berkeliaran.
Sabita mencoba memberanikan dirinya untuk mendongak melihat sekeliling. Hantu wanita yang mengerikan itu sudah tidak ada. Keadaan kelas ini begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan. Sabita membalikkan badannya. Tidak ada siapapun. Ia harus segera beranjak dari sekolah ini. Jika Sabita tidak mempunyai kemampuan ini, ia tidak akan pernah setakut ini-mungkin hanya berhalusinasi tentang 'mereka'.
Gadis itu mencoba berdiri walaupun kakinya sudah bergetar hebat sejak kedatangan hantu wanita tadi. Sabita membawa tas hitam lalu menggendongnya di punggung. Dirinya keluar kelas agak sedikit berlari ketika sudah mengatur degup jantungnya yang dirasanya ingin copot. Untung aja jarak antara rumah sama sekolah dekat Batinnya.
Hidup seperti ini, membuatnya menderita sekaligus tidak tenang.
•••
"Assalamu'alaikum," ucap Sabita memberi salam saat sudah menginjakkan kakinya dirumah. Sabita melihat sekeliling rumahnya. Mulai dari ruang tamu, lantai atas dimana kamarnya berada, dan juga dapur. Lho, kok sepi? Batinnya merasa heran. Dengan terburu-buru, ia menyimpan sepatunya di rak sepatu yang terbuat dari besi, lalu segera mengecek kamar Ibu dan Ayahnya, juga kakak laki-lakinya. Tidak ada seorang pun dirumah ini. Sabita mulai merasakan bulu tengkuknya meremang. Angin berhembusan diantara leher dan juga tangan kirinya.
Sabita berbalik. Tidak ada siapa pun. Sesegera mungkin Sabita menginjakkan kakinya satu persatu pada anak tangga yang membuat telapak kakinya terasa dingin. Ia berhenti di depan pintu kamarnya dan mulai membuka knop pintu lalu masuk ke dalamnya. Menyimpan tas, mengganti baju lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan sprai biru dan menyelimuti badannya dengan selimut. Setidaknya, ia merasa tenang-walaupun terasa sesak.
Pengalaman ini, membuatnya berpikir bahwa, tidak semua indigo merasa bahagia karena bisa berkomunikasi dengan hantu.
Suara ketukan pintu kamarnya terdengar jelas di telinganya. Tubuhnya mulai bergetar lagi, dan lagi. Degup jangtungnya bertambah dua kali lebih cepat. Ia mulai membayangkan hantu apa yang sudah mengetuk pintu kamarnya. Apakah kuntilanak? Ah, lebih baik ia tidak membukakan pintunya.
Suara ketukan pintunya semakin menjadi-jadi. Sangat keras. Untung saja tadi Sabita mengunci pintunya. Gadis itu mulai berpikir, Padahal jika itu hantu, mengapa tidak menembus saja? Mungkin itu kakaknya. Ya!
Sabita membuka selimut yang menyelimutinya dengan tergesa-gesa. Sedikit berlari saat ingin menuju pintu. Saat sudah tiba dihadapan pintu, Sabita terdiam lalu memutar kunci yang menggantung. Menyentuh knop pintu lalu memutarnya perlahan. Suara deretan pintu memecahkan keheningan. Sabita memelotot saat melihat apa yang dilihatnya. Lututnya sudah terasa lemas. Ia bereriak sekeras-kerasnya. Teriakannya begitu keras hingga terdengar nyaring dirumahnya yang gelap dan juga sepi.
Mukanya sangat pucat dan juga bibirnya tampak membiru. Lingkar matanya menghitam dan juga matanya yang memerah. Kaki kirinya putus selutut-memperlihatkan daging dan juga darah yang bercucuran darinya. Sosok itu sedang menatap Sabita. Seperti ada kesedihan saat Sabita memberanikan dirinya untuk menatap sosok laki-laki jangkung di depannya. Sabita menangis sejadi-jadinya. Sosok di hadapannya ini ... Sangat ia kenali.
"Ya ampun Sabita, kamu kenapa?" Rini-ibunya bertanya sedikit berteriak sambil menghentakkan kakinya di tangga. Di belakangnya ada Ayah dan juga kakak laki-lakinya mengikuti Rini yang terlihat panik. Saat sudah sampai, mereka melihat Sabita sedang bertekuk lutut sambil menangis sesegukan. Rini langsung memeluk putrinya dan mengelus-elus punggung Sabita supaya lebih tenang.
"Kamu kenapa teriak-teriak gitu? Bikin panik aja tau gak!" ucap Sabiru Rayyana-kakak laki-laki Sabita. Sikapnya begitu acuh saat adiknya mendapati masalah seperti ini. Sabiru sangat tidak percaya dengan keberadaan makhluk tak kasat mata. Walaupun begitu, ia masih perduli.
"Diam kamu!" bentak Rendra-Ayah Sabita dan juga Sabiru-menyuruh Sabiru untuk diam. Sabiru menurut karena ia juga sedih ketika melihat adiknya sedang meringkuk ketakutan. Selalu begini. Kenapa bisa Sabita memiliki kelebihan itu? Buat semuanya berantakan aja! Ucap Sabiru membatin. Kesal karena adiknya mendapatkan kelebihan yang sangat menyebalkan-menurutnya. Padahal, jika Sabita tidak memiliki kemampuan ini, kehidupan mereka akan jauh lebih baik dari keluarga manapun.
"Udah nak, jangan nangis lagi. Kita udah ada disini. Ayo bangun," ucap Rendra menenangkan Sabita. Membantu putrinya untuk berdiri. Rini dan juga Rendra Memapah Sabita yang terlihat lemas. Sedangkan Sabiru hanya diam melipatkan kedua tangannya di dada. Selalu saja begini.
Sabita begitu lemas. Tak terasa saat sudah dibaringkan di ranjang, ia menutup matanya dan tertidur pulas. Kebanyakan menangis membuatnya lemah tak berdaya. Rasa kantuknya sangat berat. Mungkin kebanyakan beraktifitas unfaedah membuat staminanya menurun.

KAMU SEDANG MEMBACA
SABITA
HorreurSabita berteriak kencang dan mencoba melepaskan cekalan dari sosok yang perlahan ingin berdiri dengan menaikan tangan dinginnya pada kaki Sabita. Sabita mencoba melepaskannya tetapi tidak bisa. Seolah tangan dari sosok itu adalah lem perekat. Sangat...