3. Ajakan

90 13 0
                                    

Maaf jika ada kesalahan kata

👻👻👻

Rasanya Sabita ingin menangis. Lagi-lagi, ia dihantui rasa bersalah. Andreas mendatanginya dalam mimpi. Sabita sendiri bisa merasakannya. Saat Andreas berbahagia akan pulang dengan niatnya ingin bertemu dengan Sabita.

Sabita menangis dalam terangnya lampu kamar. Sabita tidak pernah mematikan lampu kamar karena mereka pasti akan hadir diantara kegelapan. Kamar Sabita sangat terang. Tidak ada ruang sedikitpun yang gelap. Bahkan Sabita melepaskan ranjangnya untuk menghapus yang namanya 'dibawah ranjang'. Jadi, sekarang tertinggallah kasur berukuran besar  beralaskan karpet bulu berwarna biru. Kebanyakan barang dikamar Sabita berwarna biru. Seharusnya ia lebih menyukai warna abu, putih atau hitam, karena sesuai dengan namanya 'sabit'.

Malah berbanding terbalik. Sabiru yang menyukai warna abu dan putih. Kamar Sabiru bernuansa galaksi–yang di dominansi warna abu dan putih. Sedangkan kamar Sabita bernuansa langit yang cerah–seperti nama 'Sabiru'. Entah itu sebuah kebetulan atau apa, Sabita dan Sabiru tidak menyadarinya.

Sabita kembali mengingat kejadian tragis sang sahabat. Rasanya sangat menyakitkan. Mulai dari Andreas yang berpamitan dengan sang Ayah, membeli hadiah untuk orang dirumah dan untuk Sabita. Berada dibandara, menaiki taksi yang didalam mimpinya rem taksi itu tidak berfungsi, dan meninggalnya Andreas dengan sangat mengenaskan.

Andreas dan Sabita terpaut usia tiga tahun. Andreas lebih dulu menjalani kehidupan remajanya, sedangkan Sabita berada dibelakangnya. Sabita bersahabat dengan Andreas pada saat usianya masih lima tahun. Berarti, jika pada saat itu Sabita berumur lima tahun, maka Andreas berumur delapan tahun. Mereka dianggap adik kakak karena sering bermain ditaman komplek. Andreas selalu mengajak tetangga sekaligus sahabat ataupun adiknya itu ke taman komplek untuk sekadar bermain. Rasanya sangat sulit dipercaya saat kakak kedua seteleh Sabiru meninggalkannya lebih cepat. Bahkan mereka belum bertatap muka. Ingin sekali rasanya melihat muka tampan Andreas. Tapi keadaan tidak sesuai dengan kenyataan. Sabita melihat Andreas dengan keadaan yang tidak sewajarnya untuk dilihat. Dibalik mukanya yang rapuh, terdapat ketampanan yang tidak akan pernah Sabita lihat.

Tak terasa matanya membengkak karena menangis. Begitu juga dengan selimut yang ia pakai, terlihat basah dibagian atasnya.

Sabita beranjak dari tidurnya. Segera melaksanakan ritual paginya. Menuju ruang makan, sarapan, berpamitan, diantar oleh Sabiru, dan mendapatkan tatapan tajam dari teman sekelasnya. Sungguh menyakitkan jika ia harus terus mengulang kehidupannya yang terus menerus seperti itu. Bahkan tidak ada yang berubah sedikitpun.

•••

Sabita berjalan sendirian kearah toilet perempuan. Gadis itu tidak bisa menahan rasa ingin membuang air kecilnya. Untung saja ini adalah waktunya istirahat. Sabita begitu malas menjalani hari-harinya. Sampai-sampai ia mengacuhkan sosok besar dan juga hitam yang sedang menggeram didepannya. Tak perduli, Sabita melewati sosok itu sambil menundukan kepalanya. Benar-benar kacau.

Setelah sampai, Sabita melihat beberapa siswi yang sedang membawa pakaian olahraga. Sabita masuk ke dalamnya lalu segera membuang air kecilnya. Saat sudah selesai, Sabita dapat melihat seorang perempuan berseragam sama berada di pojokan, toilet yang jarang digunakan para siswi karena menurut mereka seram. Muka perempuan itu sangat pucat. Tatapannya sangat kosong. Ada darah yang mengalir didalam rok kotak-kotak hitamnya. Darah itu mungkin berasal dari selangkangannya. Saat Sabita memperhatikan perempuan itu, tak terasa perempuan itu juga menatapnya balik. Sabita merasa tubuhnya terkunci. Darah yang keluar mengalir banyak hingga sampai jatuh pada permukaan lantai.

Entah kenapa ada sesuatu yang mengunci pergerakannya. Darah yang keluar sangat banyak hingga menembus rok yang dipakainya. Tiba-tiba ada sebuah pisau yang melayang entah dari mana. Pisau itu langsung menancap perut sosok itu. Lalu sosok perempuan itu berteriak hirteris. Berusaha mengeluarkan pisau yang menancap perutnya semakin dalam. Saat semua ujung pisau itu berada didalam perut, sosok itu menghilang.

Sabita mulai dalam kesadarannya. Entah kenapa ia merasa ada cairan kental diantara selangkangannya. Sabita kembali masuk ke dalam toilet dengan tubuhnya yang seketika gemetar. Saat Sabita mengecek, ternyata ia sedang datang bulan. Rasa merinding bercampur takut menjadi satu. Kepalanya pusing seperti di aduk-aduk sesuatu. Sabita segera mengambil pembalut yang sudah tersedia di dalam toilet. Masing-masing toilet perempuan dilengkapi pembalut dan juga kertas pembungkus.

Saat Sabita keluar. Ia sudah mendapati Keno yang tengah bersender di dinding dekat toilet. Menyadari seseorang disampingnya, Keno berbalik menatap Sabita. Lalu tatapannya beradu. Keno tersenyum. Sabita tidak bisa membalas senyumannya karena masih dalam keadaannya yang setengah takut.

“Yuk cabut! Ikutin aja gak usah banyak ngomong!” ucapnya langsung berbalik. Entah kenapa Sabita menurut. Kakinya menuntun untuk mengikuti Keno.

Kantin.

Sabita tercengang. Setelah dua setengah tahun tidak mengunjungi tempat bernama kantin ini. Semuanya berubah menjadi lebih bagus, bersih, dan juga besar. Sabita mengerjapkan matanya perlahan.

“Hoy, sini!” teriak Ralastri dengan suara cemprengnya. Ralastri tidak sendirian, gadis itu ditemani dua orang laki-laki dan juga satu orang perempuan. Mereka semua adalah orang-orang yang berkumpul ditaman belakang tempo hari. Ah, bagaimana ini? Batinnya. Sabita ingin berbalik tetapi tangannya terburu dicekal oleh, Ando. Laki-laki ini?! Batin Sabita geram.

“Awas aja kalau mau kabur!” bentaknya menyeret Sabita dengan paksa. Laki-laki bercelana biru kehitaman ini membuat semua orang memperhatikan keduanya. Ah, setelah ini, Sabita akan menjadi populer.

“Duduk!” titah Ando memaksa Sabita untuk duduk disebelahnya. Disebelahnya lagi, terdapat tembok berwana putih bersih. Merasa terpojokkan, Sabita menggeserkan posisinya hingga berdempetan dengan tembok. Posisi tempat mereka duduk pun sangat terpojokkan.

“Jadi, lo juga harus ikut Organisasi ini! Gue seret lo kalau lo gak mau!” ucap Perempuan bermata hijau itu penuh penekanan. Sabita memperhatikan name-tag yang dipakainya. Zee Rezy–gadis blasteran barat, sepertinya.

“Dan perlu kalian ketahui! Termasuk lo!” ucap laki-laki berseragam beda bernama Ilyas. Tatapannya seperti sedang mengintimidasi Sabita. “Gak ada yang boleh tahu organisasi ini. Semuanya harus bisa tutup mulut. Gak boleh sampai bocor.” lanjutnya lalu menyeruput jus alpukat.

“Gue jelasin lagi,” Ralastri menggantungkan ucapannya, “Jadi, selama hari libur, Sabtu sama minggu, kita bakal nginep disekolah ini. Tenang! Gak akan ada yang berani macem-macem! Pokonya semua udah pasti aman. Yang gak aman itu kalau mereka terusik sama kita,” lanjutnya bertopang dagu. Terlihat seperti orang berpikir.

“Kalemin aja Las. Selama gak ganggu, gak pa-pa kan? Lagian, tempat yang gak berpenghuni itu cuman ada di sana!” Keno menunjuk suatu tempat. Sabita tidak bisa melihatnya karena tidak terjangkau. Semuanya mengangguk.

“Jadi, gimana? Lo mau kan?” ucap Ilyas berusaha meyakinkan. Pasalnya, tidak banyak orang yang memiliki kemampuan spesial.

“Tapi kan...”

“Yes, mau!” ucap Rezy memotong ucapan Sabita. Semuanya mengangguk lalu mengatakan Deal! Secara keras-keras. Membuat seluruh perhatian tertuju pada meja yang berada dipojok kantin.

Sabita menghembuskan nafasnya kasar. Setelah ini, ia akan pergi menjauh. Tidak akan keluar kelas. Bahkan saat hari libur, ia tidak akan keluar kamar. Sungguh membuat kepalanya pening.

SABITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang