9. Selalu lemah

57 10 1
                                    

“Kalian beneran mau jauhin aku?” akhirnya Sabita berani bertanya setelah tugas yang diperiksanya selesai. Mereka menyusun kembali buku berwarna hijau itu untuk disimpan di kantor sekolah, tepatnya di meja Pak Mamat.

Setelah setengah jam memeriksa tugas dalam keheningan, akhirnya Sabita membuka suaranya.

Ralastri dan juga Keno Sama-sama diam. Tidak menggubris pertanyaan yang dilontarkan gadis bersurai coklat dihadapan mereka. Seolah tak mendengar, mereka berdua meleos pergi meninggalkan Sabita yang masih terpaku. Suara debukan pintu tertutup menggema di dalam lab. Setelahnya, terdengar cekikikan dari setan jail yang membuat Sabita lari terbirit-birit. Seperti sedang mengejek, Sabita kembali karena terlupa dengan tumpukan buku yang tertinggal diatas meja putih.

•••

“Tunggu!” teriak Sabita mencoba mengejar Ralastri dan Keno yang sudah berada di dekat kantor. Dirinya masih di atas dan siap menuruni anak tangga yang berjumlah tiga puluh.

“Tung–,awh.” saat menginjak anak tangga yang ke dua puluh, Sabita tergelincir. Badannya terguling sampai pada permukaan lapangan basket. Sikutnya tergores oleh permukaan sisi lapangangan yang kasar. Menyebabkan darah segar mengalir, menetes sampai pada telapak tangannya. Sabita meringis saat melihat ada kerikil yang masuk ke dalam goresan di kulit sikutnya. Sabita pun menjatuhkan semua buku milik teman-temannya.

Setelah menyimpan semua tumpukan buku, Ralastri dan Keno keluar, berlari saat melihat Sabita tersungkur. Khawatir karena darah mengalir sampai menyentuh permukaan lapangan.

“Sabita, lo nggak apa-apa?” tanya Keno memegang bahu kanan Sabita. Meringis sesaat, melihat goresan yang membuatnya terasa linu. Lalu menatap temannya iba.

Ralastri memukul pundak Keno sampai tersungkur. Membuat sang pemilik meringis, terkejut. “Lo itu bego apa gimana? Jelas-jelas Sabita kenapa-napa. Gak liat darah ngalir kayak comberan gini?” antara ingin tertawa dan menangis. Sabita menahan keduanya saat Ralastri mengucapkan kata comberan.

“Kita ke UKS aja yuk. Mumpung belum dikunci.” saran Keno yang didapati anggukan dari Sabita. Ralastri membantu Sabita untuk berdiri. Sementara Keno membereskan buku yang berserakan.

“Gue ke ruang guru dulu kalau gitu.” Keno berpamit, Ralastri mengangguk lalu menuntun Sabita untuk pergi ke UKS yang berjarak tujuh meter dari mereka. Jika dipikir-pikir, Ralastri sangat iba melihat Sabita selalu seorang diri diantara teman-temannya yang lain. Apalagi Sabita bisa melihat mereka yang tak terlihat. Jika saja dirinya satu kelas yang sama dengan Sabita. Tapi tidak mungkin. Karena sebentar lagi, mereka akan menghadapi ujian. Setelah itu lulus, lalu berpencar lagi seperti semula.

“Tunggu ya. Gue bawa obat merah dulu.” Sabita mengangguk. Ralastri berjalan menuju lemari kaca yang tak jauh dari ranjang Sabita duduk. Setelah semua yang diperlukan sudah ada, Ralastri menyimpannya pada ranjang terlebih dahulu. Membawa wadah bening berisi air untuk membersihkan darah dan juga kerikil kecil yang ada pada dalam luka.

Ralastri menuangkan antiseptik pada wadah bening yang berisi air. Mencelupkan handuk kecil biru lalu memerasnya. Ralastri mulai membersihkan darah yang mengalir dan juga luka di sikut Sabita. Sabita meringis mencoba menahan rasa nyeri saat handuk basah itu mengenai lukanya. Setelah dirasa bersih, Ralastri memberikan obat merah pada luka Sabita–menempelkan kapas lalu memakaikan plester. “Udah!” Ralastri meringis saat melihat goresan kecil di sekitar sikut Sabita.

“Makasih ya.” Sabita memaksakan tersenyum manis walau matanya terlihat berkaca-kaca, menahan sakit. “Slow aja.” jawab Ralastri lalu membereskan kembali peralatan yang tadi dibawanya.

Terdengar suara deretan pintu terbuka. Sabita menengok siapa yang sudah membuka pintu. Sabita mengernyitkan dahinya dalam. Tidak ada siapapun disana. Jika ada yang membuka pintu itu, maka seseoranglah yang sudah berbuat. Jika itu hantu, pasti mereka tidak akan membuka pintu hanya untuk masuk ke dalam suatu ruangan. Mereka bisa menembus. Lalu siapa yang membuka pintu itu? Apakah terseret angin? Tidak mungkin!

Sabita semakin dibuat bingung. Ralastri pun pasti tidak terlalu mendengar suara deretan pintu karena dirinya sedang mencuci wadah bekas air tadi. Suara gemercik air menulikan gendang telinganya. Sabita makin dibuat penasaran. Dirinya mencoba untuk tenang. Beranjak dari tempat tidur dan menghampiri pintu. Suasananya begitu mencekam bak film horor. Saat sabita memegang knop pintu dan membukakannya lebar-lebar, Sabita tidak melihat apapun. Dia melangkahkan kakinya selangkah keluar dari garis hitam pembatas pintu UKS.

Jantungnya berdebar-debar saat pergelangan kaki kanannya terasa dingin. Seperti ada yang mencekal. Keringat dingin mulai membasahi bagian leher dan punggungnya. Sabita merasakan bulu halus di kakinya menegak. Tiba-tiba perutnya terasa mulas. Dirinya semakin dibuat ketakutan saat mencium bau anyir. Cekalan dikakinya semakin menguat. Sosok apakah yang sudah berhasil menakutinya?

Sabita pelan-pelan menoleh ke bawah. Seketika semua bulu disekujur tubuhnya menegak. Sosok itu tersenyum mengerikan.

“ARRRGH!”

Sabita berteriak kencang dan mencoba melepaskan cekalan dari sosok yang perlahan ingin berdiri dengan menaikan tangan dinginnya pada kaki Sabita. Sabita mencoba melepaskannya tetapi tidak bisa. Seolah tangan dari sosok itu adalah lem perekat. Sangat mengerikan. Kepalanya hancur. Terlihat banyak bekas cambukan di sekujur tubuhnya. Sosoknya bertelanjang. Rambut gelombang sampai punggung. Banyak bekas cakaran juga di sekitar kakinya. Dan yang paling mengenaskan lagi, buah dadanya hancur. Membuat dada Sabita terasa nyeri.

“Tolong!” percuma meminta tolong. Tidak ada siapapun disini. Ralastri pun seperti dibuat tuli sampai-sampai tidak mendengar teriakan Sabita. Dadanya semakin bergemuruh saat kedua tangan itu menyentuh pahanya. Merabanya. Sedikit lagi, tangan kotor itu akan menyentuh selangkangan milik Sabita. Sabita terus menjerit. Tubuhnya terasa kaku. Sentuhan dingin membuat dirinya terus menangis. Tidak bisa berbuat apa-apa. Sabita menjambak rambut sosok itu. Sosoknya tidak terima. Memelotot saat Sabita menendang wajahnya dengan berani. Tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Sabita melarikan diri ke arah gerbang sekolah. Tidak perduli dengan Ralastri ataupun Keno yang sudah menungguinya. Sabita merasa sudah dilecehkan karena sosok tadi dengan beraninya hampir menyentuh kemaluannya. Sabita rasanya ingin membunuh sosok itu yang kedua kalinya. Tiba-tiba payudaranya terasa berdenyut-denyut. Sabita memegangi, mencoba menahan rasa denyutan yang semakin membuatnya ngilu. Sabita terkulai ditengah-tengah lapangan basket out door. Dirinya membalikkan tubuh melihat sosok tadi. Sosok itu masih berada didekat UKS. Dengan senyum mengerikan, Sabita mengalihkan pandangannya. Merasa ngilu saat melihat buah dada sosok itu terkoyak sampai hancur. Sekarang Sabita mengerti. Sosok itu ingin Sabita merasakan apa yang dirasakannya.

Perlahan, denyutan di kedua buah dadanya berhenti. Matanya tiba-tiba mengantuk sekali. Sabita tidak bisa menahan diri. Matanya terpejam begitu saja. Dirinya terlelap dengan cepatnya. Suara teriakan Ralastri dan juga Keno menggema di gendang telinganya. Perlahan, suara teriakan itu memudar, menjadikan pendengarannya tuli. Sabita tidak merasakan apa-apa lagi. Dirinya tertidur pulas diantara rintikan gerimis yang mulai berjatuhan.

SABITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang