18| Kata Mereka

1K 85 0
                                    

Jangan perdulikan omongan orang lain yang tidak tahu apa-apa tentang kita!

-Kianga-

🌿🌿🌿

Perjalanan yang cukup melelahkan. Jakarta-Bogor ditempuh selama beberapa jam. Walaupun dengan kendaraan pribadi tetap saja tidak bisa lolos dari kemacetan tanah air.

"Ayah, keluarga mas Rahmat kapan ke sini?"

Rencananya kedua keluarga itu akan menggelar lamaran resmi di kediaman calon pengantin wanita tentunya di Bogor.

Setelah menjalani proses ta'aruf, In sha allah keduanya yakin bahwa mereka benar-benar cocok dan semoga memang berjodoh. Untuk itu mereka memilih untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius yaitu ikatan yang halal untuk menyempurnakan separuh agama mereka.

"Mungkin lusa. Kenapa? Udah kangen sama Rahmat ya?" Ahmad menggoda anaknya.

"Ihh.. Ayah! Kia hanya tanya saja kok dibilang kangen." Sebenarnya jantung Kia sudah berdetak tak karuan mendengar nama itu disebut. Entahlah, ia selalu ingin tersenyum jika mengingat hari-hari disaat bersama Rahmat.

Alhamdulillah, ternyata kejadian saat di kafe itu sudah terselesaikan. Walaupun sedikit dibantu oleh Ahmad. Ternyata memang benar Rahmat  cemburu saat itu, bagaimana tidak cemburu. Dan Ahmad berhasil menemui Fajar, dan sedikit memberi wejangan padanya.

"Assalamu'alaikum."

Ahmad dan Kia menjawab kompak.

"Teh Kia, apa kabar?" Tanya Ririn—sepupu Kia saat melihat Kia yang tersenyum padanya.

Mereka berpelukan. "Alhamdulillah baik, Ririn gimana kabarnya?"

"Ririn juga baik Teh, Alhamdulillah." Kia mengangguk, senyumnya masih mengembang.

"Ya udah, ke dalam yuk Rin." Ajak Kia yang diangguki oleh Ririn.

"Ayah, istirahatnya di dalam."

"Iya, Ayah mau cari angin segar dulu. Kalian ngobrol saja di dalam, sana!" Keduanya mengangguk lantas melangkah ke dalam rumah.

"Calonnya kapan ke sini, Teh?" Kia tersipu mendengar pertanyaan Ririn.

"Kemungkinan lusa Rin." Ririn mengangguk lagi.

Kia berusaha untuk tenang dan terlihat biasa saja walaupun sebenarnya hati Kia sudah berdebar tak karuan. Entah mengapa jika membicarakan Rahmat selalu membuat gugup tak jelas.

"Kerjaannya apa?" Disini Ririn sudah seperti wartawan yang tengah melakukan wawancara. Sebenarnya ia tak berminat bertanya tentang suami Kia. Ini adalah perintah ibunya untuk bertanya semua itu, karena jika ibunya yang bertanya yakin Kia tak akan menjawab. Mungkin hanya seperlunya.

"Kenapa memang?" Ririn nampak gugup.

"Ya enggak, cuman pengen tahu ajah sih Teh." Ririn terkekeh pelan.

"Gimana sekolah kamu? Lulus tahun ini kan?" Kia berusaha mengalihkan pembicaraan, ia hafal betul apa maksud pertanyaan Ririn. Ia tahu bagaimana kepo-nya ibu Ririn.

Bukan ingin menutupi apapun, apalagi dengan keluarga sendiri. Hanya saja, uwa Narmi—ibu Ririn (uwa adalah panggilan untuk kakak dari ayah atau ibu, dalam bahasa Indonesia biasanya tante atau paman) selalu membicarakan segala hal tentang Kia kepada ibu-ibu lainnya. Lebih tepatnya ia tak mau menjadi bahan ghibah apalagi fitnah.

Kia kasihan pada uwa atau ibu-ibu lain yang selalu menghibah. Bukankah ghibah dilarang dalam Islam? Jika sesuatu hal dilarang oleh Allah, pasti Allah tahu bahwa hal itu lebih banyak mudharat daripada kebaikannya.

Ririn menghela nafas pelan, "iya teh, do'akan semoga hasilnya memuaskan." Tersenyum.

"Aamiin. Semoga ilmu yang didapat menjadi bermanfaat."

***

Sepagi ini Kia dan Ahmad tengah berjalan-jalan mengelilingi kampung. Melepas rindu sambil mencari udara yang lebih segar dibandingkan yang ada di Ibukota.

Maklum saja, kurang lebih dua tahun ini Kia tak pernah pulang. Bukannya tidak rindu, hanya saja ia tidak mau dan belum siap waktu itu untuk bertemu dengan Fajar. Tidak ingin memutus hubungan silaturahmi, namun dulu sakit itu selalu terasa jika melihat jejak kenangan di sini. Semuanya masih jelas, dan masih saja terasa sakitnya.

Tapi itu dulu, sekarang sudah berbeda. Kia sudah memilih bahagia yang baru, mencoba menutup lembaran kemarin. Tak mau melupakan, biarkan saja semuanya teringat dan menjadikan itu sebagai pelajaran berharga.

"Banyak yang berubah sekarang ya, Yah?" Sambil menatap rumah yang dulunya sawah terbentang indah di sana dan sekarang sudah berdiri beberapa rumah atau pertokoan.

Ahmad mengangguk, "Ayah juga berubah, sudah semakin tua." Kia menoleh.

"Ayah masih terlihat gagah." Tersenyum tulus.

"Lihat ini!" Menunjuk kepalanya, "udah banyak uban." Kia terbahak mendengar penuturan ayahnya.

"Ehh, Kia apa kabar?" tanya ibu-ibu yang sedang memilih sayuran saat Kia dan Ahmad melewati tukang sayur yang dikerubungi oleh ibu-ibu.

"Alhamdulillah baik, Bu." Sekali lagi ia tersenyum.

"Ngomong-ngomong, kamu mau nikah ya?" tutur salah satu dari mereka. "Masih bujangan apa udah duda?" kata yang lainnya. Ternyata secepat itu berita tentang pernikahannya tersebar.

Sebenarnya ada rasa sakit saat mereka bertanya tentang calonnya yang masih bujangan atau sudah duda. Ia tahu, ia mengerti maksud mereka. Karena di usia dua puluh tahunan ia sudah menyandang status janda. Hal itu menjadi pertanyaan dalam benak mereka, apakah ada yang mau dengan dirinya yang sudah janda.

Tapi apakah sejijik itu status janda di mata mereka. Ah, sudahlah. Jangan suudzon seperti itu. Ingatnya dalam hatinya, mencoba selalu berpikir positif tanpa memperdulikan ocehan orang lain. Walaupun sesekali perlu mendengar komentar orang lain sebagai bahan evaluasi dan pembenahan dalam diri.

Kia hanya tersenyum, "mari Ibu-Ibu, saya pamit dulu." Kia kembali berjalan diikuti oleh Ahmad di belakangnya yang tersenyum bangga melihat Kia yang tidak mudah tersulut oleh ucapan orang lain.

"Yah, maafkan Kia yang dulu tidak mendengarkan ucapan Ayah." Kia menunduk.

Ahmad berhenti berjalan, Kia pun sama. "Sudahlah, ini sudah menjadi takdir yang Allah gariskan untukmu, Nak." Dielusnya kepala Kia yang tertutup Khimar hitam itu.

"Jangan diungkit lagi, Allah sudah berkehendak. Jangan menyalahkan alur Allah, berbaik sangkalah pada Allah, Allah tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Jangan perdulikan omongan orang lain yang tidak tahu apa-apa tentang kita." Kia tersenyum dengan mata yang mulai berkaca-kaca lalu menghambur memeluk Ahmad.

"Kia berterimakasih pada Allah, karena telah mengirimkan Ayah yang selalu ada untuk Kia, sungguh Allah maha baik." Semakin mengeratkan pelukannya dan semakin banyak air yang menetes dari pelupuk matanya.

🌿🌿🌿

Revisi : 09 April 2020, Bogor

Kianga |ᴇɴᴅTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang