21| Penyelesaian Bukan Penyesalan

1.2K 93 2
                                    

Happy reading◀⏸▶

🌿🌿🌿

Dua jam lebih sudah terlewati setelah Kia mengatakan bahwa ia ingin membatalkan pernikahannya dengan Rahmat. Selama itu pula ia diberi wejangan oleh Ahmad.

Setelah tahu bahwa yang membuat keputusannya goyah itu karena ocehan ibu-ibu tempo hari, Ahmad berusaha membuat Kia yakin bahwa Rahmat memang benar-benar jodohnya, Kia adalah tulang rusuk Rahmat, In sha allah.

"Tanyakan lagi pada Allah, tanyakan apakah lelaki kali ini yang paling tepat untukmu. Jangan lupakan Allah yang selalu tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya!" Ahmad berdiri, mengusap kepala Kia sebelum pergi ke kamarnya.

"Jangan mendahuluinya takdir Allah, Ki," katanya sebelum benar-benar melangkahkan kaki.

Kia terdiam, gerakannya hanya mampu menghapus air mata yang sedari tadi deras mengalir. Tubuhnya terasa kaku mendengar apa kata Ahmad, dan hatinya merasa bersalah pada Rahmat karena sudah berniat untuk membatalkan hal baik lelaki itu. Apalagi niatnya itu sudah didengar oleh telinga Rahmat sendiri.

Kemarin Kia belum yakin dengan hatinya, ia ragu, ia takut pernikahannya kali ini seperti yang kemarin, jujur saja trauma itu masih ada. Tapi detik ini ia yakin dengan keputusannya. Kia meyakinkan dirinya bahwa Rahmat adalah makhluk adam yang telah Allah Swt. takdirkan untuknya.

Bismillahirrahmanirrahim.

"Nan!" Kia menggoncang tubuh Nanda yang sudah terlelap di atas sofa.

"Nanda bangun!" Perlahan Nanda membuka mata, mengerjapkan matanya beberapa kali berusaha menyesuaikan dengan cahaya lampu yang silau dimatanya.

"Tidurnya di kamar!"

Nanda mengangguk dan mereka masuk kembali ke dalam kamar. Kia tidak langsung benar-benar bisa tertidur, pikirannya masih melayang mengingat perkataannya pada Rahmat, pasti itu sangat menyakitkan bagi Rahmat. Secepatnya ia akan meminta maaf kepada Rahmat, tentu saja.

***

"Maafkan saya Mas." Kia menunduk merasa malu dan tidak enak hati jika menatap wajah Rahmat.

Setelah tadi pagi ia mengatakan ingin bertemu dengan Rahmat, ingin menyelesaikan masalah yang ada. Rahmat menyanggupi permintaan Kia, jam sepuluh pagi ia menemui Kia di kediamannya.

Jika mengikuti ego, memang Rahmat tak akan selapang ini. Niat baiknya diragukan oleh seseorang setelah banyak perjuangan yang ia hadapi, ingin marah jika mengikuti hasutan setan memang.

Perjuangannya memang tidak bisa dibilang mudah. Meyakinkan kedua orang tuanya untuk meminta restu bahwa ini adalah seseorang yang dari dulu ia tunggu, setelah gagal dalam mengkhitbah seorang wanita dulu membuat kedua orang tuanya tidak mudah menerima wanita yang ingin ia lamar. Takutnya kejadian waktu itu terulang kembali, bukan hanya menyakitkan tetapi memalukan juga bagi nama keluarga mereka yang tidak bisa dibilang remeh.

Orang tuanya tidak setuju karena alasan yang sama seperti keluarga besarnya. Ya tentu saja karena status yang kini sedang dipermasalahkan, karena Kia seorang janda, apalagi jika bukan hal itu? Memang apa salahnya dengan status janda, Rasulullah saja menikahi Khadijah yang sama berstatus janda. Apakah janda semenjijikan itu?

"Permintaan maaf diterima." Tersenyum dan tatapan mereka bertemu. Dengan segera keduanya memalingkan wajahnya, suasana beberapa detik menjadi kikuk.

"Jangan diulangi lagi!" Kia mengangguk polos seperti anak kecil yang habis dimarahi oleh ayahnya.

"Sekali jadi mau fitting baju?" Rahmat memastikan.

Saat lamaran memang hari ini adalah rencananya untuk fitting baju.

Mengangguk, "jadi, ajak Nanda juga kan?" Kini Rahmat yang mengangguk.

Beberapa menit Rahmat menunggu Kia dan Nanda yang bersiap. Tidak cukup lama, ketiganya segera tancap gas menuju butik yang cukup terkenal di Bogor. Walaupun cukup jauh, tapi tidak apa-apa. Demi pernikahan yang diimpikan oleh keduanya.

"Kita ke terminal dulu boleh?" Cukup aneh, mobil ia yang mengendarai, mobil pun miliknya. Tetapi harus izin pada orang yang nebeng, dasar.

"Mau ngapain emang Kak?" Nanda mewakili pertanyaan Kia dalam hatinya.

"Mau jemput Numa."

"Numa Mas?" Kia memastikan. Ia rindu calon adik iparnya itu.

Lamaran kemarin memang Numa tidak bisa pulang dari pesantren karena beberapa pekan yang lalu ia sudah izin pulang. Peraturannya memang seperti itu, tidak boleh terlalu banyak izin jika bukan hal yang urgent.

Lucunya saat ia menghubungi lewat video call, Numa menangis dengan gayanya yang manja itu. Membuat orang yang di seberang telepon tertawa dengan tingkahnya. Cukup menghibur memang.

Rahmat mengangguk, "iya, dia baru boleh diizinkan pulang tadi malam. Itu pun beberapa kali Numa merengek pada pengurus pesantren untuk izin pulang." Jelasnya yang diangguki oleh Kia dan Nanda.

Rahmat menghentikan mobilnya tepat di hadapan gadis yang berdiri di samping koper kecilnya dengan gamis lebar berwarna tosca.

"Assalamu'alaikum," sapa salamnya dan langsung masuk ke dalam mobil. Serempak orang yang ada di dalam mobil menjawabnya.

"Umm.. Mbak, Numa rindu tahu." Rengeknya setelah menyalami ketiganya. Menampilkan wajah yang mencoba terlihat menggemaskan.

Kia menghadap ke jok belakang, tepat Numa dan Nanda duduk. "Masa?" Godanya.

"Ihh, Mbak Kia gitu sekarang."  Numa cemberut seperti bebek membuat bibirnya maju beberapa senti.

Kia terkekeh dibuatnya, "iya iya, Mbak juga rindu kok." Kia menampilkan senyuman terbaiknya.

Setelah cukup lama menyita waktu dalam perjalanan menuju butik. Sampai-sampai Nanda dan Numa tertidur pulas dan Kia mencoba untuk tidak tertidur seperti keduanya malah menciptakan suasana canggung selama perjalanan. Akhirnya mereka sampai juga.

"MasyaAllah, Mbak cantik banget. Nggak nyesel nikah sama Abang nanti?" Guraunya saat melihat Kia memakai baju untuk akad nanti. Tentu saja Numa sangat bahagia jika Rahmat menikah dengan Kia.

Baju kebaya berwarna putih dengan ekor yang cukup berat. Juga rok batik dengan motif bunga berwarna coklat sungguh luar biasa dipadukan dengan siger. Inilah baju impian pernikahannya sejak dulu.

Kia hanya terkekeh, tak menganggap serius dengan ucapan Numa yang tentu saja hanya candaan. Jika Rahmat ada, mungkin saja Numa sudah mendapat tatapan elang darinya. Rahmat memilih tidak melihat Kia mencoba gaun yang dipilih untuk pernikahan mereka nanti agar membuatnya lebih penasaran.

"Bagus Ki. Gue jadi pengen nikah deh." kini Nanda yang bersuara menampilkan wajah yang seakan sedang menghayal.

"Kalo mau nikah itu ya harus ada calonnya lah, Nan," ucapnya sontak membuat Nanda mendelik sinis ke arahnya.

🌿🌿🌿

Revisi : 10 April 2020, Bogor

Konfliknya gak akan berat dan terlalu lama kok, saya tahu hidup ini sudah cukup berat jadi jangan jadi author yang cukup menyiksa, wkwk. Curhat? Iya, hehe.
Bye bye💕

Kianga |ᴇɴᴅTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang