26| Kebiasaan Baru

1.4K 94 0
                                    

🌿 🌿 🌿

Menempati rumah baru, memulai lembaran yang baru, sekarang Kia akan mulai menata masa depannya. Mewujudkan rumah tangga impiannya, mendapatkan gelar sarjana, dan berbakti kepada suaminya.

Bukankah semua orang memiliki impian? Tentu saja, manusia semalas apapun pasti memiliki impian. Miliarder impiannya ingin selalu menggenggam dunia dengan materi. Pejabat impiannya selalu berharap agar terpilih dalam pemilihan umum. Bahakan fakir miskin selalu bermimpi agar hari ini mendapatkan sesuap nasi. Oleh sebab itu, hargai semua mimpi orang, sekecil apapun itu tetap mimpi yang hebat.

Begitupun Kia, ia sebenarnya seorang pemimpi namun seorang pemimpi yang takut mewujudkan impiannya itu. Ia takut gagal dan kecewa pada hasil yang didapat. Ia sangat tidak percaya diri dengan kemampuannya, dan memang ia tidak pernah menceritakan impiannya itu kepada satu orangpun belum pernah.

Kia berjalan ke tempat Rahmat yang sedang duduk di atas gazebo sambil menatap kolam renang yang jernih dan tenang.

"Mas punya impian?" tanyanya setelah beberapa menit ia mendudukkan dirinya di atas gazebo memulai percakapan di sore hari itu.

Rahmat Menoleh menatap Kia, "Banyak."

"Apa?" Kia memposisikan tubuhnya agar menghadap ke arah Rahmat.

"Misalnya, impian di surga bersamamu." Kia mengerjapkan matanya beberapa kali, karena ucapan sederhana tapi tetap menyentuh.

"Masa?" Kia mencoba menutupi gejolak kebahagiaan di dalam hatinya.

Rahmat hanya mengangguk dan kembali memfokuskan perhatiannya pada kolam yang ada dihadapannya.

"Mas tidak tanya impian aku gitu?" Kia menekuk wajahnya.

Kembali Rahmat menoleh, "memang harus saya tanya?" Kia mendengus kesal, dalam hatinya ingin merutuki sikap Rahmat yang selalu datar tapi takut dosa.

"Tidak perlu!" Kia sudah tidak minat lagi.

Rahmat tersenyum tipis melihat tingkah Kia yang sedang merajuk seperti itu. Menurutnya, Kia terlihat menggemaskan jika sedang merajuk. Apalagi jika seperti detik ini, bibir yang mengerucut dengan wajah yang nampak kesal menambah kesan gemas dimata Rahmat.

Rahmat mengacak-acak khimar yang Kia kenakan yang langsung mendapat protesan dari sang empunya. "Memangnya impian adek apa?"

Masih dengan cemberut Kia menjawab, "memang Mas beneran mau tahu?" Tangannya masih sibuk membenahi khimar di kepalanya.

Rahmat mengangguk.

"Impian adek itu pengen emm..," Kia mengetuk-ngetuk telunjuknya pada dagu lancipnya, "Tidak jadi ah," lanjutnya membuat Rahmat mengerutkan dahinya.

"Loh, kenapa?"

Menggeleng, "Tidak penting, lagian itu impian yang sudah lama."

Rahmat meraih tangan Kia dan menggenggamnya erat, "Semua impian itu berharga walaupun impian itu sudah lama atau baru saja."

Kia menatap tangannya yang kini berada dalam genggaman Rahmat.

"Apa? Jangan buat Saya penasaran, dek!" Rahmat geram saat Kia malah bungkam, membuatnya penasaran apa impian yang ingin Kia wujudkan.

"Tidak. Sudah ah, adek mau masak dulu." Kemudian Kia berlalu masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Rahmat yang masih dihantui rasa penasaran.

Untuk beberapa menit Rahmat termenung, tanpa tahu apa yang sedang bergentayangan dalam pikirannya. Seolah-olah pikirannya itu abstrak, tak ada hal yang pasti yang mampu ia pikirkan.

Rahmat menyusul langkah Kia yang mungkin saja sudah sibuk dengan alat-alat dapur seperti yang ia katakan tadi.

Niatnya ia urungkan saat melihat dimana Kia tengah berbincang dengan Nanda yang ia tidak tahu sudah berapa lama ia ada di sini.

Rahmat duduk di ruang keluarga yang berbatasan langsung dengan ruang tamu dimana keduanya sedang mengobrol. Jelas di tempat itu Rahmat masih bisa mendengar percakapan keduanya.

"Jadi gitu loh, Ki. Lo nggak marah kan?" Samar-samar Rahmat mendengar suara Nanda.

Tapi lama ia menunggu Kia menimpali, namun tak terdengar sama sekali. Lalu Rahmat berdiri lebih mendekat ke arah pembatas kedua ruangan itu.

"Ngapain Mas?" Rahmat terkejut bukan main saat melihat Kia yang sudah berdiri di hadapannya yang akan mengambil suguhan untuk Nanda. Bagaimanapun Nanda tetap tamu yang harus diperlakukan dengan baik, walaupun terkadang Nanda berani mengambilnya sendiri.

"Tidak,"alibinya, Rahmat menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tak gatal sama sekali, "Ada siapa di depan?" tanyanya berpura-pura tidak tahu siapa yang bertamu.

"Ohh, itu ada Nanda." Rahmat mengangguki ucapan Kia.

"Kenapa sih Mas? Kok kayak aneh gitu." Kia heran dengan tingkah Rahmat yang biasanya cuek mendadak banyak bertanya seperti sekarang ini.

"Kenapa? Kan saya cuman tanya." Kia mengangkat bahunya acuh lalu melanjutkan langkahnya untuk mengambil beberapa camilan di dapur.

"Mau dibuatkan minum?" tawar Kia saat mengetahui Rahmat mengikutinya hingga ke dapur.

Rahmat mengangguk, "Iya." Kemudian ia berlalu dari ruangan itu menuju ruang kerjanya.

Kia mendengus kesal, butuh feeling yang sangat ekstra untuk mengerti kelakuan Rahmat yang mudah berubah-ubah. Membuat sebuah tantangan tersendiri untuk Kia.

***

"Mas!" Panggil Kia saat melihat Rahmat hendak naik ke lantai atas.

"Tolong!" Ucapnya memelas saat melihat wajah datar suaminya.

Rahmat mendekat ke arah Kia, "Kenapa?" tanya Rahmat setelah berada tepat dihadapan Kia.

"Gasnya habis," Rahmat melihat ke belakang tubuh Kia dimana kompor tidak menyala dan beberapa bawang dan teman-temannya yang sudah diiris di atas talenan.

"Loh, Mas ini bantu dulu!" Kia sedikit berteriak karena Rahmat kembali melangkahkan kakinya ke lantai atas.

Kia mendengus kesal dengan tingkat Rahmat yang tak mau membantunya sama sekali. Lalu Kia berusaha untuk melepaskan tabung gas dengan kabelnya itu. Ini adalah pertama kalinya ia berurusan dengan gas, sebelumnya saat mengontrak ia selalu meminta bantuan pada tetangganya yang dengan sukarela menawarkan jika butuh bantuan untuk memasang gas. Hingga pada akhirnya ia tidak bisa jika harus mengatasi hal ini sendiri.

"Yuk!"

Kia menatap Rahmat yang entah sejak kapan berdiri didekat pantry  dengan memainkan kunci motor yang ada digenggamnya.

Kia tersenyum, Kia kira Rahmat akan setega itu dengan tidak membantunya sama sekali. "Ini susah," rengek Kia membuat Rahmat yang kini mendekat sambil tersenyum tipis.

Dengan mudahnya Rahmat melepaskan kedua benda tersebut, lalu dengan sebelah tangannya menenteng gas dan berjalan yang diikuti oleh Kia.

"Dimana beli gasnya?" tanya Rahmat saat sudah beberapa meter menancap gas dengan Kia yang duduk di boncengan.

"Di warung depan, tapi sekalian ke supermarket ajah, belanja bulanan." Kia sedikit terkekeh, karena biasanya Rahmat selalu malas jika mengantarkannya untuk berbelanja.

"Tadi bilangnya beli gas," jawabannya malas.

"Sekalian." Kia kembali terkekeh geli.

Ini adalah petaka bagi Rahmat.

🌿 🌿 🌿

Revisi : 04 Mei 2020, Bogor

Kianga |ᴇɴᴅTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang