20| Sebuah Pilihan

1.1K 90 0
                                    

Tutup telinga saja! Jika Allah telah mengatakan bahwa kamu adalah jodoh saya, siapapun itu. Tidak ada yang mampu merubahnya kecuali Allah Swt. sendiri yang merubahnya.

-Kianga-

🌿🌿🌿

Rahmat mengangguk, lalu memberikan isyarat pada Kia agar mengikuti langkahnya.

"Ada apa Mas?"

"Bagaimana, sudah siap bercerita dengan saya?" Rahmat menatap Kia serius.

Kia diam, menatap lurus jalan dihadapannya. "Saya tidak tahu." Begitulah bimbang, ini memang benar-benar membingungkan baginya, ia seakan goyah dengan pendiriannya kali ini.

"Apakah Mas yakin akan menikah dengan saya?" Rahmat menatap tajam ke arahnya.

"Maksud kamu apa?"

Menunduk, "saya seorang janda." Rahmat lantas berdiri dan berjalan beberapa langkah, mengacak rambutnya frustasi.

"Kita sudah membicarakan masalah ini sebelumnya." Memejamkan mata, ini sudah kesekian kalinya Kia membahas tentang statusnya. Rahmat sebenarnya tidak suka jika Kia selalu mempermasalahkan hal ini. Karena ia benar-benar tulus menerima Kia apa adanya. Tidak perduli orang lain mengatakan hal apa jika orangtuanya ridho maka Allah juga akan meridhoi.

Walaupun pada awalnya kedua orang tua Rahmat sedikit mempertimbangkan dan meragukan wanita pilihannya, tapi pada akhirnya setelah Rahmat menjelaskan dan mengatakan alasan dirinya memilih Kia. Lambat laun kedua orang tuanya setuju juga.

"Tapi apa kata orang lain?" Buliran bening itu sudah menetes, Kia menunduk tidak ingin Rahmat melihatnya.

"Jangan perdulikan omongan orang lain, kita yang menjalaninya. Orang lain tidak ikut andil dalam kisah kita, mereka hanya bumbu cerita dalam skenario kita." Kia bungkam, mencoba mencerna perkataan Rahmat.

Tapi dipikirannya berbeda, bagaimana jika orang lain mencemooh Rahmat karena menikah dengan seorang janda. Bagaimanapun juga kita tidak bisa berpura-pura tuli dengan apa yang orang lain katakan. Kita hidup butuh orang lain, butuh pendapat orang lain, butuh kritik orang lain untuk berkaca apa saja kesalahan kita. Apa yang perlu kita benahi dan apa yang belum kita penuhi. Begitulah, semua kritik atau komentar orang lain tidak sepenuhnya salah. Terkadang itu adalah sebuah bentuk peduli, namun tidak semua.

"Tutup telinga saja! Jika Allah telah mengatakan bahwa kamu adalah jodoh saya, siapapun itu. Tidak ada yang mampu merubahnya kecuali Allah Swt. sendiri yang merubahnya."

"Saya pamit dulu, Assalamu'alaikum!"

Menjawab salam pun hanya dalam hati.

Kia merasa bersalah karena telah membuat Rahmat semarah ini. Walaupun kata-katanya masih saja bijak dan terdengar tidak terlalu menggebu-gebu. Kia tahu bahwa Rahmat marah dan kecewa padanya, sangat malahan.

"Ya Allah." Benaknya menyeruak, bahunya kian bergetar, air mata sudah tak bisa dibendung lagi.

"Bantu hamba ya Allah, bantu hamba." Dalam hatinya lirih.

***

"Kia, makan malam dulu!" Nanda duduk di bibir kasur, Kia tertidur dengan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Nanda tahu bahwa Kia tidak benar-benar tertidur.

Nanda sebenarnya kepo dengan pembicaraan Rahmat dan Kia tadi siang, sehingga membuat Kia menjadi seperti sekarang ini. Apakah ada masalah dengan keduanya? Entahlah, ia pun ingin tahu itu. Sekarang ini jiwa keponya seakan meronta-ronta.

"Bangun dulu, kalo habis sholat Maghrib itu jangan tidur. Nanti kebablasan nggak sholat Isya loh, Ki."

Hening.

Tidak lama Kia membuka selimut yang menutupi wajahnya karena udara yang semakin sesak. Mengintip apakah Nanda masih ada di dalam kamar.

"Tuh kan, lo gak tidur beneran." Kia langsung menutup kembali wajahnya saat mendengar pekikan heboh ala Nanda. Rasanya sudah seperti maling yang tertangkap basah saja.

"Udah deh, cepetan bangun Kia!" Nanda menggoncang tubuh Kia yang tidak merespon sama sekali.

Nanda sudah kesal, ditariknya kaki Kia yang sontak saja membuat Kia terkejut dan menjerit.

"Ahhhh.. Nanda!!!" Nanda berhenti menarik kaki Kia.

Ahmad lari sekencang yang ia bisa, karena mendengar teriakan dari kamar putrinya. "Ada apa?" Tanyanya khawatir dengan nafas yang tersengal-sengal karena berlari. Ya beginilah jika sudah berumur, tidak sekuat muda dulu.

"Ini Yah, Nanda! Narik kaki Kia." Adunya pada Ahmad sambil membenarkan letak khimar yang ia kenakan dengan wajah cemberut, seperti anak kecil yang sedang mengadukan kenakalan temannya.

Ahmad menggeleng-gelengkan kepalanya, "bikin Ayah khawatir kamu Nan." Ahmad kembali melangkah kaki keluar dari kamar Kia.

Nanda nyengir kuda dengan jari tengah dan telunjuk yang membentuk huruf 'V'. "Maaf deh, soalnya Kia susah diajak makan. Kan jarang-jarang gue seperhatian ini sama lo, Ki." Alibi Nanda ingin menyelamatkan diri.

"Sudahlah, cepat ke meja makan! Ayah udah nunggu dari tadi kok pada ngaret," kata Ahmad sedikit berteriak di ruang makan.

Mendengar itu Kia dan Nanda bergegas menuju ke ruang makan sambil sesekali Kia mengoceh pada Nanda tapi ocehannya tentunya tidak secerewet ocehan Nanda.

"Bagaimana hubunganmu dengan Rahmat, Ki?" Tanya Ahmad saat mereka bertiga menonton televisi sambil mengobrol setelah menyelesaikan ritual makan malam.

Kia berusaha menetralkan wajahnya agar terlihat tenang dan baik-baik saja, "Alhamdulillah baik-baik saja kok Yah." Tersenyum, tentunya senyum penuh kepalsuan. Nyatanya hubungan mereka tidak cukup untuk dikatakan baik-baik saja.

Ahmad mengangguk, "tadi Rahmat pulang tumben tidak pamit dulu sama Ayah?"

"Katanya lagi buru-buru mau ke kantor." Benar memang tentang teori jika satu kali berbohong maka akan menyusul kebohongan yang lainnya untuk menutupi kebohongan pertama, begitulah seterusnya. Dalam hati Kia memohon ampunan pada Allah.

"Ya Rabbi, maafkan hamba telah berbohong. Maaf ya Allah, maaf." Sebenarnya Kia tidak ingin membebani Ayahnya dengan masalahnya ini. Biarkan mereka berdua yang menyelesaikannya, mereka ingin belajar dewasa. Toh, jika kelak hubungan mereka berlanjut lebih dari ini, seperti yang diharapkan oleh keduanya. Mereka pasti akan menghadapi masalah yang lebih dari ini dan tentunya orang tua mereka tidak perlu ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka.

Sekali lagi Ahmad mengangguk walaupun ia tahu bahwa keduanya sedang ada masalah. Ia tidak mau ikut campur terlalu jauh dalam kehidupan anaknya, ia hanya perlu membimbing keduanya agar tidak salah jalan. Sudah, itu saja tugasnya. Mereka sudah sama-sama dewasa.

"Ayah mau istirahat dulu." Ahmad berdiri, baru beberapa langkah Kia kembali memanggilnya.

"Yah," terdengar sangat lirih.

Ahmad kembali menatap anaknya, Nanda sedari tadi hanya memperhatikan tanpa ikut berbicara. Takut salah memposisikan obrolan dalam situasi seperti ini.

"Kia ingin membatalkan pernikahan ini!"

🌿🌿🌿

Revisi : 10 April 2020, Bogor

Sengaja digantung, hehe.
Bye💕

Kianga |ᴇɴᴅTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang