27| Bahagia itu Sederhana

1.4K 97 0
                                    

🌿 🌿 🌿

Rahmat menyandarkan kepalanya pada rak yang memajang berbagai item sabun. Memerhatikan Kia yang sibuk memilah beberapa keperluan. Sudah hampir setengah jam lebih keduanya mengelilingi supermarket. Kia dengan sesekali bersenandung pelan mendorong troli belanjaan sedangkan Rahmat dengan langkah gontai mengikuti langkah istrinya.

"Sudah? Yuk pulang!" Rahmat menegakkan tubuhnya dengan semangat saat melihat Kia mulai mendorong kembali trolinya.

"Belum, sekarang beli buah." Kia mendorong kembali troli yang masih terisi setengahnya, membuat Rahmat mendengus entah untuk keberapakalinya saat menginjakkan kaki di tempat ini. Inilah petaka baginya, Rahmat tidak suka jika mengantar Kia berbelanja karena akan sangat memakan waktu yang lama.

"Saya tunggu di depan," pamit Rahmat yang diiyakan oleh Kia. Kia tertawa dalam hati, sesekali mengerjai Rahmat seperti ini.

Kemudian Rahmat duduk di kursi yang berada di luar supermarket dengan softdrink yang ada di tangan kanannya dan tangan kirinya menggenggam ponsel yang membawanya ke dunia maya.

Postingan Malika lewat di beranda akunnya. Sebuah foto Malika dan ayahnya, dengan kata-kata agar ayahnya semoga lekas pulih. Ayah Malika sakit? Tanya Rahmat dalam hati. Ia kemudian melihat-lihat postingan Malika.

"Mas Rahmat?" Tanya seorang wanita agak ragu yang hendak masuk ke dalam supermarket.

Rahmat membeku, setelah sadar ia segera menonaktifkan ponselnya dan memasukkan ke kantong jaket yang ia kenakan.

Hatinya sedikit terenyuh melihat wanita itu kembali. Rasa itu kembali terasa, bukan rasa cinta, lebih tepatnya ini adalah rasa sakit. Mengingat bagaimana susahnya ia melupakan wanita itu, bukan ingin benar-benar melupakan Rahmat hanya tidak mau memikirkan wanita yang tidak halal baginya.

Seperti silde yang diputar kembali kenangan itu seperti ditayangkan dalam memorinya. Beberapa kali ia beristigfar mengingatkan bahwa ini adalah takdir Allah Swt.. Mengingat kembali masa dimana banyak halang rintang yang menghadang saat ia ingin memiliki ikatan halal dengan Malika, ternyata itu adalah cara Allah menunjukkan padanya bahwa Malika bukanlah jodohnya. Rahmat mengingatkan pada hatinya bahwa ia telah memiliki bidadari surga yang telah Allah kirimkan—Kia.

"Malika?" Rahmat berdiri, bukankah ini suatu kebetulan atau takdir?

"Apa kabar Mas?" sapanya sumringah seakan mengungkapkan kerinduan yang mendalam. Tidak memikirkan perasaan Rahmat yang bahkan terasa berdenyut.

"Alhamdulillah, baik," jawab Rahmat datar.

Malika diam sesaat, "Aku juga baik." ia tertawa menahan pedih. "Biasanya kamu selalu tanya balik kalo aku menanyakan kabarmu," kata Malika menahan matanya yang sudah berkaca-kaca agar tidak pecah.

Demi Allah ini sangat menyakitkan, bukan ini yang Malika mau. Ia hanya ingin menambah ilmu, ia ingin menjadi madrasah pertama untuk anak-anaknya kelak. Tapi bukan dengan membatalkan semua ikatan itu dengan Rahmat, sebenarnya dulu ia berharap agar Rahmat menunggunya beberapa tahun lagi untuk menyelesaikan studinya di Turki. Tetapi apalah daya jika Allah Swt. tak menghendaki.

Sakit ini semakin menjadi-jadi mengingat bahwa pria yang kini berdiri dihadapan Malika sudah dimiliki oleh wanita lain, pria yang dulu menjadi calon imam impiannya.

Tapi ingin berbuat apa, Rahmat yang tidak mau menunda sehingga membuatnya zina hati dengan memikirkan wanita yang belum halal baginya. Lebih baik hubungan itu yang ia akhiri, karena ia percaya jika jodoh pasti akan dimudahkan.

Jujur, hingga detik ini rasa itu masih utuh untuk Rahmat.

Rahmat dan Malika sama-sama merasakan sakitnya masing-masing, namun dengan alasan rasa sakit yang berbeda.

Tanpa keduanya sadari, di sisi lain Kia mencoba menenangkan pikirannya agar tak berpikiran yang aneh-aneh. Tangannya menggenggam troli belanjaan. Beberapa asumsi ia kait-kaitkan agar tidak suudzon pada suaminya.

Kia melihat mata wanita itu sedikit berkaca-kaca. Dia Malika, wanita yang dulu pernah menjadi tunangan Rahmat. Kia tahu wajahnya karena saat sebelum mereka menikah Rahmat pernah menunjukkan foto wanita itu. Itu Malika, dia sangat cantik point plus yang menambah ketakutan Kia.

***

Entah hal apa yang membuat Kia sebungkam ini. Rahmat bertanya-tanya apakah ia berbuat salah hingga membuat istrinya kesal. Sejak kembali dari berbelanja tadi, Kia tidak mengajaknya berbicara.

Rahmat berdiri setelah menyelesaikan tugasnya untuk memasang kembali gas elpiji. Membiarkan Kia untuk melakukan tugasnya ; memasak.

"Dek, kamu kenapa?" Akhirnya Rahmat geram juga dengan bungkamnya Kia. Namun Kia tak mengindahkan sama sekali pertanyaan Rahmat.

"Mas punya salah?"

"Dek!" Suara Rahmat benar-benar lembut memanggilnya, membuat Kia memejamkan mata. Ia mungkin akan meleleh jika tidak sedang marah seperti sekarang ini. Kia tetap mencoba tidak peduli dan terus melanjutkan pekerjaannya.

Sebenarnya ia tak mau puasa berbicara seperti ini, hanya saja ia menginginkan Rahmat agar tahu dengan sendirinya perihal yang membuatnya cemburu, iya Kia cemburu. Tetapi jika dipikir kembali, disini tidak ada yang salah, Kia hanya benci saja jika ada yang menyukai suaminya. Apalagi ini mantan tunangan suaminya, jujur Kia takut kehilangan Rahmat, sangat.

"Mas minta maaf jika punya salah." Rahmat mengelus kepala Kia lalu menciumnya sebelum benar-benar beranjak dari ruangan itu. Membuat Kia benar-benar ingin menangis saat itu juga. Ia merasa bertingkah kekanak-kanakan. Bagaimana Rahmat ingin mengerti dirinya jika ia tidak menceritakan apa yang ia rasakan. Rahmat bukan Tuhan yang tahu segala perasaan yang ia rasakan.

"Mas!"

Brukk, Rahmat terkejut saat Kia langsung memeluknya saat ia membalikkan badan yang tadinya akan melangkahkan kakinya ke ruang kerjanya. Lengkung bulan sabit terbit di wajah Rahmat, ia mengelus kepala wanitanya itu sesekali menciumnya lembut.

"Kenapa?"tanya Rahmat, mencoba melerai pelukan mereka. Namun Kia menggeleng masih enggan melepaskan pelukannya.

Beberapa saat mereka berpelukan, "Maafin adek," ucapnya setelah puas memeluk Rahmat dan membasahi dada suaminya dengan air mata.

Rahmat menarik pergelangan tangan Kia menuntunnya untuk duduk ke pantry. "Cerita sama Mas!" perintahnya tegas tapi masih terdengar lembut.

"Adek cemburu!" Jujur Kia dengan satu tarikan napas.

Rahmat melongo, "Cemburu?" tanyanya tidak mengerti membuat dahinya mengernyit.

"Tadi Mas ngobrol sama Malika," imbuh Kia membuat Rahmat tertawa mendengar alasan mengapa Kia menjadi uring-uringan seperti itu.

"Malah ketawa," protes Kia tidak suka.

Rahmat membulatkan matanya ketika menyadari sedari tadi Kia masih memegang pisau. "Kok serem." Mengambil pisau yang Kia pegang lalu meletakkannya di atas meja.

Lalu seisi ruangan itu kembali terdengar gelak tawa dari keduanya. Inilah kebahagiaan, memang sesederhana itu tak perlu mewah yang terpenting dengan siapa kebahagiaan itu dilewatkan semuanya akan terasa berharga.

Setelah ini Kia akan menuntut Rahmat untuk menceritakan kronologis kejadian tadi. Tapi saat ini Kia ingin menatap Rahmat yang masih tertawa, matanya menyipit saat seperti ini. Dalam hati ia bersyukur atas kebesaran Allah yang telah mengirimkan kepadanya seorang imam yang mampu membuatnya sebahagia ini.

🌿 🌿 🌿

Revisi : 04 Mei 2020, Bogor

Kianga |ᴇɴᴅTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang