17| Jodoh itu Cerminan Diri

1.1K 89 0
                                    

🌿🌿🌿

Segalanya terasa berharga, rasa sakit kemarin pun begitu berharga untuk dilupakan. Sakit kemarin yang menjadikan kita dewasa hari ini, sakit kemarin yang mengajarkan kita sekokoh ini. Jadi, masalalu tak perlu ada yang dilupakan. Tak usah, entah itu bagian pahit apalagi bagian manisnya. Karena masalalu-lah yang dapat dijadikan guru terbaik untuk kita, ada hikmah dibalik itu semua.

Jika ditanya apakah sudah melupakan rasa sakit di masalalu tentu saja tidak! Seikhlas apapun kita memaafkan, rasa sakit itu masih terasa. Tidak mungkin terlupakan begitu saja. Begitupun dengan Kia, walaupun ia sudah memaafkan Fajar di masalalu. Sakit itu masih ada, masih terasa, masih saja berbekas.

Fajar datang ke Jakarta ingin menemui Kia dan Kia menyanggupi permintaan Fajar. Kini mereka tengah duduk disebuah Cafe dekat kampus Kia, mereka bertiga, Fajar, Kia dan juga Rahmat.

Saat ingin menemui Fajar, Kia meminta izin pada Rahmat. Sebenarnya tidak perlu izin juga, toh Rahmat belum menjadi suaminya, tetapi Rahmat meminta agar Kia selalu izin kepadanya, takut terjadi apa-apa karena Ahmad sudah menitipkan Kia padanya.

Saat Rahmat tahu jika mantan suami Kia adalah orang yang dulu berlaku kasar pada Kia, ia tidak mengizinkan Kia untuk menemui mantan suaminya jika tidak ditemani olehnya.

"Ada perlu apa jauh-jauh dari Bogor untuk bertemu dengan aku Fajar?" tanya Kia setelah makan siang mereka sudah tertelan. Mungkin masih di perjalanan menuju lambung.

Fajar melirik ke arah Rahmat yang memerhatikan keduanya, "dia?" tanya Fajar sambil mengangkat kedua alisnya.

"Tidak perlu hiraukan saya, silahkan jika ingin berbicara dengan Kia," timpal Rahmat tetap tenang.

Fajar menatap Rahmat tajam, siapa dia yang berani menyuruhnya begitu saja, "bisakah anda membiarkan kami berbicara empat mata!" Fajar menekankan kata 'anda'.

Kia menghela nafas jengah, "sudah, bicara saja Fajar tidak perlu berdebat!" Kia berusaha tak memihak pada keduanya, memilih menjadi penengah diantara keduanya.

"Tapi Ki–"

"Bicara saja!" Kia memotong. Sedangkan Fajar membeku mendengar bentakan Kia.

Melirik sinis ke arah Rahmat yang masih menampilkan wajah datar. "Aku ingin mengkhitbahmu Kia." Kalimat itu berhasil membuat Kia membulatkan matanya.

Perlahan ia menatap ke arah Rahmat yang juga masih datar seperti tadi. Apakah Fajar tidak tahu jika ia sudah dilamar oleh pria yang ada di sampingnya. Dan juga Kia kesal dengan Rahmat, kenapa biasa saja. Tidakkah merasa cemburu?

"Aku tidak bisa," kata Kia.

Fajar menunduk, ia kira setelah kemarin membiarkan Kia berfikir dan memberikan waktu untuk mempertimbangkan ajakan untuk rujuk dengannya akan diterima. Fajar benar-benar tak bisa melupakan Kia walaupun ia sudah berusaha untuk mencari pengganti Kia, tak ada wanita sebaik Kia.

Harusnya dia juga sadar jika jodoh adalah cerminan diri. Rasanya tidak pantas lelaki seburuk dia menginginkan wanita sebaik Kia.

"Kenapa?" Ia sudah putus asa kali ini. "Aku sudah berubah demi kamu." Lirih, sangat lirih.

"Kamu salah Fajar! Berubahlah untuk dirimu sendiri, bukan untuk orang lain ataupun sesuatu! Berubahlah karena Allah!" Kia sudah tidak bisa lagi mengontrol emosinya, air matanya pun sudah banjir di pipinya.

Dalam hatinya, Rahmat marah karena wanita yang sudah ia khitbah kembali di khitbah oleh orang lain di depan matanya sendiri. Tapi ia berusaha menutupi semuanya. Kali ini ia merasa sakit saat melihat Kia menangis, sekali lagi ia hanya diam seperti janjinya tadi untuk tidak campur dalam pembicaraan keduanya.

"Aku sudah dikhitbah oleh orang lain."

Fajar kelu, sakit dan nyeri sudah hatinya kali ini. Mungkin sudah remuk redam di dalam sana. Fajar bisu tak bisa berkata, bergerakpun tidak mampu. Niatnya untuk berubah menjadi lebih baik adalah demi wanita di hadapannya. Namun wanita itu telah dilamar oleh orang lain, sia-sia perjuangannya untuk berubah demi Kia. Jika dulu ia berubah alasannya karena Allah, mungkin kini ia tak akan sesakit ini.

"Si–siapa dia?" Bibirnya bergetar, ingin menangis tetapi tidak mungkin di hadapan Kia apalagi di tempat umum seperti ini.

Kia menatap ke arah Rahmat yang sama menatap ke arahnya.

"Dia?" tanya Fajar.

Kia mengangguk merasa iba karena ia rasa itu akan menyakiti Fajar, tapi harus bagaimana lagi harusnya ya seperti ini. Dulu Fajar yang memintanya untuk pergi, namun kini ia memintanya untuk kembali bukankah itu serakah. Ahh, mungkin saja mereka memang tak berjodoh. Hanya kuasa Ilahi-lah yang mampu mengubah segalanya. Walaupun kita sudah berdoa semampunya, jika Allah tak berkehendak kita bisa apa? Allah tahu segala yang terbaik untuk setiap hamba-Nya. Skenario Allah SWT. lah yang terbaik.

***

Dalam perjalanan pulang mengantarkan Kia ke indikost, Rahmat tak mengajaknya berbicara sepatah katapun.

Kia bertanya-tanya, apakah Rahmat marah padanya? Tapi Rahmat tak mungkin selabil itu, ia pasti berfikir dewasa. Dan pernikahan mereka satu bulan lagi akan dilangsungkan, selama satu bulan berta'aruf Kia tahu bagaimana cara berfikir Rahmat.

"Mas, saya mau bicara dulu, bisa?" Rahmat hanya mengangguk lalu keduanya turun dari mobil dan memilih berbicara di dalam.

"Sudah pulang?"

Bukanya menjawab, Kia malah menghambur memeluk ayahnya yang tidak mengabari jika akan ke Jakarta. Sungguh ini adalah kejutan bagi nya.

"Ayah kapan datang?"

"Tadi setelah Dzuhur." Kia mengangguk lalu melangkah ke dapur dan kembali dengan dua cangkir minuman di atas napan yang ia bawa.

Kia hanya duduk mendengarkan pembicaraan Rahmat dan Ayahnya. Niatnya ingin bertanya apakah Rahmat marah padanya, ia urungkan. Mungkin kali ini bukan waktu yang tepat. Semoga Allah memberikan waktu kepadanya untuk membicarakan tentang hal tadi.

🌿🌿🌿

Revisi : 09 April 2020, Bogor

Kianga |ᴇɴᴅTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang