29| Di Balik Kesedihan Pasti Ada Kebahagiaan

1.6K 98 0
                                    

🌿 🌿 🌿

Beberapa kali Kia menghela napas pelan, berdiskusi yang lebih seperti berdebat dengan Rahmat. Rahmat yang kekeuh mengajaknya pulang dan tidak ikut serta acara makan siang yang sebentar lagi akan dimulai. Itu membuat Kia merasa tidak enak dengan keluarga besar suaminya, apalagi pada ibu mertuanya.

"Mas, ikut makan siang dulu yah. Adek jadi tidak enak sama ummi." Bujuk Kia untuk kesekian kalinya.

Setelah tadi Kia menceritakan hal yang diucapkan Tia--tante Rahmat dan saudarinya yang lain, membuat Rahmat naik pitam sampai-sampai tadi Rahmat hendak menemui Tia. Untungnya Kia masih bisa mencegah suaminya. Takutnya nanti akan terjadi pertengkaran, itu akan membuat hal ini semakin runyam.

Tentu saja Rahmat memaksa agar Kia menceritakan apa yang terjadi. Jika tidak, mungkin saja Kia tidak akan menceritakan tentang ini kepada Rahmat. Biarlah hal tadi menjadi rahasia, hanya Allah Swt. dan dirinya saja yang tahu.

Jujur saja Rahmat tidak terima jika Kia sebagai istrinya diperlakukan seperti itu. Siapa yang ingin? Tidak ada yang ingin bukan. Menurutnya Tia tidak menghargai dirinya dengan melakukan hal demikian pada Kia.

"Terus kamu mau diperlakukan seperti itu lagi oleh Tante?" Urat lehernya semakin terlihat jelas, nyali Kia semakin menciut saat itu juga.

"Mas." Kia menunduk takut. Ia juga sebenarnya merasa sakit saat Tia berbicara seperti itu. Namun ini demi kenyamanan acara ini, ia tidak mau keluarga besar bertanya-tanya mengapa Ia dan suaminya meninggalkan acara begitu saja. Bukankah terlihat tidak sopan.

"Aku juga tidak mau diperlakukan seperti tadi, tapi tolonglah. Ini acara keluarga, jarang sekali terjadi bukan?" Rahmat sedikit luluh apalagi melihat air mata Kia yang mulai mengalir.

Rahmat merengkuh tubuh istrinya lalu dihapusnya jejak-jejak air mata itu. Ia sakit jika melihat air mata itu jatuh, kecuali air mata kebahagiaan yang hanya ia izinkan untuk mengalir di kedua pipi Kia.

"Iya." Satu kata yang membuat senyum Kia merekah. "Terimakasih," jawab Kia lalu membalas pelukan Rahmat.

Saat Rahmat dan Kia turun, keduanya seperti menjadi pusat perhatian orang-orang yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Membuat ruangan itu semakin menjadi hening seketika.

"Ah, akhirnya kalian turun juga," kata Nenek Rahmat yang pertama kali melihat keduanya menginjakkan kaki di lantai dasar.

"Namanya juga pengantin baru." Seloroh yang lainnya membuat ruangan itu gaduh dengan godaan-godaan yang dilontarkan untuk Kia dan Rahmat.

Kia tersenyum malu-malu namun berbeda dengan Rahmat yang menunjukkan wajah datarnya. Ekor matanya menatap tajam Tia yang tidak ikut serta keramaian yang terlihat acuh dan asik memainkan kukunya. Tia belum menyadari bahwa Rahmat sedang mengintainya, wanita itu satu-satunya orang yang terlihat tidak senang dan bersemangat.

"Katanya mau makan? Aku udah laper," rengek salah satu anak kecil yang berumur enam tahun, wajah polosnya nampak menggemaskan mengundang gelak tawa semua orang.

"Iya, yaudah yuk makan!" Renny menggiring semua keluarganya untuk beralih tempat menuju ruang makan.

Kia menggenggam tangan Rahmat yang menoleh ke arahnya, "Senyum!" Kia menarik kedua pipi Rahmat untuk tersenyum. Rahmat tersenyum terpaksa, sangat terlihat dipaksakan.

Setelah acara makan siang itu selesai, Rahmat mengajak Kia untuk pulang. Emosinya semakin tidak stabil, apalagi jika melihat wajah Tia yang seakan memendam kebencian pada istrinya. Kenapa dengan wanita itu padahal Kia tidak pernah melakukan kesalahan padanya dan juga ini kali pertama dia mengobrol panjang lebar dengan Kia.

"Rahmat, Kia!" Renny mengejar langkah putra dan menantunya yang telah melewati pintu utama setelah tadi berpamitan kepada keluarga yang lainnya.

"Kenapa buru-buru pulang?"

"Maaf Ummi, ini Mas Rahmat perlu istirahat. Besok mau kerja." Kia menjawab karena Rahmat malah terdiam. Sorot matanya masih berapi-api.

Renny mengangguk, "Kalian tidak apa-apa 'kan?" Renny curiga, apalagi melihat Rahmat yang seperti sedang marah.

"Tidak Ummi, In sha allah semua baik-baik saja."

Sekali lagi Renny mengangguk, "Nak, kamu yakin baik-baik saja?" Renny memegang tangan Rahmat yang sedari tadi hanya diam saja.

"Rahmat baik-baik saja, disini Kia yang tidak baik-baik saja Ummi." Renny mengerutkan dahinya tidak mengerti, Kia membulatkan matanya, sedangkan Rahmat masih saja datar walaupun dalam hatinya berkecamuk segala umpatan untuk Tia.

"Rahmat sama Kia pamit dulu, Assalamu'alaikum!" Rahmat mencium punggung tangan Renny diikuti Kia yang ditambah dengan pelukan hangat layaknya seorang ibu dan anak.

Setelah menjawab salam dari keduanya Renny beranjak dan kembali masuk ke dalam rumah, "Mereka sudah dewasa, semoga bisa membantu menyelesaikan masalah jika memang benar ada masalah dalam rumah tangga mereka." Gumamnya sebelum benar-benar melangkahkan kakinya.

***

"Indah ya Mas?" Rahmat mengangguki pertanyaan Kia.

Menatap deburan ombak membuat mata terhanyut ikut terbawa ke luasnya lautan. Betapa indah dan agungnya ciptaan Allah. Hamparan laut yang luas membuat rasa kecewa dan sakit dalam hati Kia sedikit terobati.

Kia menyandarkan kepalanya pada bahu Rahmat, rasanya nyaman sekali. Bahu kokoh itu seakan menambah rasa syukur atas karunia-Nya yang begitu indah ini.

Keduanya terdiam cukup lama, menikmati keindahan pantai sambil menjelajahi pikirannya masing-masing. Sebelum mereka berdua pulang ke rumah, Rahmat mengajak Kia untuk mampir ke pantai untuk sekedar menstabilkan emosi dan menghabiskan waktu bersama.

"Allah sangat baik padaku, Mas." Kia tersenyum masih tak mau mengangkat kepalanya.

"Lihatlah, Allah mengirimkan padaku seorang imam sebaik, kamu. Fabiayyi alai rabbikuma tukaththiban." Sangat benar sekali dalil Allah Swt., takdir mana yang tidak ingin Kia syukuri. Allah sudah memberikannya kebahagiaan walaupun harus melewati banyak rintangan, karena Allah ingin mengajarkan bagaimana rasanya perjuangan.


Rahmat mengelus kepala Kia.

"Bersyukurlah!" Kia mengangguk.

Rahmat berdiri membuat Kia mengangkat kepalanya. Kia menatap Rahmat yang pergi entah kemana. Kia mencoba tidak mempedulikan Rahmat dan kembali menatap laut luas dihadapannya sambil sesekali tangannya memainkan pasir putih yang menjadi tikar alami yang ia duduki.

Kia menoleh saat satu es krim kerucut berada dihadapannya, "terimakasih." Menerima es krim itu dengan senang hati.

Keduanya kembali diam, kini ditambah es krim yang digenggam masing-masing.

"Dek," Kia menoleh saat Rahmat memanggilnya. Tepat sekali saat es krim itu mengenai hidung Kia yang membuat Rahmat terkikik sedangkan Kia sudah siap untuk membalas perbuatan suaminya, namun Rahmat sudah siap siaga untuk berlari. Jadilah aksi kejar-kejaran. Kia dengan sekuat tenaga mengejar langkah Rahmat yang bukan tandingannya. Senyum keduanya mengembang, tidak perduli dengan orang-orang yang melihat kelakuan mereka.

فَبِأَىِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

🌿 🌿 🌿

Revisi : 04 Mei 2020, Bogor

Kianga |ᴇɴᴅTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang