6. Membuka Atau Menutup Hati?

145 22 4
                                    

Senin merupakan hari tersibuk untuk sebagian besar orang. Sibuk bekerja, sekolah, dan segala aktifitas lainnya. Belum lagi asap kendaraan yang sejak pagi tadi mengepul menutup sebagian penglihatan. Kendaraan pribadi pun makin meningkat. Semakin sulit pula untuk menjalankan kendaraan. Hal itu yang dirasakan Syahirah saat ia berangkat menggunakan ojek-online seperti biasa.

Menatap sekilas pada jam di pergelangan tangan, pukul 08.00 tepat, tidak! Ia terlambat lagi. Berulang kali Anoel meminta agar berangkat bersama saja, tapi Syahirah terus menolak. Dia terlalu mementingkan omongan orang lain, takut dicap aneh-aneh oleh karyawati kantor. Apalagi sebagian para perempuan single di perusahaan suaminya tidak menyukai Syahirah.

"Akhirnya ...." Syahirah melepas helm yang dipakai dan memberikan pada ojek-online tersebut.

"Maaf ya Neng, jadi lama. Harusnya tadi saya ikut apa kata Neng lewat jalan lain, hehe," ucap ojek-online.

"Nggak apa Pak, namanya juga macet nggak ada yang bisa prediksi. Apalagi Jakarta, sudah jadi makanan sehari-hari. Ini Pak, makasih banyak ya. Saya duluan." Usai mengucapkan terima kasih Syahirah tergesa-gesa menuju lobi kantor untuk absen.

"Bu Syahirah telat lagi?" tanya resepsionis yang ber-make up tebal. Dengan polesan lipstik merah cerah dan blush on yang membuat kedua pipinya tampak seperti habis ditampar. Syahirah tidak ingin mengomentari, karena dulu ia pernah begitu.

"Eh, iya. Biasalah macet." Syahirah hanya menanggapi sekilas sambil menunggu pintu lift terbuka. Dari samping terdengar bisik-bisik karyawati lain.

"Eh lihat deh, istri bos kok kaya gitu. Apaan tuh bajunya longgar kaya karung, nggak modis banget."

"Tahu si bos matanya sebelah kali, masa nggak bisa bedain perempuan modis sama modus."

"Gue akui sih dulu dia oke, tapi sekarang so bad."

Syahirah sudah terbiasa dengan ghibahan mereka. Memang semenjak Syahirah berhijrah pakaian menjadi lebih tertutup banyak yang tidak suka dan bahkan menganggap kalau Syahirah menggunakan kerudung untuk menutupi kejelekan. Wanita itu tahu bahwa dirinya memang bukan sosok wanita muslimah sejati, tapi apa salah jika ia ingin belajar lebih tentang agamanya. Daripada terus-menerus dalam kubangan dosa lebih baik berubah sedikit demi sedikit tapi pasti.

Berdenting bunyi pintu lift, terbuka. Syahirah yang tadi menunduk, mendongak—melihat—ternyata sang suami ada di dalam lift. Hanya senyuman yang terlontar di antara mereka. Syahirah masuk ke dalam. Pintu tertutup.

"Kok nggak jadi keluar?" tanya Syahirah sambil sesekali meremas jari-jarinya karena gugup. Wajahnya menunduk, lalu melihat ke depan pintu lift—bercermin. Biasanya Syahirah tidak pernah segugup ini jika bertemu dengan suaminya. Beda hal, apalagi ia teringat kejadian semalam, pipinya memanas. Sungguh, Syahirah merasa di ruangan kecil ini terasa sesak padahal AC menyala.

"Tunggu kamu." Lain hal dengan Anoel, laki-laki itu terus saja tersenyum lebar bahkan lesung pipinya pun terlihat begitu kentara.

"Eh?" Syahirah melihat ke arah suaminya. "Aku telat, biasa. Macet. Mas dari tadi?" Syahirah menunduk lagi, entahlah dia merasa kepalanya sulit sekali untuk digerakkan.

"Baru sekitar 15 menit yang lalu. Besok berangkat bareng saja." Syahirah bingung, berangkat bersama berarti ia harus lebih siap dengan segala cibiran karyawati di kantor. "Tidak usah dengar kata orang." Anoel berinisiatif menggenggam tangan sang istri yang tengah dilihatnya bimbang.

Syahirah mengangguk. Wanita berkerudung itu berharap agar hari esok para karyawati kantor tidak lagi menggibahinya. Suara pintu lift berdenting, tautan tangan mereka terlepas, masuk para karyawan dan karyawati lain setelah mengucap salam pada Anoel dan Syahirah.

Kamu, Abu Thalhah-KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang